Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 belum juga usai dari bumi pertiwi. Meskipun angka pertambahan pasien positif terinfeksi virus corona jenis baru itu belum sepenuhnya melandai, pemerintah mulai memperkenalkan fase yang harus dihadapi masyarakat usai pandemi COVID-19 yang dikenal dengan normal baru atau new normal.
Merujuk ke laman Wikipedia, normal baru merupakan istilah dalam bisnis dan ekonomi yang menunjuk pada kondisi keuangan setelah krisis keuangan 2007-2008, resesi global 2008-2012.
Lebih lanjut, istilah normal baru digunakan dalam implikasi hal yang sebelumnya dianggap abnormal menjadi sesuatu yang umum atau lazim.
Normal baru merupakan suatu skenario untuk mempercepat penanganan COVID-19 dalam bentuk perubahan perilaku, yakni menjalani aktivitas secara normal dengan mengikuti protokol kesehatan.
Harapan yang ingin dicapai dari penerapan era ini adalah roda perekonomian tetap berjalan dan saat bersamaan penyebaran COVID-19 bisa ditekan.
Penerapan normal baru pada bidang pendidikan adalah salah satu sektor yang paling ramai diperbincangkan. Hal ini karena di lembaga pendidikan berkumpul para generasi penerus bangsa, harapan masa depan yang akan berhadapan dengan risiko terpapar saat mereka berkumpul di sekolah.
Antisipasi mutlak diperlukan jika tidak ingin justru tercipta klaster baru penyebaran COVID-19. Menghadapi kemungkinan ini, sebagian orang tua khawatir, menolak, bahkan beberapa dari mereka dengan terang-terangan justru memilih anaknya tinggal kelas daripada harus kembali ke bangku sekolah di masa pandemi belum betul-betul bisa diatasi secara menyeluruh.
Merujuk siaran pers nomor 137/sipres/A6/VI/2020 Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri tentang Panduan Pembelajaran pada Tahun Ajaran dan Tahun Akademik Baru di Masa Pandemi COVID-19, jelas termaktub bahwa tahun ajaran baru bagi PAUD, pendidikan dasar dan pendidikan menengah tetap dimulai pada bulan Juli 2020, sedangkan sistem pendidikan tinggi akan memulai tahun akademik pada bulan September.
Jika metode pembelajaran pendidikan tinggi wajib dilakukan secara online atau dalam jaringan (daring), maka di satuan pendidikan lain di bawahnya, justru akan dilakukan secara luring atau luar jaringan (offline/tatap muka).
Catatan yang perlu digarisbawahi adalah pembelajaran tatap muka hanya boleh dijalankan jika empat syarat terpenuhi, yakni berada di zona hijau (hanya 6 persen dari 429 kabupaten/kota di Indonesia), adanya izin dari pemerintah daerah atau kantor wilayah pendidikan setempat, satuan pendidikan sudah memenuhi daftar periksa dan siap melakukan pembelajaran tatap muka serta yang terakhir, yaitu adanya persetujuan dari wali murid tentang pembelajaran tatap muka pada satuan pendidikan.
Protokol normal baru dalam bidang pendidikan setidaknya meliputi kesiapan kesehatan umum sekolah, sarana prasarana, protokol berangkat dari dan pulang ke rumah, protokol selama di sekolah, baik bagi peserta didik maupun guru dan tenaga kependidikan.
Di sini diperlukan kerja sama dan sinergitas antara orang tua dengan pihak sekolah. Orang tua siswa dituntut untuk mempersiapkan anggota keluarga agar siap memasuki fase normal baru.
Di pihak lain, sekolah juga harus menyiapkan skema atau skenario proses pembelajaran yang beradaptasi dengan protokol kesehatan.
Pelaksanaan normal baru dalam satuan pendidikan tentu tidak akan lepas dari kendala sebagai konsekuensi logis penerapan normal baru di tengah fakta bahwa grafik sebaran COVID-19 belum melandai. Bahkan, di sejumlah daerah ada kecenderungan masih tinggi.
Kendala pertama adalah kemungkinan terjadinya pelanggaran protokol kesehatan yang sangat besar. Sebagai perbandingan, jika orang dewasa saja kesulitan menerapkan protokol kesehatan, karena kebiasan berdisiplin yang rendah, apalagi bagi anak-anak.
Kedua, tersedianya anggaran untuk mendukung fasilitas sekolah sesuai dengan protokol kesehatan, terutama pada sekolah berstatus swasta yang di negeri ini masih banyak yang kekurangan.
Ketiga, pada beberapa sekolah dengan tenaga guru terbatas, mereka boleh jadi “dipaksa” bertugas dalam dua shift atau lebih dalam sehari sehingga bisa menyebabkan kelelahan yang berimbas pada menurunnya sistem imunitas tubuh. Dengan kata lain, hal ini memperbesar resiko terpapar COVID-19.
Pelaksanaan normal baru di bidang pendidikan bisa dimulai dengan langkah nyata, yakni membentuk sekolah percontohan yang nantinya bisa menjadi rujukan/model bagi sekolah lain, penyusunan manual standar operasional prosedur (SOP) dari gerakan normal baru yang disosialisasikan kepada seluruh elemen sekolah (guru, tenaga kependidikan, orang tua dan peserta didik).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penyiapan lingkungan dengan melakukan penyemprotan disinfektan dan penyediaan fasilitas standar sesuai protokol kesehatan, penyusunan roster jadwal pembelajaran/shift dengan mempertimbangkan jumlah SDM, pengawasan dan kontrol pelaksanaan jarak sosial dan fisik dan perlunya kerja sama atau kolaborasi layanan unit kesehatan sekolah (UKS) dengan layanan kesehatan wilayah, semisal fasilitasi ke rumah sakit atau puskesmas, sehingga jika ditemui indikasi COVID-19 di suatu sekolah langsung bisa ditangani agar tidak menyebar lebih banyak.
Selain poin penting di atas, terdapat beberapa hal yang bisa mendukung pelaksanaan pembelajaran di sekolah era normal baru.
Faktor itu, antara lain tersedianya dukungan psikologis harian yang bisa didapatkan dari guru bimbingan dan konseling di sekolah agar kesejahteraan mental, khususnya siswa selalu terjaga.
Kedua, perlunya penyaringan awal terkait pemetaan zonasi tempat tinggal guru dan peserta didik untuk melihat kondisi lingkungan. Ketiga, penyaringan secara virtual mengenai kondisi kesehatan orang tua dan peserta didik.
Keempat, dukungan komite sekolah dalam hal sosialisasi promotif dan preventif terkait penanganan COVID-19. Kelima, tersedianya informasi COVID-19 yang mudah diakses oleh semua insan sekolah, seperti pamflet, baliho/spanduk.
Keenam, kreativitas tenaga pendidik dalam menciptakan suasana enjoy di sekolah.
Terakhir, kedisiplinan semua pihak dalam menerapkan protokol kesehatan terkait perilaku baru di tengah era normal baru dunia pendidikan adalah kunci utama keberhasilan penekanan angka pertambahan dan bahkan memutus rantai penyebaran COVID-19.
Butuh komitmen, sinergi dan kesadaran tinggi dari semua insan sekolah yang terlibat dalam pembelajaran tatap muka.
Mari mulai dari diri sendiri dengan peran apapun yang kita miliki. Pada saatnya, sekolah dengan sistem pembelajaran konvensional atau tatap muka akan tetap dijalankan.
Sebagaimana sistem pembelajaran daring, model pembelajaran tatap muka tampaknya juga harus dimulai dengan pembiasan-pembiasan baru. Hanya mereka yang adaptif yang akan mampu bertahan.
*) Penulis adalah Guru BK SMKN 2 Bojonegoro, alumnus S1 Jurusan Bimbingan Konseling Universitas Negeri Malang (UM) dan Magister Psikologi UNTAG 1945 Surabaya, Ketua Musyawarah Guru Bimbingan Konseling (MGBK) SMK Kabupaten Bojonegoro dan Sekretaris MGBK Jawa Timur.