Kendari (ANTARA) - Seminar seni dan budaya suku Moronene, salah satu etnis yang ada di Sulawesi Tenggara mengundang perhatian dan bahkan perdebatan yang tak berkesudahan dari peserta.
Seminar tersebut diselenggarakan UPTD Museum dan Taman Budaya Dinas Pendidikan dan kebudayaan Provinsi Sultra, Rabu.
Hasil liputan Antara menyebutkan, terjadinya perdebatan pada acara seminar itu setelah dua nara sumber yang dihadirkan yakni Dr.H Rekson S Limba, MSi (tokoh dan sesepuh suku Moronene) dan Dr Basrin Melamba, MPd (pakar budaya Tolaki) yang menyebutkan bahwa suku Moronene di Bombana berdasarkan sejarah merupakan suku yang tertua di Sulawesi Tenggara.
Ia mengatakan, suku Moronene yang pertama kali tiba di Sulawesi, mereka bermukim di sebuah wilayah subur di sekitar danau besar yang kemudian dikenal dengan nama 'Danau Matana' tepatnya di Soroako perbatasan Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Dan diduga bahwa nama danau itu juga berasal dari suku Moronenen dari kata 'Matano E'e yang berarti mata air. Dan dari daerah itu mereka berimigrasi ke Sulawesi tenggara menuju arah selatan, ada yang melalui sungai Konawe'eha sekarang.
"Saya menyebut bahwa suku Moronene adalah salah satu suku bangsa yang mendiami wilayah pada bagian ujung selatan jazirah Sulawesi Tenggara itu diakui para sejarahan dan beberapa pakar budaya dunia yang arsipnya terkait asal mula suku Moronene itu ada di perpustaan Denhaq-Belanda," ujaranya.
Dalam sejarah itu juga ditulis kata Rekson, bahwa asal mula suku Moronena itu rumpung bangsa Melayu Tua yang datang dari India Belakang, melalui Sulawesi Tengah bersama suku Mori, Bungku dan suku lainnya yang ditulis dalam sebuah buku rof Rustam Tamburaka, MA dan Prof Dr.Rauf Tarimana (Monografi Sulawesi Tenggara 1976).
Ia mengatakan, bukti sejarah yang menyebutkan bahwa suku Moronene sebagai suku tertua di Sultra, adanya dijumpai nama-nama daerah dan kampung di Sulawesi Tenggara khususnmya diwilayah daratan yang mendiami Konawe, Konawe Selatan, hingga Kabupaten Kolaka dan Kolaka Timur yang kosa katanya diangkat dari bahasa Moronene.
Ia mencontohkan, ada nama Ranoea, satu nama perkampungan di daratan Konawe Selatan, bila diartikan dengan Moronene berarti Rawa Besar, kemudian ada nama Lakomea yang berarti rawa kecil kering, ada nama Lembo yang berarti danau kecil, ada nama perkampungan Tanea yang berarti tempat tumbuhnya umbi-umbian dan masih banyak lagi nama yang diadopsi dari bahwa Moronene.
"Namun kesemua arti dari nama kampung tersebut, tidak perlu dipermasalahkan lagi, karena seiring dengan perkembangya jaman, apalagi saat ini suda era melenial, maka nilai-nilai budaya dari berbagai suku yang ada di Sultra dan Indonesia pada umumnya mulai dikeampingkan, walaupun itu masih tercatat dalam sejarah," ujar Rekson yang juga mantan Dekan Fisip UHO.
Sumber dan beberapa bukti yang menyebut bahwa suku Moronene adalah suku tertua di Sultra daratan yang kemudian menetap di wilayah yang disebut 'Lipu yi Bombana Wita yi Moronene' yang berarti Negeri Bombana di tanah Moronene (Lango Riasa, 1985)
Sementara itu Dr.Basrin Melamba yang juga dosen UHO dan peneliti bidang budaya daerah Sultra mengatakan, bukti-bukti beradaban terhadap suku Moronene sebagai salah
satu suku yang mendiami Sulawesi Tenggara adalah adanya berbagai peninggalan sejarah masa lampau terutama gua dana benteng tua yang ada di pulau Kabaena, Rumbia dan Poleang.
Kegiatan seminar sejarah dan kebudayaan di Sulawesi Tenggara yang diselenggarakan UPTD Museum dan Taman Budaya Dinas pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sultra sebagai agenda tahunan yang dirangkaikan dengan pameran Museum yang dipusatkan di gedung pamer Museum provinsi di jalan Abunawas Kota Kendari.
Digedung pameran tersebut menampilkan foto dan pemaplet tokoh dan pahlawan daerah dan nasional, cerita-cerita pakuyuban daerah Sultra hingga memaerkan berbagai benda-benda koleksi dan keramik peninggalan nenek moyang masa lampau.
Seminar seni dan budaya Moronene yang dibuka Kepala Bidang UPTD Museum dan Taman Budaya Dody Syahrulsyah mewakili Kadis Diknas dan kebudayaan Sultra dihadiri sekitar 150 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Kendari, para guru serta beberapa perwakilan dari siswa.