Jakarta (ANTARA) - Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengatakan bahwa pihaknya sejalan dengan pandangan Presiden RI Prabowo Subianto mengenai hukuman mati yang disampaikan saat wawancara dengan jurnalis senior.
Dalam wawancara di kediamannya, Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Minggu (6/4), Presiden mengatakan bahwa hukuman mati kalau bisa tidak diterapkan karena tidak memberikan ruang koreksi. Pernyataan itu disampaikan Presiden saat pembahasan mengenai hukuman bagi tindak pidana korupsi.
"Hal ini adalah pernyataan yang sejalan dengan pandangan ICJR yang menolak segala bentuk pidana mati dengan salah satu alasannya bahwa kesalahan proses peradilan akan selalu mungkin terjadi," ucap Maidinia dalam keterangan yang dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.
Untuk itu, menurut ICJR, pandangan Presiden Prabowo harus terejawantahkan pada seluruh kebijakan hukum di Indonesia. Dalam hal ini, ICJR menyoroti revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang sedang disusun oleh Pemerintah.
Berdasarkan data yang dihimpun ICJR, sebanyak 89 persen tuntutan dan putusan pidana mati berasal dari kebijakan narkotika di sepanjang tahun 2023. Selain itu, sebanyak 69 persen terpidana mati dalam deret tunggu eksekusi pidana mati juga berasal dari kebijakan narkotika.
Dalam berbagai penelitian, sambung Maidina, ICJR juga menemukan bahwa terdapat dugaan pelanggaran hak atas peradilan yang adil bagi kasus pidana mati, terutama dari kasus narkotika. Klaim penyiksaan disebut cenderung berasal dari kasus narkotika.
"Jika kemudian Presiden menyatakan pidana mati tidak dapat dilaksanakan karena masih akan selalu ada potensi kesalahan, dalam pembahasan revisi Undang-Undang Narkotika, Presiden harus memerintahkan untuk menghapus tujuh ancaman pidana mati dalam Undang-Undang Narkotika saat ini," ujarnya.
Presiden, lanjut dia, juga dapat menyegerakan penghapusan pidana mati dengan mempercepat pengubahan hukuman atau komutasi pidana mati bagi paling tidak 110 orang yang sudah dalam deret tunggu pidana mati lebih dari 10 tahun.
Di sisi lain, Maidina juga menggarisbawahi pernyataan Presiden mengenai kekhawatirannya tentang bahaya narkoba.
Menurut dia, komitmen Presiden untuk menyelamatkan anak bangsa dari dampak buruk narkoba perlu dibarengi dengan perbaikan kebijakan.
"Upaya memperbaiki kesalahan kebijakan perlu dijalankan dengan dekriminalisasi bagi pengguna narkotika, yaitu menghilangkan respons penghukuman bagi pengguna narkotika," imbuhnya.
Lebih lanjut ICJR menyerukan agar Presiden harus berkomitmen untuk menghapuskan pidana mati dalam proses revisi Undang-Undang Narkotika dan mendukung dekriminalisasi terhadap pengguna narkotika.
"Dudukkan kembali bahwa pengguna narkotika harus direspons dengan pendekatan kesehatan, bukan penegakan hukum yang punitif (bertujuan untuk menghukum) yang justru menjadi koruptif," demikian Maidina.
Sebelumnya, Presiden Prabowo mengungkapkan ketidaksetujuannya mengenai hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi karena hukuman tersebut tidak memberikan ruang koreksi apabila terdapat kesalahan dalam proses hukum.
"Hukuman mati itu final dan kita tidak bisa hidupkan dia kembali. Meski kita yakin dia 99,9 persen bersalah, mungkin saja ada satu masalah ternyata dia korban atau di-frame (dibingkai)," kata Prabowo saat diwawancarai oleh jurnalis senior di Hambalang, Minggu (6/4).
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pengamat sejalan dengan pandangan Presiden soal hukuman mati