Jakarta (Antaranews Sultra) - Dokter spesialis paru dari RSPAD Gatot Soebroto, Brigjen TNI dr. Alex Ginting S, Sp.P(K) mengatakan pasien kanker paru biasanya terlambat mengetahui penyakitnya karena menganggap gejala batuk yang terjadi adalah batuk ringan.
"Sering ada delay (terlambat deteksi) di pasien karena menganggap batuk pilek itu penyakit 'warung' sehingga dengan meminum obat-obat warung bisa selesai (sembuh),"
kata dr. Alex dalam konferensi pers bertajuk Bulan Peduli Kanker Paru, di Jakarta, Rabu.
Ia meminta masyarakat agar memeriksakan diri ke dokter atau rumah sakit bila mengalami batuk yang berkepanjangan.
Ia mengatakan, batuk yang terjadi hingga empat pekan berturut-turut, patut dicurigai merupakan gejala penyakit tuberculosis (TB). Sementara batuk yang belum sembuh hingga mencapai delapan pekan kemungkinan disebabkan oleh keganasan atau kanker paru.
"Orang sering berpikir (batuk) karena alergi, THT sehingga delay (telat penanganan). Kalau batuk empat minggu, curiga kena tuberculosis, apalagi kalau batuknya sampai delapan minggu, (pasien) usia diatas 40 tahun, kita curiga itu bukan TB, tapi curiga juga dengan keganasan," katanya.
Orang yang menderita kanker paru tahap awal, biasanya tidak menampakkan gejala apapun. Gejala hanya akan muncul ketika perkembangan kanker telah mencapai suatu tahap tertentu. Gejala tersebut meliputi batuk yang berkelanjutan hingga akhirnya mengalami batuk darah, mengalami sesak nafas dan nyeri di dada, kelelahan tanpa sebab yang jelas, pembengkakan pada muka atau leher dan sakit kepala.
Dr. Alex pun meminta agar pasien kanker mengikuti seluruh prosedur pengobatan rumah sakit. "Kalau mengikuti desain pengobatan secara rumah sakit, harus diikuti semuanya. Jangan cycle satu, ikut pengobatan RS, cycle dua, pergi ke Gunung Kidul," katanya.
Data Globocan 2018 menyatakan bahwa kanker paru adalah kanker yang paling banyak diderita oleh pria dan wanita di seluruh dunia dibandingkan dengan jenis kanker lain dan merupakan penyebab utama dari kematian.
Di Indonesia, 14 persen dari total kematian karena kanker disebabkan oleh kanker paru yang menjadikan penyakit ini sebagai pembunuh nomor satu.
Sementara Ketua Cancer Information and Support Center (CISC), Aryanthi Baramuli Putri mengatakan, kanker paru memiliki angka harapan hidup yang rendah yaitu sebesar 12 persen jika dibandingkan dengan kanker lain karena sebagian besar kanker paru terdiagnosis pada stadium yang lanjut.
Karena itu, melakukan deteksi dan diagnosis sejak dini menjadi sangat penting bagi orang-orang dengan risiko tinggi menderita kanker paru agar bisa mendapatkan pengobatan yang tepat dan bermutu.
"Kanker paru memiliki jenis mutasi yang berbeda-beda yang perlu dipahami oleh masyarakat dan praktisi kesehatan dengan tepat. Kepedulian pasien terhadap kanker paru dapat dibangun dari upaya promotif dan preventif yang digaungkan oleh berbagai pemangku kepentingan secara berkesinambungan melalui berbagai kegiatan dan saluran komunikasi," kata Aryanthi.
Data Globocan 2018 juga mengungkapkan bahwa angka mortalitas karena kanker paru di Indonesia mencapai 88 persen. Karena itu, akses terhadap diagnosa serta pengobatan kanker paru sangat penting untuk memperpanjang harapan hidup dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Baca juga: Biopsi tidak menyebabkan penyebaran kanker
Baca juga: Rokok jadi faktor risiko pertama kanker paru