Mungkinkah muncul presiden RI dari kaum minoritas, termasuk dari keturunan Tionghoa (China) dan non muslim?
Hal itu mungkin saja, jika mayoritas bangsa Indonesia tidak mengubah perilaku secara drastis, yakni menjadi lebih jujur, profesional, tidak korupsi, tidak emosional dan bersikap "welas asih" (mencintai sesama).
Salah satu alasannya adalah Pasal 6 UUD 1945 yang berbunyi "Presiden ialah orang Indonesia asli" telah diamandemen. Pasal itu sekarang berbunyi: "Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden".
Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa seorang keturunan China pernah menjadi Presiden RI, yakni Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid). Dalam tubuh Presiden ke-4 RI itu, menurut buku "Silsilah Keluarga Keturunan Gang Pen" karya Johan Gondokusumo (Gan Kong Siang) mengalir darah China.
Buku edisi pertama tahun 2004 itu menyebut Gus Dur sebagai salah satu keturunan putri Gan Eng Tjoe yang dikenal sebagai Nyai Gede (Ageng) Manila dan menikah dengan putera Maulana Malik Ibrahim, cikal bakal Wali Songo.
Di halaman 95 buku itu dimuat foto Gus Dur dengan keterangan bersama Gan Thay Kie, Liem Kong Hok, Teddy Yap Tjwan Som dan Tong Djoe, pengusaha nasional terkemuka yang bermukim di Singapura.
Penulis buku ini, Johan Gondokusumo, adalah seorang wartawan yang pernah bertugas di Istana Presiden RI di zaman Presiden Soeharto. Di dalam buku ini, Maulana Malik Ibrahim diberi nama Bong Tak Keng, sedangkan puteranya, Sunan Ampel, diberi nama Bong Swie.
Gus Dur sendiri dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa dalam tubuhnya mengalir darah China dan Islam masuk di Indonesia dibawa oleh penyebar Islam berasal dari China.
Menurut buku Silsilah Keturunan Gang Peng, Nyai Gede Manila adalah anak perempuan Gan Eng Tjoe, pejabat tinggi Dinasti Ming di wilayah Asia Tenggara berkedudukan di Manila, yang kemudian dipindahkan ke Tuban, Jawa Timur, tahun 1423. Nyai Gede Manila punya saudara laki-laki, Gan Si Cang.
Disebutkan keturunan mereka kini sudah melebur menyatu dengan suku Jawa, yang umumnya bermukim di pesisir utara Pulau Jawa, mulai dari Tuban sampai Indramayu, Jawa Barat.
Menurut berbagai hikayat tentang penyebaran Islam di Pulau Jawa, yang masih harus diverifikasi kesahihannya, sebagian (besar) penyebar Islam yang dikenal sebagai Wali Songo adalah orang Cina.
Dikisahkan Nyai Ageng Manila, yang juga disebut Candrawati diambil anak angkat Bupati Tuban, Arya Teja, lalu menikah dengan Sunan Ampel, putera Sunan Gresik Maulana Malik Ibrahim, yang dikenal sebagai Wali pertama.
Ada berbagai versi hikayat tentang Maulana Malik Ibrahim. Menurut buku "Babad Tanah Jawi" (Kisah Tanah Jawa), Maulana Malik Ibrahim disebut Seh Ibrahim Asmarakandi (berasal dari kota Asmara, dekat Bukara, Samarkand, Asia Tengah).
Sementara itu, buku "Babad Majapahit lan Para Wali", menyebut Maulana Ibrahim sebagai Pandhita Mustakim Ki Seh Ibrahim Asmara. Ia mempunyai beberapa nama, yakni Maulana Magribi, Seh Magribi (karena dipercayai berasal dari daerah Magribi, Afrika Utara) dan Sunan Gresik. Ia disebut masih keturunan Ali Zaynal Abidin Al Hussayn Ibnu Ali Ibnu Abi Thalib.
Nyai Ageng Manila dari pernikahannya dengan Sunan Ampel, menurunkan Sunan Bonang, salah seorang wali. Disebut sejumlah wali itu mempunyai padanan nama China, termasuk Sunan Kali Jaga.
Presiden ketiga RI, BJ Habibie, dalam suatu ceramahnya di acara PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) di Masjid Laotze, Jakarta, pernah dikutip oleh media massa sebagai mengatakan bahwa Islam adalah salah satu hadiah terbesar China untuk Indonesia.
Apa kata Bung Karno?
Sultan Hamengku Buwono X, gubernur dan raja Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam komentarnya yang dimuat di sampul belakang buku Silsilah Keturunan Gang Peng mengutip Bung Karno, presiden pertama RI, dalam suatu kesempatan berjumpa pemimpin Vietnam, Ho Chi Minh, sebagai pernah mengatakan bahwa Indonesia tidak mengenal adanya kelompok minoritas.
"Di Indonesia, kita tidak mengenal adanya kelompok minoritas. Suku Dayak, Suku Jawa, Suku Irian, suku Tionghoa bukanlah kelompok minoritas. Tidak ada minoriti, karena kalau ada minoriti tentu ada mayoriti. Kalau ada mayoriti akan timbul eksploitasi daripada minoritet oleh mayoritet. Suku berarti 'sikil', kaki. Jadi bangsa Indonesia itu banyak kakinya. Ada kaki Jawa, ada kaki Batak, ada kaki Sunda dan kaki peranakan Tionghoa. Kesemuanya adalah kaki-kaki dari satu tubuh, yaitu tubuh bangsa Indonesia," kata Bung Karno, yang dikutip Sultan, yang 7 Mei, 2016 ini merayakan HUT-nya ke 70.
Jadi, berdasar UUD 1945 dan semua keterangan itu, apalagi atas nama kesamaan hak azasi warga negara, bukan mustahil Presiden RI mendatang muncul dari kelompok yang selama ini dianggap umum sebagai minoritas dalam suku dan agama.
Persoalannya, apakah calon presiden dari kelompok minoritas itu mendapat suara terbanyak dalam pemilihan presiden (pilpres). Mendapat suara terbanyak sering disamakan dengan dapat diterima oleh mayoritas. Penerimaan mayoritas sekarang bisa terjadi berkat penggiringan pendapat oleh lembaga survei, media massa dan media sosial.
Penggiringan itu ditengarai bisa sukses karena ada penggelontoran uang kepada calon pemilih atau yang sudah terkenal sebagai "money politics".
Lha, yang punya banyak uang adalah pengusaha, yang kebetulan juga pemilik media massa dan ditengarai juga sebagai pengatur media sosial. Pengusaha sukses negeri ini kebanyakan adalah keturunan China. Prof Dr. Subroto, sesepuh ekonom Orde Baru, dalam orasi ilmiahnya menyambut Tahun Baru 2016, mengungkapkan kini satu persen penduduk Indonesia menguasai 50,3 persen kekayaan nasional.
Sebelumnya, masih 10 persen penduduk yang menguasai 77 persen kekayaan nasional. Pada tahun 1920, 10 persen penduduk hanya menguasai 15 kekayaan nasional, kata Prof Subroto.
Di antara pengusaha keturunan China itu ada sembilan yang "top", hingga mendapat sebutan "sembilan naga". Mereka bergerak di banyak bidang usaha, termasuk real estates (developer) dan reklamasi teluk/laut.
Dr Tjuk Kasturi Sukiadi, seorang tokoh nasionalis dan ekonom senior Universitas Airlangga, Surabaya, ketika ditanya kemungkinan presiden RI nanti berasal dari keturunan China, menjawab secara filosofis dan sufistik: "Semuanya tidak terlepas dari kehendak Allah, itu mungkin saja. Jika Allah ingin meledek atau 'mengenyek' mayoritas bangsa ini, terutama elitenya, yang gemar korupsi dan bekerja tidak profesional".
Jadi, ya terserah mayoritas: maukah mengubah perilaku untuk bekerja dengan jujur, profesional, tidak korupsi, tidak emosional dan mencintai sesama sesuai ajaran budaya dan agama mereka, yang menyerukan kejujuran, "welas asih" dan "tepa selira" sebagai perwujudan takwa kepada Allah.
*) Penulis adalah wartawan senior, pengamat media, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.