Jakarta (Antara News) - Tidak banyak pihak yang menyadari, tetapi Pemilihan Presiden Amerika Serikat (Pilpres AS) pada tahun 2016 berpotensi membawa dampak yang besar terkait dengan situasi perekonomian global, termasuk kebijakan perekonomian Republik Indonesia.
Pasalnya, meski saat ini masih dalam proses bakal calon dari kedua partai besar di negara adidaya itu, yaitu Partai Demokrat dan Republik, ada kesamaan yang diusung oleh beberapa calon yang saat ini unggul dari kedua partai tersebut.
Kesamaan tersebut adalah banyak di antara mereka tidak setuju terhadap Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP). Di lain pihak, Presiden Joko Widodo sejumlah kali menyatakan ingin bergabung ke dalamnya.
Di Partai Demokrat hingga medio Februari 2016, hanya tinggal dua calon presiden yang tersisa dari partai beraliran liberal itu, yaitu sang penganut sosialis Bernie Sanders dan Hillary Clinton, satu-satunya kandidat perempuan.
Bernie Sanders telah lama menolak pemberlakuan TPP. Bahkan, dalam laman goberniesanders.com ada petisi daring yang mengajak orang-orang untuk menandatangani petisi yang menolak TPP.
Menurut Bernie yang sempat menjadi aktivis hak asasi manusia itu, TPP hanya akan mengikuti kebijakan perdagangan bebas sebelumnya yang gagal dan telah menghilangkan jutaan lapangan pekerjaan dan pabrik dari Amerika Serikat.
Bernie meyakini bahwa bila TPP disetujui oleh Kongres AS (setelah Presiden Obama menyetujuinya), hal itu akan menyakiti konsumen dan lapangan pekerjaan di AS.
Bagaimana halnya dengan Hillary Clinton? Mantan Ibu Negara Presiden Bill Clinton itu, dalam debat pertama Partai Demokrat pada tanggal 13 Oktober 2015, meyatakan dirinya menentang TPP meski saat menjabat Menteri Luar Negeri AS di kabinet Obama, dia menyetujuinya.
Hillary berkilah bahwa ketika menjabat sebagai menlu, dia menyatakan setuju karena menilai bahwa hal itu akan memenuhi "gold standard" (standar emas) yang diharapkannya.
Namun, setelah negosiasi tentang TPP berlanjut hingga saat ini, Hillary menyatakan bahwa perjanjian perdagangan bebas tersebut dinilainya tidak memenuhi standarnya.
Standar yang dimaksudkannya adalah TPP diharapkan bisa meningkatkan lapangan pekerjaan dan tingkat upah bagi kelas menengah Amerika. Akan tetapi, ternyata tidak.
Bagaimana halnya dengan Partai Republik? Di partai yang beraliran konservatif itu masih relatif banyak calon presiden. Akan tetapi, yang unggul saat ini adalah sang miliuner Donald Trump dan senator asal Texas Ted Cruz.
Trump, sebagai calon yang paling unggul dari Partai Republik saat ini, dalam laman berita www.breibart.com, menyebutkan bahwa TPP merupakan "terrible deal" (perjanjian yang mengerikan).
Menurut kandidat yang pernah disambangi oleh mantan Ketua DPR RI Setya Novanto itu, TPP bakal merugikan AS karena akan mengambil lapangan pekerjaan dan merugikan perdagangan negara adidaya itu.
Sementara itu, kandidat unggulan kedua dari Republik, Ted Cruz, menyatakan bahwa dirinya menolak, baik TPP maupun pembentukan kelembagaan Otoritas Promosi Perdagangan.
Menurut Cruz yang dilahirkan di Kanada itu, presiden beraliran konservatif akan bisa bernegosiasi terkait dengan TPP lebih baik dibanding presiden liberal seperti Obama.
Jadi, meski keempat calon itu kini sedang bertarung mati-matian untuk bisa meraih tiket menuju Pilpres AS mendatang, mereka semuanya memiliki benang merah yang sama, mereka menolak TPP yang telah lama diusung oleh Presiden Barack Obama.
Apa itu TPP?
Sebelum berlanjut dengan penolakan TPP terhadap kebijakan perekonomian Indonesia, ada baiknya untuk mengulas sebentar mengenai TPP yang merupakan perjanjian perdagangan antara ke-12 negara di lingkup Pasifik.
Selain Amerika Serikat, negara lainnya adalah Australia, Brunei Darussalam, Chili, Jepang, Kanada, Malaysia, Meksiko, Peru, Selandia Baru, Singapura, dan Vietnam.
TPP itu sendiri telah ditandatangani di Auckland, Selandia Baru, pada tanggal 4 Februari 2016 setelah perwakilan antarnegara itu melakukan 7 tahun negosiasi.
Tujuan dari TPP, berdasarkan 30 bab dalam perjanjian tersebut adalah mempromosikan pertumbuhan ekonomi, mendukung penciptaan lapangan kerja, meningkatkan inovasi, produktivitas dan daya saing, menaikkan tingkat kesejahteraan penghidupan, mengurangi kemiskinan, mempromosikan transparansi, dan tata kelola pemerintahan yang baik, serta meningkatkan perlindungan tenaga kerja dan lingkungan.
Dalam prinsip teknisnya, TPP seperti halnya perjanjian bebas lainnya, adalah berisi perihal menurunkan tarif bea masuk perdagangan, serta membuat mekanisme penyelesaian perselisihan antara investor dan negara.
Pemerintahan AS bangga atas terciptanya TPP karena selama ini negara adidaya itu belum berhasil menggolkan Kemitraan Perdagangan dan Investasi Transatlantik (TTIP) yang merupakan usulan perjanjian dagang antara AS dan negara-negara Uni Eropa.
Presiden Joko Widodo telah menegaskan kunjungan kerjanya ke Amerika Serikat kali ini tidak terkait dengan Trans-Pacific Partnership (TPP) Agreement.
"Jadi, kita ke sini tak ada urusan dengan TPP untuk saat ini," kata Presiden Jokowi dalam jumpa pers di Miramonte Resort, Indian Wells, Palm Springs, California, AS, Senin waktu setempat atau Selasa WIB, memberikan kesempatan kepada awak media ASEAN untuk melakukan konferensi pers.
Terkait dengan TPP, Presiden Jokowi mengatakan bahwa pada saat kunjungannya ke Washington D.C. pada bulan Oktober 2015, dia telah menyampaikan kepada Presiden AS Barack Obama bahwa Indonesia bermaksud akan bergabung dengan TPP.
"Saya sudah sampaikan ke Presiden Obama bahwa Indonesia bermaksud akan 'intend to joint' (berniat bergabung) dengan TPP," katanya.
Namun, dia menegaskan bahwa untuk bergabung dengan TPP perlu sebuah proses yang masih panjang, bisa mencapai 2 hingga 3 tahun ke depan.
Presiden menggarisbawahi hal-hal terpenting, yakni perlunya kehati-hatian dalam mengalkulasi atau menghitung untung rugi bergabung dalam TPP dengan mengedepankan kepentingan nasional Indonesia yang semua masih dalam proses.
Sebelumnya, pemerintah melalui Menteri Perdagangan Thomas Lembong juga telah mendorong industri padat karya sebagai komoditas yang dikembangkan dalam TPP.
"Jadi, tadi salah satu pembicaraan yang cukup intensif itu tentunya mengenai industri-industri yang padat karya," kata Menteri Perdagangan Thomas Lembong usai bertemu Wakil Presiden RI Jusuf Kalla di Kantor Wapres di Jakarta, Selasa (9/2).
Ia menyebutkan ada dua kendala dalam menghadapi TPP, yaitu kendala mental, yang menurut dia harus benar-benar fokus pada isu yang besar seperti persaingan regional.
"Kita sudah ketinggalan dibandingkan negara saingan seperti Vietnam, bahkan sebentar lagi akan ketinggalan dengan Filipina kalau kita tidak hati-hati. Jadi, jangan kita terjebak dalam urusan-urusan yang sebetulnya kecil yang malah kita ketinggalan dengan isu besar," katanya.
Banyak Dampak
Sebelumnya, siaran pers Indonesia for Global Justice (IGJ) menyarankan Indonesia jangan mau diajak masuk ke dalam TPP yang memiliki lebih banyak dampak kerugian daripada kebermanfaatan bagi Indonesia.
Menurut LSM tersebut, TPP merupakan suatu "megatrading blocs" yang mendorong kerja sama perdagangan bebas dan liberalisasi di berbagai sektor ekonomi yang mewakili 40 persen kekuatan ekonomi dunia.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, IGJ menilai implementasi perjanjian perdagangan bebas menjadikan Indonesia hanya sebagai pemasok bahan mentah dan menjadi pasar impor bagi produk barang dan jasa negara lain.
Jika Indonesia bergabung dengan TPP, dinilai tidak banyak peluang yang bisa diraih Indonesia dalam meningkatkan kinerja perdagangannya, khususnya di tengah situasi pelemahan ekonomi global saat ini.
Hal itu, papar IGJ, didukung dengan data perdagangan Indonesia dengan ke-12 negara anggota TPP, sebanyak 80 persen di antaranya terus mengalami kecenderungan negatif dari seluruh total perdagangan.
Sebagaimana diketahui, neraca perdagangan Indonesia terus menunjukkan defisit dengan sejumlah negara, seperti dengan Australia, Brunei, Cile, Jepang, Malaysia, Selandia Baru, Singapura, Korea Selatan, dan Vietnam.
Bila ingin memperluas akses pasar, relatif banyak cara yang dinilai bisa dilakukan oleh Indonesia yang juga telah mengikuti banyak sekali perjanjian perdagangan pasar bebas seperti halnya perjanjian perdagangan bebas ASEAN-Republik Rakyat Tiongkok.
Jangan Hanya Ekspor
Sementara itu, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendesak pemerintah, terutama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), tidak hanya fokus pada paradigma peningkatan ekspor komoditas kelautan dan perikanan, tetapi juga pada peningkatan kesejahteraan nelayan.
"Sejak 10 tahun terakhir, perusahaan pengolahan ikan di dalam negeri mengalami kekurangan bahan baku hingga 60 persen karena target lima tahunan pemerintah di bidang kelautan dan perikanan yang melulu berorientasi ekspor," kata Sekjen Kiara Abdul Halim kepada Antara di Jakarta, Senin (15/2).
Menurut Abdul Halim, target pembangunan nasional di bidang kelautan dan perikanan bisa direvisi setiap tahunnya bergantung pada usulan masing-masing kementerian dan lembaga.
Sekjen Kiara berpendapat bahwa akan percuma bila ekspor tinggi, kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan, dan perempuan nelayan, serta petambak garam dan pelestari ekosistem pesisir tidak beranjak meningkat.
Selain itu, pemerintah Indonesia diharapkan dapat membuat regulasi yang memperkuat pengekspor kopi yang jumlahnya di Lampung kian menurun karena tergerus oleh pengekspor dari penanaman modal asing (PMA).
"Kami harap ada regulasi tentang PMA karena bila PMA hanya sebagai 'trader' tanpa investasi jelas, duitnya bakal lari ke luar negeri," kata anggota Kompartemen Promosi Badan Pengurus Daerah Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) Lampung Budi Setiawan sebelum Rapat Pengembangan Kopi Nasional di Bandarlampung, Sabtu (13/2).
Menurut dia, meski ada PMA yang berinvestasi dengan baik terkait dengan komoditas kopi di Lampung, ada juga jenis PMA yang selama ini hanya membayar sewa gudang untuk mengekspor kopi tetapi nihil investasi.
Pada intinya yang diharapkan dari pemerintah adalah pembenahan secara mendalam, sistematis, dan transparan terhadap situasi perdagangan dan industri dalam negeri sebelum berburu-buru menyatakan niatnya bergabung dengan (lagi-lagi) perjanjian pasar bebas seperti TPP.
Belum lagi, sebagaimana dituturkan dalam bagian awal tulisan, banyak calon presiden dalam Pilpres AS yang menolak TPP sehingga diperkirakan bila hal ini terjadi, siapa pun presiden yang mendatang, proses TPP akan menjadi seperti "macan ompong" yang tidak membawa banyak kegunaan.
Presiden Obama juga menciptakan TPP sebagai langkah untuk menahan serangan perdagangan dan produk Tiongkok. "TPP memungkinkan Amerika dan bukan negara-negara seperti Tiongkok untuk menulis aturan jalan pada abad ke-21, terutama penting di wilayah dinamis seperti Asia-Pasifik," kata Obama dalam sebuah pernyataannya.
Bila ini terjadi, dunia bisa saja terbelah seperti halnya pada era Perang Dingin. Pada saaat itu konstelasi global terbagi antara Blok Barat dan Blok Timur.
Dengan TPP, dicemaskan akan ada pembagian seperti itu yang membuat relatif banyak negara harus memilih untuk ikut salah satu kubu atau bersifat netral.
Indonesia sudah lama terkenal sebagai pelopor gerakan Non-Blok dalam era Perang Dingin, serta sebagai negara yang menganut politik luar negeri yang bebas dan aktif.