Jakarta (Antara) - Kabar mengejutkan muncul pada Kamis pagi terkait meninggalnya sosok yang telah malang-melintang di berbagai lembaga ini.
Dialah Slamet Effendy Yusuf, tokoh yang mulai menempa diri dalam berbagai aktivitas dan aksi mahasiswa semasa di perguruan tinggi, kemudian menjadi wartawan, politisi hingga aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Slamet Effendy Yusuf meninggal dunia pada Rabu (2/12) malam sekitar pukul 23.00 WIB di Bandung, Jawa Barat, dalam usia 67 tahun. Keberadaannya di Bandung untuk kegiatan yang terkait dengan Lembaga Pengkajian MPR.
Dari Bandung, jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Cibubur kemudian dikebumikan di kampung halamannya pada Kamis sore. Keluarga almarhum telah menyiapkan pemakaman di Desa Lesmana, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Seorang keluarga almarhum, Nur Inganah mengatakan bahwa kabar duka tersebut diterima keluarga pada Kamis dini hari. "Jenazah almarhum dimakamkan di sebelah utara masjid Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Al Azhary sesuai dengan amanat beliau," ucapnya.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin menyatakan Slamet dikenal sebagai seorang organisatoris sejak muda. Sedangkan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mengenang Slamet Effendy Yusuf sebagai sosok yang memiliki integritas tinggi.
Meski lebih senior, Slamet memberi contoh kepada kader NU yang lain bagaimana menghormati pemimpin. Sebagai wakil ketua umum, dia bersikap hormat kepada Said Aqil di PBNU.
"Tapi kalau terkait bidangnya (politik), beliau sangat tegas, dan saya mengikuti saran beliau. Sebaliknya kalau soal-soal keagamaan beliau menyerahkan sepenuhnya kepada saya," tutur alumni Universitas Ummul Qura, Mekkah, Arab Saudi ini.
Said Aqil menilai dedikasi dan pengabdian Slamet Effendy Yusuf kepada NU tidak diragukan. Mulai dari aktivitasnya di PMII, Gerakan Pemuda Ansor hingga menjadi pengurus PBNU.
"Andil beliau sangat banyak pada NU. Bahkan, ketika aktif di Golkar dan menjadi anggota DPR/MPR, beliau pun memperjuangkan nilai-nilai Aswaja, nilai-nilai NU," ujar Said Aqil.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan mendiang Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Slamet Effendy Yusuf sebagai sosok yang konsisten dalam menjaga ke-Indonesiaan.
Menurut Menag, Slamet juga selalu dalam wacana apapun selalu menyertakan agama menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan ke-Indonesiaan.
"Ketika dia bicara tentang Islam, misalnya, selalu dikaitkan dengan ke-Indonesiaan. Jadi wawasan kebangsaan beliau selalu terlihat dalam konteks apapun isu yang dibahas," imbuhnya.
Kemenag juga berterima kasih dengan segala masukan Slamet sebagai Ketua Komsi Pengawas Haji Indonesia (KPHI). "Sebagai Ketua KPHI tentu juga selama dua kali saya menjadi 'amirul hajj', saya merasa banyak masukan yang beliau berikan dalam upaya peningkatan kualitas penyelenggraan ibadah haji kita," tambahnya.
Kisah Hidupnya
Mantan Ketua Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta ini, dilahirkan di sebuah desa kecil, Desa Lesmana, Kecamatan Ajibarang, Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, 12 Januari 1948.
Ia anak pertama dari empat bersaudara, tapi ia juga anak kedua dari 5 bersaudara karena ayahnya sebelum beristri ibundanya, pernah beristri di Cirebon.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, ayahnya KH. Yusuf Azhari sedang dalam pengejaran tentara kolonial Belanda. Ayahnya akitif di laskar Hizbullah/Sabilillah, Slamet kecil bersama ibunya, Hj. Umi Kulsum harus diungsikan ke Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon.
Slamet dibesarkan di kalangan santri. Ayahnya, seorang kiai dan semasa perjuangan kemerdekaan sempat ikut sebagai pejuang laskar Hizbullah/Sabilillah.
Keluarga ini mengalami kesulitan pada awal tahun 50-an, terutama karena di laskar terjadi perbedaan visi antara ayahnya dan teman-temannya. Sebagian teman-temannya ayahnya memilih menjadi gerombolan DI/TII. Sedangkan ayahnya memilih ikut Republik Indonesia.
Satu hal yang terus diturunkan ayahnya kepada anak-anaknya adalah cinta Tanah Air sebagai bagian dari keimanan. Ayahnya selalu mencontohkan tokoh-tokoh daerah tersebut yang menonjol seperti Panglima Besar TKR/TNI Sudirman, Saifuddin Zuhri, Kiai Muslih sebagai orang-orang yang sangat setia kepada Republik karena landasan cinta Tanah Air yang berakar dari iman.
Masuk Sekolah
Pada 1957 Slamet masuk Sekolah Rakyat (SR), sekarang Sekolah Dasar (SD). Setahun sebelumnya ia sudah sampai menangis mohon kepada mbahnya agar mendaftarkannya ke SR. Mbahnya berupaya mengabulkan.
Namun dia tetap ditolak, karena tangan kanannya belum dapat mencapai telinga kiri. Jadi, baru pada tahun 1957 ia diterima masuk SR dan lulus 1962. Setelah lulus SR, dia melanjutkan ke Madrasah Mualimin Al-Hidayah di Karang Suci, Purwokerto, yang berjenjang 6 tahun.
Saat menjalani pendidikan di Madrasah Mualimin Al-Hidayah, dia aktif dalam Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU).
Setamatnya dari Madrasah Mualimin, dia sempat melanjutkan di Fakultas Tarbiyah di Purwokerto, namun hanya selama dua bulan. Dia kemudian pindah ke Yogya (1968) masuk Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga.
Ketika kuliah, selain menjadi Ketua Dewan Mahasiswa (1973-1975), waktunya banyak digunakan untuk aktivitas di PMII dan Gerakan Pemuda Ansor, organisasi pemuda Nahdlatul Ulama.
Pada 1972, dia dipilih menjadi Ketua Cabang PMII Yogya. Dia yang menjadi motor perubahan untuk memperjuangkan agar PMII, sebagai gerakan mahasiswa, menjadi organisasi yang independen dari struktur Partai NU sebagaimana dirumuskannya dalam Deklarasi Murnajati.
Menulis
Berbagai aktivitasnya sejak SR sampai mahasiswa ditunjang juga oleh kesenangan dan kemampuannya menulis. Dimulai dengan mendirikan sebuah majalah pelajar bernama "Nur Al-Hidayah".
Majalah ini stensilan karena pada saat itu belum ada peralatan foto kopi dan peralatan cetak masih sangat mahal pasti tidak terjangkau oleh pelajar madrasah itu.
Bakat menulisnya diteruskan ketika melanjutkan studi di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia aktif menulis di beberapa surat kabar yang terbit di Yogyakarta maupun di Jakarta, seperti Masa Kini, Eksponen, Harian Kami, Kompas dan Sinar Harapan. Dia sempat pula menjadi penyiar Radio Mahasiswa IAIN (1970).
Bakat seninya seperti terkubur setelah waktunya habis oleh aktivitas kemahasiswaan. Tetapi hasratnya sebagai penulis tetap dipeliharanya.
Sewaktu Dewan Mahasiswa dibekukan oleh Komando Pemulihan dan Ketertiban (Kopkamtib), dia bersama teman-temannya merintis majalah bulanan mahasiswa Arena. Majalah itu bertahan cukup lama, dilanjutkan oleh mahasiswa sesudahnya.
Setelah menyelesaikan studi S1 tahun 1997, dia berangkat ke Jakarta dan bekerja sebagai wartawan di Harian Pelita yang waktu itu dipimpin oleh Barlianta Harahap.
Profesi wartawan ini merupakan pilihan sejati karena selain di latarbelakangi oleh bakatnya, dia melalui profesi ke wartawanan ingin terus berkomunikasi, bersosialisasi dan berdialog dengan berbagai kalangan, baik tokoh-tokoh mahasiswa, pemuda, masyarakat maupun tokoh politik.
Sementara aktif dalam profesi wartawan, pada tahun 1979 dia dipilih menjadi Wakil Sekjen Pimpinan Gerakan Pemuda Ansor. Setelah itu, pada kongres 1985 terpilih menjadi Ketua Umum Pimpinan Gerakan Pemuda NU itu untuk periode 1985-1990. Setelah lima tahun menjabat sebagai ketua umum, pada kongres 1990 dia pun terpilih lagi untuk kedua kalinya hingga 1995.
Saat bekerja menjadi wartawan Pelita, ia lebih senang melakukan reportase kegiatan mahasiswa, pendidikan dan politik. Karena itu ia bergaul erat dengan tokoh-tokoh Dewan Mahasiswa maupun ormas kemahasiswaan/kepemudaan dan politik.
Slamet berhenti menjadi wartawan Pelita pada tahun 1998, setelah sempat menjadi Wakil Pemimpin Redaksi/Wakil Pemimpin Umum.
Di samping itu, dia juga termasuk orang yang ikut membidani Majalah Forum Keadilan.
Suatu ketika pada 1989, ia kembali bertemu dengan Suhardibroto di ruang kerja Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono. Di situ, sudah ada Panda Nababan, Sutradara Gintings dan Lukman Umar.
Jaksa Agung meminta mereka merancang majalah hukum dan keadilan. Lahirlah majalah Forum Keadilan. Di majalah ini, ia sempat menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Wakil Pemimpin Umum sebelum berhenti pada 1992.
Setelah tidak menjadi wartawan ini, dia aktif di Golkar dan menjadi anggota DPR RI pada 1992. Banyak kalangan menilai Slamet adalah seorang yang berperan penting dalam konvensi calon presiden dari Partai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Golkar, suatu inovasi dalam dunia politik Indonesia.
Perjalanan hidupnya menunjukan bahwa anggota DPR RI (1992-2009) berwawasan kebangsaan ini sangat sering berada pada momen perubahan yang sangat penting dan dahsyat. Ketua Umum Gerakan Pemuda Anshor (1985-1995) ini adalah seorang konseptor kembalinya Nahdlatul Ulama (NU) ke Khittah 1926.
Selain ikut menggulirkan konvensi calon presiden Partai Golkar, Slamet juga berperan aktif dalam pembahasan materi amandemen UUD 1945.
Kalau dalam beberapa hari terakhir dan beberapa waktu ke depan mendatang publik menyoroti Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terkait kabar pemintaan saham dan perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia, tampaknya politisi DPR perlu membuka bagaimana Slamet memimpin mengarahkan Dewan Kehormaatan DPR periode 2004-2007 sesuai keinginan publik.