Ratusan mantan pekerja PT Damai Jaya Lestari (PT DJL), salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra), sudah sepekan ini menginap di gedung DPRD Sultra di Kendari.
Para mantan pekerja perusahaan yang merasa menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh PT DJL itu datang bermalam di gedung DPRD memperjuangkan hak-hak mereka yang diabaikan oleh perusahaan.
Uang lembur sebesar Rp7.000 per jam selama 60 bulan, kompensasi biaya pengobatan dan kecelakaan kerja sebesar Rp20 per pekerja serta kompensasi lain sebesar Rp1,5 miliar disebut para pekerja sebagai hak yang diabaikan oleh perusahaan.
"Kami meminta DPRD dan Dinas Tenaga Kerja Sultra agar memaksa perusahaan membayarkan apa yang menjadi hak-hak kami para pekerja. Selama hak-hak itu belum diselesaikan oleh pihak perusahaan, kami akan terus menginap di gedung DPRD ini," kata Adrinus (43), koordinator para pekerja yang seluruhnya berasal dari Nusa Tengara Timur (NTT) itu saat datang di gedung DPRD Sultra di Kendari pekan lalu.
Menurut Adrinus, selain mengabaikan hak-hak pekerja, pihak perusahaan juga memperlakukan para pekerja sebagaimana layaknya seorang budak, dipekerjakan melebihi jam kerja yang diatur oleh undang-undang ketenagakerjaan, tapi kelebihan jam kerja tidak pernah dibayarkan.
Mengakomodir penganduan ratusan pekerja tersebut, DPRD Sultra dan Dinas Tenaga Kerja kemudian membentuk tim Panitia Kerja (Panja), menelusuri kebenaran dari pengakuan para mantan pekerja tersebut.
Hasilnya, kedua lembaga pemerintah tersebut tidak menemukan pelanggaran apa pun yang dilakukan oleh PT DJL kepada para mantan pekerja yang menginap di gedung DPRD Sultra tersebut.
Berdasarkan keterangan yang dikumpulkan tim Panja DPRD dan Dinas Tenaga Kerja, apa yang dituntut para pekerja sudah diselesaikan oleh pihak perusahaan.
Bahkan para mantan pekerja tersebut meninggalkan lokasi perkebunan atas permintaan para pekerja sendiri dan perusahaan memberikan uang pulang kampung sebesar Rp880.000 per pekerja.
"Kami memiliki bukti-bukti rekaman keterangan dari para pekerja yang saat ini masih bekerja di perkebunan PT DJL dan bukti penerimaan uang oleh pekerja dari perusahaan," kata Suwandi saat menyampaikan hasil kerja Tim Panja DPRD melalui rapat dengar pendapat di gedung DPRD Sultra di Kendari, Jum (16/10).
Hasil investigasi dari Panja DPRD Sultra tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil penelusuran tim dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sultra yang juga disampaikan dalam rapat tersebut.
"Kami tidak menemukan ada pelanggaran dari PT DJL, kecuali upaya yang dibayarkan perusahaan kurang Rp4.800 per hari bila disesuaikan dengan Upah Minim Regional (UMR) Provinsi Sultra sebesar Rp1.680.000 per bulan," kata Kepala Bidang Pengawasan Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja Sultra, Magner Sinaga.
Oleh karena itu kata dia, Dinas Tenaga Kerja merekomendasikan agar PT DJL membayarkan kekurangan upah para perkerja tersebut sebesar Rp4.800 per bulan sehingga upah yang diterima para kerja sesuai dengan UMR Sultra.
Menolak hasil investigasi
Ketua Kerukunan Keluarga NTT (KKNTT) di Sultra, Maidin Abdul Said yang hadir dalam rapat dengar pendapat di gedung DPRD Sultra yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Nursalam Lada itu, menolak hasil investigasi tim Panja DPRD Sultra dan Dinas Tenaga Kerja.
Alasannya, hasil investigasi Panja DPRD dan Dinas Tenaga Kerja tidak obyektif karena tidak melibatkan pihak KKNTT dan perwakilan pekerja yang merasa dirugikan oleh perusahaan.
Menurut dia, tim investigasi dari Panja DPRD maupun Dinas Tenaga Kerja hanya mendengarkan keterangan dari pihak perusahaan dan pekerja yang mendapat manfaat dari perusahaan.
"Seharusnya tim panja DPRD Sultra dan Dinas Tenaga Kerja ikut melibatkan anggota Kerukunan Keluarga NTT dan para pekerja yang merasa dirugikan, sehingga hasil investigasinya benar-benar obyektif dan dapat dpertanggung jawabkan," katanya.
Diungkapkan Maidin, para pekerja asal NTT yang saat ini masih menginap di gedung DPRD Sultra diperlakukan seperti budak oleh pihak perusahaan, PT Damai Jaya Lestari.
Selama kurang lebih lima tahun bekerja di perusahaan, para pekerja tidak diberikan jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja sehingga mereka yang mengalami sakit atau kecelakaan kerja harus membayar biaya rumah sakit sendiri.
Bahkan kata dia, ada pekerja yang menderita sakit harus meregang nyawa dalam perjalanan saat dibawa ke rumah sakit di Kendari karena di tempat kerja tidak mendapat pelayanan kesehatan.
"Pekerja yang bersangkutan kami makamkan di Pemakaman Umum Punggolaka atas biaya dari keluarga korban sendiri," katanya.
Sementara itu, General Manajer PT DJL, Tjan Hamidin yang juga hadir dalam rapat dengan pendapat, menegaskan perusahaan yang dipimpinnya itu, tidak pernah memutuskan hubungan kerja dengan karyawannya.
"Yang dilakukan perusahaan hanya mengurangi jumlah hari kerja para pekerja, dari 24 hari sebulan menjadi tinggal 13 hari," katanya.
Perusahaan mengambil kebijakan mengurangi jumlah hari kerja dalam sebulan itu sebagai upaya mengurangi beban perusahaan yang teralu berat, menyusul anjloknya harga CPO di pasar dunia.
"Dampak dari penurunan harga CPO dunia tersebut bukan hanya dirasakan oleh PT DJL, melainkan seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia," katanya lagi.
Menyangkut upah yang diterima para pekerja kurang dari UMR Provinsi Sultra, Tjan mengatakan bila beras 30 kilogram, sewah rumah, listrik dan air bersih yang diberikan perusahaan secara gratis pada setiap bulannya, perusahaan sesungguhnya telah membayar para pekerja melebihi UMR Provinsi.
"Kami merasa tidak pernah memperlakukan pekerja secara semena-mena. Hak-hak pekerja seperti pelayanan kesehatan dan kecelakaan kerja, perusahaan selalu memenuhi kewajibannya," katanya.
Ia mengemukakan pula bahwa mereka yang sudah beberapa hari ini bermalam di gedung DPRD Sultra, bukan lagi pekerja dari PT DJL melainkan mantan pekerja.
Para mantan pekerja yang berjumlah 90 orang itu, kata dia, keluar dari perusahaan atas keinginan sendiri dan perusahaan telah membayarkan hak-hak mereka.
"Saat menyampaikan keinginan mereka akan berhenti bekerja di perusahaan dan ingin kembali ke daerah asal NTT, perusahaan memberikan ongkos pulang sebesar Rp880.000 per pekerja," katanya.
Jadi, ujarnya lagi, secara hukum mereka tidak ada lagi ikatan dengan perusahaan karena sudah meminta berhenti bekerja dan minta pulang ke daerah masing-masing di NTT.
"Meski demikian, saat para mantan pekerja itu menginap di gedung DPRD Sultra, perusahaan juga memberikan bantuan uang konsumsi sebesar Rp12 juta. Uang itu diterima koordinator para mantan pekerja Adrianus," katanya pula.
Upaya hukum
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Sultra, Nusalam Lada mengatakan sangat menghargai pendapat Ketua Kerukunan Keluarga NTT di Sultra yang menolak hasil investigasi Tim Panja DPRD Sultra dan Dinas Tenaga Kerja.
Menurut dia, DPRD tidak pada posisi menentukan pihak mana yang benar dan siapa yang salah dalam masalah tersebut.
"Kami dari DPRD sudah menjalankan tugas sesuai tuntutan para pekerja yang merasa dirugikan oleh PT DJL," kata Nursalam.
Bahwa hasilnya berdasarkan fakta di lapangan tidak sesuai dengan harapan para pekerja, silakan menempu upaya hukum karena hanya lembaga hukumlah yang bisa menentukan siap benar dan siapa salah.
"Kalau aparat penegak hukum memutuskan bahwa PT DJL bersalah dan harus bertanggung jawab dengan para pekerja, maka pihak perusahaan wajib menyelesaukan kewajibannya," katanya.
Oleh karena DPRD Sultra sudah melakukan tugasnya kata dia, maka sudara-sudaraku yang saat ini menginap di gedung DPRD Sultra dipersilakan kembali ke aula Dinas Sosial Sultra.
"Saya minta aparat keamanan dan Sat Pol PP memfasilitasi sudara-sudara kita ini kembali ke Dinas Sosial, biar lembaga itu yang menangani mereka," katanya.
Sementara itu, kuasa hukum para mantan pekerja, Anselmus yang ikut mendampinngi para korban dalam rapat tersebut mememinta pihak DPRD Sultra dan Dinas Tenaga Kerja untuk tidak menjadikan hasil investigasi kedua lembaga tersebut sebagai barang bukti di pengadilan.
"Oleh karena hasil investigasi kedua lembaga itu sulit dip0ertangungjawabkan karena tidak obyektif, maka kami mohon untuk tidak menjadi barang bukti di pengadilan," kata Anselmus.
Menanggpi permintaan kuasa hukum tersebut, Wakil Ketua DPRD Nursalam menegaskan bahwa lembaga DPRD dan Dinas Tenaga Kerja bukanlah lembaga yang bisa mengintervesi lembaga pengadilan.
"Soal hasil investigasi ini dijadikan barang bukti di pengadilan atau tidak, sepenuhnya menjadi urusan aparat penegak hukum," katanya.
DPRD kata dia, hanya bertugas mencari fakta-fakta lapangan sebagaimana pengaduan para pekerja dan hasilnya seperti yang disampaikan dalam rapat, tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh PT DJL.
"Nah, sekarang para pekerja mau menerima hasil investigasi Panja DPRD dan Dinas Tenaga Kerja, atau harus menempuh upaya hukum, sudara-sudara pekerjalah yang menentukan pilihan," kata Nursalam.