Rhoma Irama akhirnya mewujudkan impiannya mendirikan partai politik. Namanya cukup keren dan sugestif: Partai Idaman, ringkasan dalam bentuk akronim untuk kombinasi tiga variabel, yakni Islam, Damai dan Aman.
Tak perlu ditanya untuk apa Raja Dangdut yang sudah kaya secara finansial itu mendirikan sebuah partai politik. Rhoma sudah punya nama besar, kekayaan, dan pengikut alias penggemar.
Dalam deklarasi di Tugu Proklamasi Jakarta, pentolan Grup Musik Soneta itu menyatakan bahwa Partai Idaman hendak membangun citra Islam yang rahmatan lil alamin, mengayomi semua golongan.
Dengan tekad semacam itu, Partai Idaman tentu punya beban yang tidak ringan karena dalam praksis keberagamaan di Indonesia sesungguhnya selama ini terjadi fragmentasi dalam tubuh Islam.
Publik belum terlalu melupakan bagaimana kekerasan terhadap kelompok minoritas oleh mayoritas dalam tubuh Islam beberapa kali terjadi. Konflik teologis antara mashab ahlul sunnah wal jamaah, Sunni melawan Ahmadiyah dan perseteruan Sunni melawan Syiah masih berpotensi untuk pecah.
Partai politik berbasis Islam seperti Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan Sejahtera selama ini memilih sangat berhati-hati ketika konflik teologis itu meledak.
Di titik inilah Partai Idaman diuji sikapnya. Sejauhmana pemihakannya kepada minoritas jika terjadi pelanggaran HAM seperti penutupan tempat ibadah oleh kelompok Islam arus utama.
Partai Idaman, jika berhasil melewati ujian dalam penyelesaian masalah lingkup Islam internal, juga diminta berperan dalam perkara lintas agama. Konflik antarumat beragama yang menjadi salah satu ancaman potensial dalam perdamaian iman di Indonesia juga perlu dipikirkan diatasi oleh politisi Partai Idaman.
Di atas kertas, sesungguhnya tak teramat sulit bagi Rhoma Irama untuk membangun citra politik yang menjanjikan bagi pemilih dengan beroperasinya parpol yang dipimpinnya.
Pertama, semua sepak terjang negatif sebelumnya yang mencoreng partai-partai berbasis Islam diupayakan tak diulangi. Kedua, memilih politisi yang sudah mapan secara finansial yang berkomitmen pada ikhtiar mewujudkan lslam yang rahmatan lil alamin. Ketiga, merekrut para aktivis yang selama ini vokal dalam memperjuangkan Islam yang damai, yang tak skriptural.
Sebagai parpol pendatang baru, Partai Idaman yang berwarna keislaman tentu tak dengan sendirinya akan mudah meraih kemenangan dalam pemilu. Saingan terberatnya justru ada pada sesama partai yang mengusung nilai-nilai keislaman.
Pengalaman negara-negara yang demokrasinya sudah mapan memperlihatkan bahwa parpol yang berafiliasi dengan sebuah agama sering menjadi parpol minor. Warga negara yang semakin tinggi tingkat dan kualitas pendidikannya semakin menyadari bahwa agama sebaiknya dijadikan laku etis sehari-hari yang tak mesti dibawa ke ranah politik.
Politisasi agama justru menjadi bumerang bagi pengikutnya. Dunia politik, pada praktiknya, penuh intrik, muslihat licik dan manipulasi nilai-nilai. Ketika mayoritas umat Islam masih belum melek politik, lambang parpol yang berbentuk rumah illahi bisa cukup memberi sugesti sebagaimana yang diharapkan oleh perancang lambang itu.
Kini, umat Islam semakin kritis dan melek politik sehingga tak bisa lagi termakan oleh lambang-lambang formal. Hanya bukti nyata, argumen yang masuk akal yang bisa meyakinkan seorang Muslim memilih parpol idamannya.
Relasi kemasyahuran dan politik tampaknya perlu juga dipahami oleh siapapun yang hendak mengikuti jejak Rhoma Irama dalam mewujudkan mimpinya mendirikan parpol. Fakta selama ini memperlihatkan bahwa seorang bintang merupakan variabel penting dalam perolehan suara dalam pemilu. Namun, sang bintang tidak lah berkiprah dalam ruang kosong. Harus ada bingkai dalam bentuk mesin politik yang menunjang ketenaran itu agar berhasil meraup suara banyak.
Nama-nama populer dalam jagat politik Indonesia pascareformasi seperti Rano Karno, Nurul Arifin, Rieke Dyah Pitaloka, Dedy Mizwar sukses meraih suara publik dalam pemilu karena ada mesin politik yang mendukung mereka.
Sebaliknya, Partai Idaman sebagai pendatang baru belumlah menjadi sebuah mesin politik yang tangguh dalam mendukung perolehan suara dalam pemilu mendatang sekalipun ketokohan Rhoma Irama tak bisa dipandang dengan sebelah mata.
Partai Idaman agaknya perlu belajar dari partai-partai yang sudah berpengalaman dalam merekrut tokoh-tokoh yang bisa membesarkan nama parpol. Dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Idaman bisa mencontoh keberanian partai dari keluarga Soekarno itu dalam merekrut tokoh Islam yang termasyhur sebagai pembela minoritas Syiah, yakni Jalaluddin Rakhmat.
Pada titik inilah, Partai Idaman bisa mengajak tokoh Islam yang masyhur sebagai pembela Ahmadiyah yakni Azumardi Azra yang juga dikenal sebagai akademisi dari UIN Syarif Hidayatullah. Tak penting apakah Azumardi menolak tawaran Partai Idaman karena tak tertarik dunia politik. Yang penting, publik tahu bahwa Partai Idaman menganggap Azumardi sebagai sosok yang cocok buat Partai Idaman.
Tokoh lain yang pantas dilirik Partai Idaman adalah Ahmad Sahal, angkatan muda Islam yang aktif menyuarakan Islam rahmatan lil alamin. Sahal juga pas buat mewujudkan cita-cita Partai Idaman sebagai parpol yang mengayomi semua elemen masyarakat.
Sekali lagi tak penting apakah Sahal berminat atau tidak untuk terjun ke dunia politik. Dengan menawarinya masuk di jajaran elit Partai Idaman, setidaknya Partai Idaman terekam oleh pers sebagai parpol yang mengincar orang-orang Islam yang inklusif, toleran dan menjalankan agenda Islam rahmatan lil alamin.