Jakarta (Antara News) - Baik calon presiden Joko Widodo dan pasangannya Jusuf Kalla maupun pesaingnya, Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa telah mengumumkan visi ekonomi mereka untuk membawa Indonesia semakin maju dan sejahtera.
Pada kubu Jokowi-Kalla, visi ekonomi yang ditawarkan pada masyarakat luas antara lain, yang pertama, menyangkut upaya mewujudkan peningkatan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, dan yang kedua menyangkut kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
Sementara itu visi ekonomi yang ditawarkan kubu Parabowo-Hatta menyangkut poin-poin tentang membangun perekonomian yang kuat berdaulat, adil dan makmur, melaksanakan ekonomi kerakyatan, membangun kembali kedaulatan pangan, energi dan sumber daya alam serta mempercepat pembangunan infrastruktur.
Jika ditelaah lebih jauh, baik kubu Jokowi-Kalla maupun kubu Prabowo-Hatta sama-sama memprioritaskan usaha ekonomi di tingkat masyarakat untuk semakin memandirikan rakyat kebanyakan.
Jika demikian, kedua kubu sepertinya tidak saling beradu program ekonomi yang bisa dipertentangkan secara ideologis. Memang zaman sekarang, seperti pernah disinyalir indonesianis William Liddle, pertarungan program secara ideologis kurang menonjol karena pertaruhannya cukup besar. Pilihan pragmatisme dan kemiripan
program antara para kontestan dalam pemilihan umum di kebanyakan negara menjadi kecenderungan umum.
Itu juga terlihat pada program-program ekonomi Jokowi-Kalla versus Prabowo-Hatta. Pengutamaan program ekonomi yang prorakyat bagi kontestan pemilu presiden yang akan dilangsungkan pada 9 Juli mendatang itu memang taktis sebagai tawaran kampanye politis kedua belah pihak.
Dipandang dari sisi konteks persoalan ekonomi domestik, dalam dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, persoalan yang dihadapi adalah menyangkut semakin mengecilnya kedaulatan ekonomi rakyat Indonesia. Coba bayangkan, produk-produk pangan yang mestinya bisa diatasi oleh bangsa sendiri, ternyata banyak yang didatangkan dari luar negeri.
Salah satu contoh ironi selama ini adalah impor garam dari luar negeri, antara lain dari India. Sebagai negara kepulauan, di mana kawasan yang berdekatan dengan pantai-pantai di Tanah Air bisa dijadikan basis usaha garam. Tak perlulah Indonesia mengimpor garam jika daya produksi garam rakyat diberi prioritas oleh negara.
Namun, yang terjadi pada dekade belakangan adalah justru tersingkirnya daya produksi garam rakyat tersebut. Tak adanya pemihakan program produksi garam rakyat membuat lahan-lahan di sentra produksi garam seperti di sepanjang jalan antara Surabaya-Gresik, Jawa Timur beralih fungsi.
Banyak lahan produksi garam itu kini dijual oleh pemiliknya kepada pengusaha besar dan dijadikan gudang-gudang pabrik. Alih fungsi lahan semacam ini, dengan akselerasi yang masif dari tahun ke tahun akan mengikis kemampuan anak negeri memproduksi garam lokal. Bukan hanya di Jawa. Produksi garam domestik di kawasan luar jawa un, misalnya di Waingapu, Nusa Tenggara Timur (NTT) juga menyusut karena tiadanya keberpihakan kebijakan ekonomi pada pelaku ekonomi lokal penghasil garam rakyat.
Kebijakan yang program rakyat antara lain dengan memberikan prioritas dalam sistem produksinya maupun pemasarannya. Konon garam rakyat di Waingapu secara perlahan dibiarkan tergusur karena petani garam di sana tak melakukan fortifikasi yodium pada produk garam mereka. Konsumen jagi tak mau membeli garam lokal karena tak ada yodium di garam rakyat.
Hal-hal semacam inilah yang diharapkan akan menjadi perhatian para kontestan yang bersaing dalam Pilpres 2014. Baik kubu Jokowi-Kalla maupun Prabowo-Hatta perlu menghidupkan produksi garam rakyat begitu salah satu di antara mereka meraih kemenangan dalam pemilu eksekutif mendatang.
Penekanan pada kedaulatan ekonomi rakyat tentu akan berisko pada melambatnya tingkat pertumbuhan ekonomi untuk jangka pendek. Dalam jangka panjang, pilihan kebijakan ekonomi yang pro rakyat ini tentu akan menguntungkan bangsa secara keseluruhan. Impor untuk produksi pangan menjadi bisa ditekan secara signifikan.
Untuk produk komoditas seperti kedelai, dan tentu saja juga produk pangan lainnya, terutama yang pokok seperti beras, jagung, juga perlu diberi prioritas. Pencetakan sawah baru harus diwujudkan secara nyata dan bukan sekadar dijadikan tawaran politis semata selama kampanye.
Godaan untuk menjadi bangsa pengimpor saat ini dengan mengabaikan kemampuan memproduksi komoditas pangan sendiri dalam era global memang cukup besar. Jika harga komoditas internasional cukup murah secara komparatif dibandingkan dengan memproduksi sendiri, kebijakan ekonomi nasional tentu perlu memberikan batas-batas
yang rasional untuk pemihakan pada para produsen komoditas dalam negeri.
Gebrakan yang dilakukan Menneg BUMN Dahlan Iskan beberapa waktu lalu dengan memulai usaha peternakan sapi dalam skala besar juga perlu dilanjutkan oleh pemerintahan mendatang sehingga kemandirian Indonesia dalam memproduksi daging sapi bisa terwujud.
Dari penelaahan sekilas mengenai visi ekonomi kedua kubu, siapa calon presiden yang akan meraih kursi kepresidenan dalam Pilpres 2014 agaknya tidak menjadi masalah bagi rakyat di kalangan bawah. Sebab kedua kubu akan memberikan penekanan pada penguatan dan kemandirian ekonomi kerakyatan. Jadi, yang menjadi tugas semua pihak adalah untuk mengawal tentang realisasi dari program ekonomi kerakyatan itu dalam masa lima tahun mendatang.