Bogor (Antara News) - "Science meets policy". Ilmu pengetahuan melatarbelakangi lahirnya kebijakan atau peraturan. Inilah kelaziman yang seyogianya diadopsi, bukan "science approved by policy".
Kajian ilmiah analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang harus disahkan oleh para birokrat inilah yang kiranya ditengarai menjadi biang karut-marutnya pelaksanaan amdal di negeri ini.
Tak aneh kalau "Ombudsman Temukan Pungli di BPLHD Jabodetabek", demikian rilis beberapa media massa pada bulan Agustus 2013. Yang berbuntut pada pencopotan beberapa pejabat BPLHD di Jabodetabek.
Amdal yang harusnya merupakan kajian ilmiah menjadi komoditas yang bisa diatur oleh oknum BPLHD berapa biayanya agar memperoleh surat keterangan kelayakan lingkungan (SKKL) dan izin lingkungan.
Pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, Pasal 32 Ayat (1) menteri, gubernur, atau bupati/wali kota berdasarkan rekomendasi penilaian atau penilaian akhir dari Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 atau Pasal 30, menetapkan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup.
Dengan kata lain bahwa keputusan akhir tentang hasil dari studi amdal yang merupakan kajian ilmiah ada pada otoritas pemerintah.
"EIA is `a process having the ultimate objective of providing decision-makers with an indication of the likely consequences of their actions" (Wathern, 1988). Pernyataan ini memang menyebutkan bahwa tujuan akhir dari kajian amdal adalah memberikan arahan pada penentu kebijakan tentang kemungkinan dampak yang ditimbulkan oleh suatu rencana kegiatan terhadap lingkungan.
Melalui pendekatan yang intensif oleh "proponent" (pemrakarsa) terhadap oknum pengendali kebijakan tersebut, tidak mustahil kajian amdal yang semestinya kajian ilmiah bisa dituntaskan dengan nomenklatur "wani piro".
Hal inilah yang disinyalir terjadi pada beberapa daerah yang berhasil diungkap oleh Ombudsman.
Pengalaman empirik mengungkapkan terkadang oknum pemegang kebijakan bahkan memberikan tarif di bawah meja ini jauh melebihi biaya kajian amdal itu sendiri.
Operasi di bawah meja, bisa juga dengan modus, oknum pemegang kebijakan mengatur konsultan yang akan melakukan kajian amdal. Bahkan, negosiasi biaya kajian amdal dengan pemrakarsa juga dilakukan oleh oknum pejabat tersebut.
Tentu saja dengan hasil kajian yang sudah bisa diatur "layak". Atau, dengan cara meminta proporsi dalam bentuk prosentasi dari dana total pembiayaan studi.
Integritas
Komisi Amdal yang menentukan layak atau tidaknya suatu kegiatan semestinya dibekali dengan integritas dan komitmen serta otoritas yang kuat untuk membuat keputusan kolektif yang tidak bisa dipengaruhi oleh siapa pun.
Penguatan komitmen anggota Komisi Amdal ini barangkali bisa dibuat melalui semacam surat keterangan "fakta integritas" terkait dengan kepakaran dan komitmennya untuk menjaga lingkungan.
Dengan demikian, Ketua Komisi Amdal dan sekretariat komisi yang memang pejabat pemerintah tertutup peluangnya untuk memengaruhi keputusan kelayakan lingkungan sehingga kemungkinan kongkalikong oknum pejabat lingkungan bisa dikikis.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (PerMenLH) Nomor 8 Tahun 2013 mengatur tentang tata laksana penilaian dan pemeriksaan dokumen lingkungan hidup serta penerbitan izin lingkungan.
Pada peraturan ini dielaborasi ketentuan tentang pendanaan dari pembahasan dokumen lingkungan yang dilaksanakan oleh Komisi Amdal.
Pendanaan pembahasan amdal dibebankan pada APBN atau APBD dan dapat pula dibebankan pada pemrakarsa (Pasal 30). Jumlah dana yang dibutuhkan mengacu pada standar biaya umum (SBU) nasional atau daerah sesuai dengan ketentuan Kementerian Keuangan.
Secara regulasi, sebetulnya tak ada biaya nonteknis yang dipungut oleh Komisi Amdal dalam persetujuan amdal atau upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL) yang berakhir dengan dikeluarkannya izin lingkungan.
Namun, terkadang instansi di daerah memberikan penafsiran yang berbeda.
Nomenklatur "izin lingkungan" inilah yang sering memunculkan kendala. Pengurusan izin di daerah menjadi ranahnya kantor perizinan satu atap yang sering tergabung dalam Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT), bukan kewenangan Badan Lingkungan Hidup Daerah.
Sementara itu, dalam Permen LH Nomor 8 Tahun 2013 tidak diatur mekanisme dana yang dialokasikan bagi instansi yang membawahi perizinan tersebut.
Ketidaksinkronan tentang pengurusan izin lingkungan yang diintroduksi oleh KLH dengan pemahaman perizinan oleh instansi lingkungan hidup daerah perlu segera dibenahi oleh KLH, terutama yang terkait dengan regulasinya.
Sekiranya Permen LH No. 8/2013 ini bisa diterapkan dengan baik, niscaya biaya-biaya nonteknis yang dipungut oleh oknum pejabat tersebut tidak akan marak terjadi.
Akan tetapi, siapa yang bisa mengontrol hal tersebut?
Seharusnya pemrakarsa dan konsultan punya nyali untuk melaporkan penyelewengan tersebut kepada Ombudsman sehingga praktik-praktik licik demikian bisa diamputasi.