Jakarta, 8/6 (ANTARA) - Ambisi dan mimpi putra-putri bangsa untuk mencapai tujuh puncak tertinggi di dunia akhirnya tercapai setelah, pada 19 Mei pukul 07.49 waktu Tibet-China, mereka berhasil mengibarkan bendera Merah Putih di puncak terakhir, Everest, yang merupakan gunung tertinggi di dunia.
Nur Huda dan Iwan Irawan, dua orang pecinta alam sekaligus pendaki Wanadri yang mengibarkan Sang Saka dan merasakan tipisnya oksigen serta menyaksikan pemandangan "surga" dari ketinggian 8.850 meter di atas permukaan laut.
Dua pendaki tersebut melengkapi rangkaian pendakian tujuh puncak dunia dan layak disebut sebagai "seven summiters", yang merupakan sebutan yang diidamkan setiap pendaki di seluruh dunia.
Pendakian terakhir ke Everest itu dilakukan oleh empat pendaki yang dibagi menjadi dua tim yaitu Tim Utara dan Tim Selatan.
Tim Utara, beranggotakan Nur Huda dan Iwan Irawan, didampingi Camp Manager Galih Donikara, mendaki dari arah Tibet-China. Sedangkan Tim Selatan, beranggotakan Ardhesir Yaftebi dan Fajri Al Luthfi, didampingi Camp Manager Hendricus Mutter, mendaki dari arah Nepal, namun gagal mencapai puncak Everest.
Everest, atau sering disebut oleh orang Nepal sebagai Sagarmatha, yang berarti Bunda Semesta, merupakan ujung tertinggi sekaligus salah satu tempat paling tidak bersahabat di Bumi untuk dihuni.
Tebing curam, jurang yang dalam, temperatur rendah, cuaca yang tidak bisa diprediksi, serta bentang alam yang tertutup sebagian besar oleh lapisan es, menjadikan bagian dari Pegunungan Himalaya tersebut tempat yang "keras dan kejam" bagi manusia.
Namun di balik kejamnya alam dan ketangguhannya sebagai benteng alam di perbatasan lima negara, Pakistan, India, China, Bhutan dan Nepal, Himalaya ternyata sangat rentan dengan apa yang disebut pemanasan global.
Pemanasan global yang disebabkan oleh efek berantai dari lonjakan kandungan gas karbon dioksida (CO2), yang berperan sebagai gas rumah kaca, mempunyai pengaruh terhadap perubahan iklim di muka bumi.
Salah satu gejala yang tampak adalah menurunnya jumlah gletser di berbagai puncak gunung bersalju di dunia. Hal tersebut menjadi salah satu kekhawatiran tim ekspedisi 7 Summits 2010-2012 dan menjadi suatu amanat bagi mereka untuk disebarkan kepada dunia.
"Akibat dari pemanasan global ini memberikan efek yang tidak menguntungkan bagi manusia. Hal itu lah yang ingin kami sampaikan kepada masyarakat bahwa telah terjadi pemanasan global yang mengakibatkan terjadinya perubahan cuaca. Dan perubahan cuaca menyebabkan perubahan iklim. Ini tidak menguntungkan bagi kita," kata Ketua Harian Tim 7 Summits Expedition 2010-2012 Yoppi Rikson Saragih setelah tiba di Tanah Air pada Jumat (1/6).
Dampak Nyata
Dalam ekspedisi mereka di tujuh puncak dunia selama dua tahun lebih, tim 7 Summits secara langsung merasakan dampak pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim di tempat-tempat paling terpencil dan sulit dijangkau di muka bumi.
Puncak Ndugu-Ndugu atau Cartenz Pyramid (4.884 mdpl) di Papua, Indonesia, Puncak Kilimanjaro (5.895 mdpl) di Tanzania, Puncak Elbrus (5.624 mdpl) di Rusia, Puncak Aconcagua (6.692 mdpl) di Argentina, Puncak Denali (McKinley) (6.194 mdpl) di Amerika Utara dan Vinson Massif (4.897 mdpl) di Antartika, dan Everest (8.850 mdpl) yang menuturkan kepada Tim 7 Summits Expedition tentang gejala nyata pemanasan global.
"Di Cartenz orang sekitar mengeluh karena cuaca sudah tidak jelas dan es menyusut dengan sangat drastis. Itu mengganggu musim tanam dan musim berburu masyarakat di sana," kata Yoppi
Cartenz Pyramid, disebut juga Ndugu-Ndugu oleh penduduk lokal, merupakan salah satu gunung salju yang berada di khatulistiwa selain Kilimanjaro. Puncak tertinggi di Indonesia tersebut, dengan ketinggian 4.884 mdpl, menjadi bagian dari komplek Pegunungan Jaya Wijaya, Irian Jaya.
Walaupun belum ada perhitungan secara langsung tentang keseimbangan massa gletser di Cartenz, perubahan gletser diketahui dari rekaman sejarah menggunakan catatan ekspedisi, foto dari udara, citra satelit serta perhitungan in-situ dari Ekspedisi Australia pada 1970.
Sebagian besar penelitian dilakukan terhadap gletser yang berada di Puncak Jaya, di antaranya North Wall Firn, Meren, Carstensz dan Southwall Hanging. Menurut penelitian Joni L. Kincaid dan Andrew G. Klein yang dilakukan dengan bantuan pencitraan satelit, IKONOS Image, gletser-gletser tersebut telah mengalami penyusutan volume secara ekstensif yang mengurangi keseluruhan tutupan es di Puncak Jaya dari 20 km persegi pada 1850 hingga kini kurang dari tiga km persegi pada 2002.
Analisa dari tingkat penyusutan es dari tiap area utama gletser tersebut menunjukkan bahwa Gletser Carstensz dan Meren telah mengalami penyusutan secara terus menerus selama satu abad terakhir hingga sepenuhnya mencair antara tahun 1992-2000. Sejumlah tutupan es di Puncak Trikora, dilaporkan telah hilang antara tahun 1939-1962, dan juga dari Puncak Mandala, pada 1989-2003.
"Sementara itu, di Denali, es menjadi lebih lunak karena lebih tipis serta beberapa puncak yang tadinya ada es, sekarang tidak ada es di sana," kata pendaki senior yang sudah kenyang dengan pengalaman tersebut.
Gunung Denali (McKinley), terletak di Alaska, Amerika Utara, merupakan gunung yang memiliki massa salju yang lebih besar daripada Gunung Everest. Dengan ketinggian 6.194 m dan terletak di dekat lingkaran kutub utara, Denali dikenal mempunyai suhu yang sangat dingin antara -60 hingga -80 derajat Celcius.
Penyusutan es juga mereka jumpai ketika mendaki Kilimanjaro (5.892 mdpl). Para pendaki dalam pendakian di puncak tertinggi di Benua Afrika tersebut dihadapkan dengan kondisi yang lebih panas dan lebih terik dari biasanya.
Anomali cuaca yang tidak lazim seperti perubahan cuaca yang drastis dari dingin menjadi panas terik juga mereka jumpai ketika mendaki Everest.
Yoppi mengatakan selama beberapa tahun terakhir tidak pernah terjadi hujan es di Lukla, yang merupakan kota terakhir yang bisa didarati pesawat sebelum orang melakukan pendakian ke Everest. Namun, ketika tim 7 Summits di Lukla, hujan es turun di sana.
Beberapa penduduk lokal yang mereka jumpai mengeluhkan anomali cuaca yang berubah drastis tersebut."Akibat terjadi perubahan cuaca, orang yang seharusnya bisa menanam kentang, karena hujan es dan cuaca dingin, tanamannya tidak tumbuh," kata Yoppi.
Masalah sanitasi
Selama perjalanan mengibarkan Merah Putih di tujuh puncak dunia, Tim 7 Summits Expedition juga menjumpai keluhan dari penduduk lokal tentang berkurangnya pasokan air bersih yang disebabkan oleh gletser yang semakin menyusut serta lelehan gletser yang sering membawa material lumpur dan pasir.
Menyusutnya jumlah gletser yang mencair bisa mengurangi pasokan air bersih untuk jutaan penduduk yang menggantungkan kehidupan darinya, terutama di wilayah pegunungan Himalaya.
Pegunungan Himalaya bisa juga disebut kutub ketiga bumi karena mempunyai tutupan es terbesar di dunia, di luar kutub utara dan selatan, yang ketika mencair di musim panas menjadi sumber kehidupan di sungai-sungai besar dunia seperti Sungai Gangga, Brahmaputra, Yangtze, dan Mekong di mana ratusan juta manusia menggantungkan kehidupannya dari sana.
Kandungan air yang sangat banyak tersimpan di gletser mempunyai peran penting dalam menjaga aliran sungai, pembangkit tenaga, dan juga produksi pertanian di daerah sekitarnya.
"Jika air semakin sedikit, dampaknya adalah sanitasi semakin berkurang sehingga orang-orang yang melewati daerah tersebut juga bisa terkena penyakit," kata Yoppi.
Pendaki Wanadri Iwan "Kwecheng" Irawan, selama perjalanannya "menziarahi" tujuh puncak dunia mengaku prihatin dengan apa yang dirasakan oleh penduduk lokal.
"Masyarakat setempat sebagian kurang paham bagaimana melakukan konservasi sumber air. Yang saya lihat di Tibet, kondisi masyarakat di sana sangat lah miskin, kebutuhan utama mereka adalah makan dan minum, dan mereka ingin mendapatkan pekerjaan untuk makan," kata Iwan.
Namun demikian, ancaman tidak hanya datang dari perubahan iklim, tapi juga masalah kebersihan dan sanitasi ketika di ketinggian.
Regulasi yang dikeluarkan oleh asosiasi mountaineering setempat sangat menekankan tentang kebersihan ketika mendaki.
"Di Denali dan Vinson Massif, masalah sampah dan tinja sangat diperhatikan, sampai-sampai kami bawa turun kembali memakai plastik," kata Iwan.
Kampanye mendaki dengan bersih sangat digalakkan untuk menjaga kelestarian alam dan juga sumber mata air di pegunungan. Untuk meringankan pendakian, sejumlah petugas bahkan disiagakan untuk membawa turun sampah dan tinja, yang sebelumnya dikumpulkan oleh para pendaki, untuk dibuang dari tempat pendakian ke tempat pembuangan di bawah.
Di benak para pendaki pemberani Wanadri tersebut, gunung merupakan tempat yang suci sehingga merupakan kewajiban mereka untuk tetap menjaga kesucian gunung dalam setiap perjalanan ziarah mereka.
"Gunung ada di sana karena kebesaran Tuhan," itu lah yang menjadi pedoman mereka.
Sudah merupakan kewajiban mereka pula membawa pesan tentang perubahan yang terjadi di tempat-tempat suci tersebut kepada masyarakat sebagai peringatan dini tentang perubahan iklim yang berjalan pelan namun pasti.
"Apa yang kami capai di puncak-puncak dunia itu kami jadikan sebagai bukti apa yang telah berubah di sana," tutur Iwan.