Kendari (ANTARA) - Warga Desa Watorumbe dan Watorumbe Bata, Kecamatan Mawasangka Tengah secara tegas menolak aktivitas penambangan batu yang dilakukan oleh perusahaan PT. Diamond Alfa Propertindo (DAP).
Penolakan itu kembali memanas setelah warga menemukan pihak perusahaan mencoba untuk membuka akses jalan baru menuju lokasi.
Sekretaris Desa Watorumbe Sumardin, Selasa, mengatakan aktivitas pertambangan di wilayahnya sebenarnya sudah berhenti sejak akhir 2024 lalu akibat masalah sosial dan sengketa batas wilayah dengan Desa Gundu-gundu. Namun, belakangan perusahaan kembali berusaha melakukan aktivitas meski penolakan warga semakin kuat.
“Pada akhir 2024 aktivitas tambang sudah resmi diberhentikan karena masalah sosial. Bahkan rapat adat yang digelar Senin lalu, perangkat adat memutuskan bahwa masyarakat tidak lagi menginginkan adanya pertambangan di Watorumbe,” kata Sumardin.
Ia menegaskan rencana lokasi pertambangan itu pada dasarnya merupakan milik seluruh warga Watorumbe.
“Kami coba klarifikasi di salah satu tokoh adat, dan tokoh adat tidak pernah mengiyakan, tokoh adat hanya sampaikan ke perusahaan tanah itu sudah di kembalikan ke pemilik lahan, dan hampir semua warga tersebut pemilik lahan sudah melarang keras. Keputusan adat jelas tidak ada lagi aktivitas tambang di sini,” ujarnya.

Namun, meski sudah ada keputusan adat, PT DAP sempat berupaya membuka jalan untuk akses tambang. Aksi sepihak perusahaan ini memicu kemarahan warga, apalagi disebut-sebut mengatasnamakan tokoh adat untuk melancarkan kegiatannya.
Di tempat yang sama, perangkat Adat Watorumbe Samim menyebut alasan utama penolakan adalah dampak lingkungan dan keselamatan warga.
“Lokasi terlalu dekat dengan pemukiman. Saat ada aktivitas di Gundu-gundu saja, ledakan terasa hingga ke Watorumbe. Bahkan ada beberapa rumah warga yang retak akibat ledakan tersebut, Apalagi kalau jarak lokasi pertambangan hanya 500 meter dari pemukiman warga,” ungkapnya.
Samim menambahkan Desa Watorumbe berbatasan langsung dengan desa lain seperti Katokobari, Lantongau, dan Lakorua, yang hanya berjarak sekitar satu kilometer.
“Masuk akal dari mana mau menambang di sini. Adat dan masyarakat 99,9 persen menolak. Bahkan warga sempat melihat alat berat sudah membuka jalan tanpa sepengetahuan masyarakat. Itu yang memicu keributan,” jelasnya.
Masyarakat bersama perangkat adat menegaskan, pertambangan di Watorumbe sudah tidak bisa lagi dilanjutkan. Mereka menilai dampak yang ditimbulkan jauh lebih besar ketimbang manfaatnya.
“Intinya, pemerintah desa, adat, dan warga sudah sepakat menolak. Tidak ada lagi ruang bagi tambang di Watorumbe,” sebut Sumardin.

Sementara itu, perwakilan PT DAP Marwan mengklaim bahwa langkah perusahaan membuka jalan hanya sebatas pembersihan lahan untuk mengetahui siapa pemilik tanah yang sebenarnya.
“Kami melakukan pembuatan jalan karena hasil keputusan adat sebelumnya menyebutkan pertambangan bisa dilakukan jika ada izin dari pemilik lahan. Jadi kami melakukan pembersihan lahan supaya mendeteksi siapa saja yang punya lahan,” jelas Marwan.
Menurutnya, perusahaan juga telah berkoordinasi dengan tokoh adat meski akhirnya tetap menimbulkan protes dari sebagian pemuda desa.
“Kami sudah izin ke tokoh adat. Memang adat tidak mengiakan dan juga tidak menyuruh, tapi itu langkah awal kami. Setelah pertemuan di desa, ada tokoh adat yang mengakui dan sejalan dengan pembicaraan kami. Namun sebagian pemuda menolak,” ucapnya.
Ia menambahkan jika penolakan warga tidak sepenuhnya bulat, dan terdapat sebagian masyarakat yang ikut mendukung agar perusahaan berjalan.
"Yang menolak kebanyakan mereka yang sudah memiliki pekerjaan, sementara masyarakat yang belum punya pekerjaan justru berharap ada peluang kerja dari tambang. Kami hanya sebatas membuka jalan, belum ada aktivitas pertambangan. Kalau pemilik lahan tidak mengizinkan, maka kami akan pindah ke lokasi lain,” tambahnya.

