Bandung (ANTARA) -
"Kami berharap para sineas, insan film, dan juga berbagai pihak mungkin bekerja sama dengan para sejarawan juga, kita memberikan afirmasi untuk lahirnya film-film sejarah," kata Fadli di sela Musyawarah Nasional Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) di Kampus UPI Bandung, Sabtu.
"Misalnya kalau kita lihat dulu ada film Tjut Nyak Dien, dan lainnya. Bayangkan kalau nanti ada film lagi tentang Diponegoro, tentang Imam Bonjol, Patimura tentang Malahayati atau tentang film-film biopik ya baik orang-orangnya kemudian juga film tentang peristiwanya seperti Usmar Ismail dulu membuat film Darah dan Doa tahun 1950 tentang peristiwa Long March Siliwangi, 6 jam di Jogja Dan lain-lain. Jadi film sejarah itu tetap menarik," ujarnya.
Dia menekankan produksi film sejarah harus digencarkan, karena mengingat ini juga cukup menjanjikan dari segi bisnis dan bagi pembelajaran generasi muda.
Dia mencontohkan Hollywood di mana produksi film sejarahnya luar biasa, terutama terkait Perang Dunia Kedua yang sampai hari ini terus diproduksi dengan beragam cerita, bahkan beberapanya mendapatkan Piala Oscar.
Terkait dengan serbuan film dan drama dari luar negeri khususnya Korea Selatan yang kemungkinan menjadi tantangan tersendiri untuk munculnya film bertema sejarah, Fadli mengingatkan hal itu jangan dianggap sebagai ancaman.
"Tapi justru harus kita jadikan tantangan, challenge. Kita merefleksi diri kita cerita kita banyak gak kalah dari cerita Korea itu banyak sekali. Tapi mungkin kita perlu memicu diri kita sendiri untuk membuat cerita-cerita storytelling dan skenario film yang bagus," tutur Fadli Zon.