Jakarta (ANTARA) - Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Asep Supena menjelaskan bahwa penggunaan tes TOEFL (Test of English as a Foreign Language) sebagai salah satu syarat seleksi Pegawai Negeri Sipil (PNS) perlu dianalisis dengan cermat.
Hal tersebut dimaksudkan agar tidak menciptakan ketidakadilan bagi calon pegawai, terutama bagi mereka yang berasal dari daerah terpencil dengan keterbatasan akses.
“Faktanya kan ada juga yang mungkin ketika masuk 450 atau 425 tetapi karena lembaganya serius dalam pengembangan kompetensi dan karir staf-nya maka dilakukan kursus misalnya secara khusus untuk pengembangan bahasa Inggris maka itu pun juga bisa berhasil. Nah artinya jangan sampai begini ini kan persoalan keadilan ya. Kemampuan bahasa Inggris itu mungkin banyak dikuasai oleh orang-orang dengan status sosial ekonomi tinggi dan tinggal di daerah perkotaan karena fasilitas atau peluang,” kata Asep kepada ANTARA secara daring di Jakarta, Rabu.
Asep menjelaskan tidak semua posisi di instansi pemerintahan memerlukan penguasaan bahasa Inggris yang tinggi, misalnya, pekerjaan yang bersifat administratif yang kemungkinan tidak memerlukan kemampuan bahasa Inggris yang signifikan, berbeda dengan posisi seperti staf di kedutaan atau dosen yang memang membutuhkan keterampilan bahasa Inggris tingkat tinggi, baik untuk komunikasi internasional maupun penulisan ilmiah.
Ia juga menyoroti potensi masalah yang timbul dari kewajiban mengikuti tes TOEFL, yang bisa menjadi beban finansial bagi calon PNS, terutama yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah.
Lebih lanjut, pengamat ini mengusulkan agar tes kemampuan bahasa Inggris untuk seleksi PNS tidak selalu mengandalkan TOEFL, pemerintah bisa merancang instrumen ujian sendiri yang lebih terjangkau dan relevan dengan kebutuhan masing-masing jenis pekerjaan.
Selain itu, ia menekankan bahwa pengembangan kemampuan bahasa Inggris setelah menjadi pegawai juga sangat mungkin dilakukan, asalkan lembaga tempat mereka bekerja memberikan pelatihan yang memadai.
"Meskipun skor TOEFL seseorang mungkin rendah, bukan berarti mereka tidak dapat berkembang. Jika lembaga tempat mereka bekerja serius dalam pengembangan kompetensi, kursus atau pelatihan bahasa Inggris dapat dilakukan setelah mereka diterima sebagai PNS," ungkapnya.
Tak hanya itu, Asep juga menekankan pentingnya pemerataan akses pendidikan bahasa Inggris sejak dini, dan ia mengusulkan agar pelajaran bahasa Inggris dijadikan mata pelajaran wajib dari SD hingga SMA, dengan fokus pada kemampuan komunikasi lisan yang praktis, bukan hanya teori atau grammar.
Selain itu, ia juga menyarankan agar pemerintah meninjau kembali kebijakan penggunaan skor TOEFL dalam seleksi PNS dengan mempertimbangkan keadilan bagi calon pelamar dari berbagai lapisan sosial dan wilayah.
Dengan demikian, seleksi PNS dapat berjalan lebih adil dan tepat sasaran, serta tidak menghambat kesempatan mereka yang tinggal di daerah-daerah kurang berkembang.