Jakarta (ANTARA) - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid optimistis dapat menyelesaikan Kebijakan Satu Peta atau One Map Policy pada tahun depan untuk mempermudah perizinan usaha.
Ia mengatakan bahwa One Map Policy adalah isu pertama yang harus segera diselesaikan oleh Kementerian ATR/BPN karena hal tersebut diperlukan untuk menerbitkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) bagi para pelaku usaha.
"Insya Allah akan segera selesai, karena kemarin kami sudah bicara dengan Ibu Menteri Keuangan (Sri Mulyani Indrawati), loan (pinjaman) dari Bank Dunia akan diteken dalam bulan-bulan ini oleh Beliau, sehingga tahun depan One Map Policy-nya akan segera selesai," kata Nusron di Jakarta.
Ia menuturkan bahwa saat ini pemerintah baru menyelesaikan satu peta tata ruang berbasis One Map Policy dengan skala 1:5.000 untuk Pulau Sulawesi.
Dengan terbatasnya pengembangan peta yang terintegrasi, ia mengatakan bahwa pengurusan PKKPR memakan waktu lama karena belum adanya Rencana Detail Tata Ruang (RTDR).
“Saat ini di Indonesia baru ada 541 RDTR dari yang dibutuhkan sebanyak 2.000 RDTR. Dari 541 RDTR itu pun yang sudah online di OSS baru 278 RDTR, sehingga pekerjaan rumah 5 tahun ke depan ini masih sangat panjang,” ujarnya.
Nusron mengatakan bahwa sebenarnya pemerintah telah memiliki solusi terhadap permasalahan tersebut melalui service-level agreement berdasarkan Pasal 179 dan 180 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
"Kalau dalam waktu 45 hari pengajuan PKKPR tidak disetujui, maka BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal/Kementerian Investasi dan Hilirisasi) sebagai otoritas investasi diperbolehkan mem-bypass untuk melakukan persetujuan PKKPR," katanya.
Hal tersebut, lanjutnya, berdampak pada ketidaksesuaian tujuan pemanfaatan ruang yang tertera dalam PKKPR dengan peruntukan ruang tersebut dalam peta Kementerian ATR.
"Akibatnya, setelah diteliti dengan menggunakan peta 1:5.000 yang sudah jadi di Pulau Sulawesi itu, hasilnya lebih dari 82 persen PKKPR tidak sesuai dengan peta tata ruang yang seharusnya," ujar Nusron.
Ia pun mendorong pelayanan PKKPR dapat dipercepat dengan tetap memperhatikan upaya mitigasi risiko, agar bisa menangkap berbagai potensi investasi yang masuk, meskipun One Map Policy belum sepenuhnya diselesaikan.
"Kami ingin pelayanannya cepat, tapi tetap akuntabel, tetap akurat dalam konteks jangka panjang, tidak melahirkan malapetaka, apalagi menjadi bencana," imbuhnya.