Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan bahwa mahasiswa, dosen, peneliti, dan lain sebagainya boleh berpihak, namun tetap independen dalam cara berpikir dan bertindak.
"Netral, kalau dalam situasi yang tidak setara, artinya kita seakan-akan memperkuat orang yang punya kekuasaan, yang lebih dominan," ujar Bivitri dalam Kegiatan UIN Law Fair VII dan Penandatanganan MoU, dipantau dari Jakarta, Jumat.
Ia mencontohkan konflik antara Israel dengan Palestina. Akademisi boleh berpihak kepada Palestina, sebab tidak mungkin tutup mata dan diam ketika ada yang tertindas.
"Nggak mungkin diam, ada yang tertindas. Maka, kita sebenarnya boleh sekali untuk tidak netral," ucap dia.
Akan tetapi, lanjut Bivitri, para akademisi harus tetap independen dalam penelitian dan cara berpikir.
Dalam kesempatan tersebut, Bivitri juga menyoroti pentingnya kesetaraan antara warga dan pemerintah. Ia mengingatkan bahwa unsur-unsur berdirinya suatu negara didasari oleh penduduk, wilayah, pemerintah, dan kedaulatan.
"Penduduk dulu, bukan pemerintah. Jadi, negara itu ada karena kita, warga, dan tugas dari konstitusi adalah menyeimbangkan ini," ujar Bivitri.
Akan tetapi, terdapat ketidaksetaraan dalam relasi kuasa antara warga dengan penyelenggara negara.
Para penyelenggara negara memiliki fasilitas yang mengatur jalannya negara, seperti kemampuan untuk membentuk hukum, kepemilikan terhadap senjata, dan lain-lain. Di sisi lain, warga negara tidak memiliki kemampuan tersebut.
"Maka tugas hukum adalah menyetarakan relasi kuasa yang sebenarnya tidak seimbang itu," kata Bivitri.
Oleh karena itu, ia menyoroti pentingnya pembuatan hukum yang adil oleh para penyelenggara negara. Produk hukum yang dihasilkan, ucap dia, idealnya memiliki keberpihakan terhadap konstitusi karena relasinya memang tidak setara.
Ia menggarisbawahi bahwa konstitusi bukan sekadar persoalan pasal dan putusan, melainkan nilai-nilai penyeimbang antara warga dengan negara.
"Saya ingin bilang, bahwa kita harus punya keberpihakan dalam berkonstitusi karena relasinya memang tidak setara. Yang dianggap bisa memberi keadilan adalah para pembuat hukum, padahal belum tentu (memberi keadilan)," tutur Bivitri.