Kendari (ANTARA) - Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3APPKB) Sulawesi Tenggara menyebut sebanyak 179 kekerasan anak dilaporkan sepanjang 2021.
"Jumlah kekerasan anak yang dilaporkan sebanyak 179 kasus," kata Kepala Dinas P3APPKB Sultra Andi Tenri Rawe Silondae di sela rapat koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan pendampingan peningkatan kualitas hidup anak dan kewenangan provinsi di Kendari, Kamis.
Dia menyebut, dari jumlah tersebut laporan paling banyak adalah kekerasan pada anak perempuan sebanyak 116 kasus dan 63 kasus kekerasan terhadap anak laki-laki. Meski begitu, dia tidak menyebut daerah mana saja di 17 kabupaten/kota yang terdapat kasus kekerasan anak.
"Berbagai bentuk tindakan kekerasan yang dialami anak diantaranya eksploitasi ekonomi, pelecehan seksual, kekerasan rumah tangga dan berbagai bentuk lainnya," ujar dia.
Kekerasan perempuan dan anak, lanjut dia, paling banyak pada kelompok usia 13 sampai 17 tahun yakni 106 kasus dengan rincian 72 kasus perempuan dan 34 kasus laki-laki.
Menurutnya, permasalahan anak tidak hanya dilihat dari aspek kekerasan terhadap anak tetapi juga terkait dengan pemenuhan hak anak baik dari aspek pendidikan, ekonomi, kesehatan dan gizi terutama terkait dengan tumbuh kembang dan pola pengasuhan anak.
Dia menyebut, pemerintah berkomitmen memenuhi hak anak sebagaimana amanat konstitusi, komitmen ini diperkuat dengan melibatkan anak-anak Indonesia yang tergabung dalam forum anak sebagai mitra pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan anak antara lain dengan cara meningkatkan peran dan kontribusi langsung dari anak-anak.
"Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan bangsa dan negara maka setiap anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik mental maupun sosial," ujarnya.
Untuk itu, menurutnya perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak haknya tanpa perlakuan diskriminatif.
"Kita sudah ada pembentukan PATBM (perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat) di dalamnya itu terdapat unsur-unsur masyarakat, supaya mereka bisa melaporkan bila mana ada kejadian di sekitarnya mereka laporkan ke Dinas P3A melalui UPTD PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak)," ujar dia.
Tenri mengaku, pihaknya tidak bisa serta-merta turun ke lapangan bila ada kasus di wilayah kabupaten/kota karena ada yang namanya UPTD PPA kabupaten/kota, serta satuan tugas yang telah terbentuk.
"Kita harus berkoordinasi dulu apakah misalnya kabupaten/kota yang dimaksud menjadi lokus kejadian sudah mengetahui kejadian tersebut atau belum, kalau belum kami segera menyampaikan agar segera turun ke lapangan melakukan penjangkauan ke lokasi kejadian dan tindakan apa yang bisa mereka segera persiapkan," jelas Tenri.
Selain itu, dia mengaku pihaknya juga tidak bisa mengintervensi daerah-daerah yang terdapat kasus kekerasan anak karena di daerah telah terdapat UPTD PPA, namun pihaknya terus membangun koordinasi kepada Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak di kabupaten/kota.
"Jadi kalau misalnya di daerah lokus kejadian tersebut tidak terdapat psikolog maka itulah yang akan menjadi intervensi dari kami, kami turunkan tim psikolog dari provinsi," demikian Andi Tenri Rawe Silondae.