Kendari (ANTARA) - Masih teringat di benak kita adanya aksi membunuh dan menguliti seekor buaya yang terjadi di kawasan pertambangan daerah Kecamatan Morosi Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara pada 25 Agustus lalu.
Buaya salah satu satwa yang dilindungi di negara Indonesia menjadi santapan tenaga kerja asing (TKA) asal Tiongkok.
Para TKA tersebut sebelumnya memperoleh seekor buaya dengan cara dibeli dari warga lokal. Buaya itu berukuran sekira 3 meter.
Foto-foto buaya itu berseliweran pada Rabu, 25 Agustus 2021, di berbagai platform media sosial seperti WhatsApp dan Facebook memperlihatkan sejumlah pekerja membunuh dan menguliti buaya tersebut.
Dalam foto-foto itu terlihat beberapa orang TKA China asyik menguliti buaya. Bahkan sebelum dikuliti, buaya itu dipakaikan kaca mata hitam dan sebuah helm berwarna kuning bertuliskan "OSS".
Tak hanya foto, kejadian itu juga direkam ke dalam video, terlihat seekor buaya yang sudah terikat menjadi tontonan para pekerja tambang.
Atas kejadian itu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tenggara mengusut aksi membunuh dan menguliti seekor buaya yang diduga dilakukan pekerja tambang di daerah Kabupaten Konawe.
Kepala BKSDA Sultra Sakrianto Djawie mengatakan tindakan membunuh buaya tidak dapat dibenarkan karena buaya merupakan salah satu satwa yang dilindungi sesuai Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
BKSDA lalu berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dan langsung menurunkan tim ke lokasi tambang sesuai informasi tempat seekor buaya dibunuh lalu dikuliti.
Sakrianto menegaskan ancaman hukuman lima tahun penjara dapat dikenakan jika dalam penyelidikan nanti terbukti buaya itu dengan sengaja dibunuh sesuai Undang-Undang tentang Perlindungan Satwa Nomor 5 Tahun 1990.
“Tim yang ke lokasi nanti untuk melakukan penyelidikan dan meminta keterangan pihak yang berkaitan dengan kejadian ini,” katanya.
Dijadikan sup
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) bersama petugas Penegakkan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sulawesi Tenggara menduga, buaya yang dibunuh tenaga kerja asing (TKA) telah dijadikan santapan.
Dugaan itu dikuatkan, saat petugas menyambangi tempat beristirahat para TKA di kawasan Morosi dan menemukan potongan daging diduga buaya berada dalam panci. Bahkan, daging tersebut telah dimasak menjadi sup.
“Jadi kita pastikan buaya ditemukan di rawa dekat kawasan industri pertambangan dan di salah satu mess TKA itu ada panci berisikan sup dan potongan daging buaya itu, yang langsung kita amankan sebagai barang bukti,” kata Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Sultra La Ode Kaida.
Jika dalam proses penyelidikan telah ditetapkan siapa pelaku penyembelih dan penjual buaya, dengan unsur kesengajaan, akan diancam hukuman lima tahun penjara sesuai Undang-undanng Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.
“Ancaman hukuman lima tahun penjara jika terbukti secara sah dan meyakinkan telah sengaja menghilangkan nyawa hewan yang dilindungi itu,” tegasnya.
Selain itu, dari hasil penyelidikan BKSDA dan KLHK Sultra menemukan bekas darah serta kardus yang diduga digunakan sebagai alas saat buaya disembelih.
Dari keterangan sementara yang diperoleh, buaya tersebut ditemukan warga kemudian di jual ke TKA. Namun belum diketahui pasti identitas penjual buaya tersebut.
Buaya tersebut diketahui masuk ke dalam selokan dalam keadaan lemas diduga akibat limbah pabrik di daerah itu. Buaya lalu ditangkap oleh masyarakat lokal setempat dan diserahkan ke TKA China.
Minta maaf
Setelah adanya tindakan tenaga kerja asing (TKA) yang membunuh seekor buaya itu, Manajemen PT Obsidian Stainless Steel (OSS) yang beroperasi di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe menyampaikan permintaan maaf atas adanya kejadian tersebut.
Juru Bicara Manajemen PT OSS Tommy menjelaskan tindakan tersebut dilakukan para TKA asal Tiongkok itu secara spontan. Para TKA yang membunuh dengan cara menguliti buaya tersebut tidak tahu-menahu tentang aturan perlindungan hewan.
"Oleh karena itu, dengan tindakan tersebut, kami pihak Manajemen PT OSS meminta maaf atas tindakan tersebut, dan memastikan tindakan serupa tidak akan terjadi lagi," kata dia.
Dia menjelaskan, buaya tersebut didapatkan TKA dari masyarakat setempat yang menjual kepada TKA. Masyarakat menangkap buaya tersebut di sekitaran Kali Pohara.
"Jadi TKA mendapatkan binatang buas itu dari masyarakat yang menjual, di mana setelah masyarakat menangkap buaya itu, kemudian menawarkan kepada TKA," ujar Tommy.
Kepala BKSDA Sultra Sakrianto Djawie mengatakan tindakan membunuh buaya tidak dapat dibenarkan, karena buaya merupakan salah satu satwa langka yang dilindungi sesuai Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
BKSDA Sultra mengeluarkan pernyataan sekaligus akan mengusut pembunuhan dengan cara menguliti seekor buaya yang diduga dilakukan pekerja asing pada perusahaan tambang di Kabupaten Konawe itu.
Pelanggaran UU
Terkait pembunuhan buaya yang dijadikan santapan bagi tenaga kerja asing (TKA) asal Tiongkok pada 25 Agustus lalu, praktisi hukum Sulawesi Tenggara angkat bicara.
Salah seorang praktisi hukum asal Sultra Anselmus R Masiku menegaskan, tidak ada alasan untuk membunuh terlebih memakan hewan yang dilindungi di Indonesia.
Kritik itu menyusul beredarnya foto dan video di media sosial yang menampilkan seorang tenaga kerja asing (TKA) asal China yang memotong dan menguliti seekor buaya muara, di kawasan industri pertambangan, di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, beberapa waktu lalu.
“TKA asal China di Morosi memakan buaya sudah merupakan indikasi pelanggaran undang-undang, karena siapapun tidak berhak memakan hewan yang dilindungi di Indonesia,” kata Anselmus.
Proses hukum harus tetap berjalan bagi siapa saja yang melanggar Undang Undang Nomor 5 tahun 1990, yang merupakan otoritas Balai Gakum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Jika memang buaya itu sudah mati, seharusnya pihak yang menangkap melaporkan kepada BKSDA, atau setidaknya pemerintahan terdekat,” jelasnya.
Senada praktisi hukum lain, Dahlan Moga mengatakan, tidak dibenarkan dengan alasan apapun mengkonsumsi hewan endemik, pihak yang berwenang harus tegas memberlakukan pelanggar undang-undang di Indonesia.
Ia menegaskan, jangan sampai ada alasan kalau TKA asal China memakan buaya di Morosi itu tidak dapat dikenakan undang-undang di Indonesia.
“TKA China makan buaya di Morosi bukan termaksud Warga Negara Asing (WNA) yang memiliki hak imunitas, pasalnya mereka bukan perwakilan dari kedutaan kerja sama bilateral negara,” katanya.
Sementara itu, Kasi Konservasi Wilayah II BKSDA Sultra, Laode Kaida mengatakan, seharusnya buaya atau hewan apapun yang telah masuk kategori satwa yang dilindungi harus dilepasliarkan ke habitatnya, atau ditempatkan di tempat aman dari manusia dan hewan pemangsa lainnya.
Hewan dapat dibunuh apabila keberadaannya mengancam manusia di sekitar sesuai UU.
Guna melakukan proses hukum terhadap TKA China, kini BKSDA Sultra telah menyerahkan seluruh proses hukum kepada Lembaga Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Untuk proses hukum itu adalah kewenangan dari penyidik. Sedangkan BKSDA hanya fokus ke hewan satwanya," katanya.
Dikatakannya, barang bukti berupa tulang belulang sudah diserahkan ke Lembaga Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang akan memproses terkait pidana pelaku yang membunuh dengan sengaja dan atau yang menjualnya.
Kita tentunya sepakat, bila masyarakat membutuhkan suasana kehidupan yang tenang di lingkungannya tanpa ada rasa takut dan cemas.
Sebaliknya juga, kita perlu tetap mempertahankan dan menjaga keberadaan satwa buaya agar tetap lestari, karena buaya juga punya hak hidup yang sama dengan manusia.