Kendari (ANTARA) - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) telah dilaksanakan pada 9 Desember 2020 lalu di tujuh kabupaten.
Tujuh kabupaten yang dijadwalkan mencari pemimpin untuk periode berikutnya, yakni Kabupaten Muna, Kolaka Timur (Koltim), Konawe Selatan (Konsel), Buton Utara (Butur), Wakatobi, Konawe Utara (Konut) dan Konawe Kepulauan (Konkep).
Dari hasil pemungutan suara di ketujuh daerah tersebut, terdapat empat daerah bersengketa, yakni Kabupaten Konawe Kepulauan, Konawe Selatan, Muna dan Wakatobi.
Sementara, tiga daerah lainnya yakni Kabupaten Konawe Utara, Buton Utara dan Kolaka Timur dinyatakan oleh MK tanpa ada sengketa sehingga dapat melakukan pleno penetapan bupati dan wakil bupati terpilih.
Berbeda dengan empat daerah bersengketa, calon bupati dan wakil bupati yang tidak merasa puas dan merasa dirugikan kemudian mengajukan gugatan Perselisihan Hasil Pemilu (PHP) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Empat pasangan calon bupati dan wakil bupati yang menggugat yakni Rajiun Tumada-La Pili nomor urut 2 atas Pilkada Muna, Arhawi-Hardin La Omo nomor urut 1 atas Pilkada Wakatobi.
Kemudian, Muhammad Endang SA-Wahyu Ade Pratama nomor urut 3 atas Pilkada Konawe Selatan (Konsel), dan Oheo Sinapoy-Muttaqin Siddiq nomor urut 4 atas Pilkada Konawe Kepulauan.
Keempat pemohon prinsipal yang hadir secara langsung ataupun melalui kuasa hukumnya masing-masing menyampaikan dalil dalilnya atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara maupun pasangan calon lainnya di hadapan hakim MK.
Sidang sengketa Pilkada Konkep dan Konsel terjadwal pada 27 Januari 2021 pukul 14.00 WIB. Menyusul di hari yang sama, sidang sengketa pilkada Muna dan Wakatobi dimulai pukul 17.00 WIB
Setelah para pemohon menyampaikan dalil-dalil dan tuntutannya, di waktu berikutnya para termohon juga menyampaikan sanggahan atas dalil dalil para dari parapemohon.
Sehingga setelah mendengar keterangan pemohon dan termohon, maka MK memutuskan tiga dari empat daerah yang menggugat dinyatakan ditolak atau tidak dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya.
Pilkada Konawe Kepulauan
Mahkamah Konstitusi menetapkan tidak berwenang mengadili permohonan yang diajukan oleh Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Konawe Kepulauan Nomor Urut 4 Muhammad Oheo Sinapoy – Muttaqin Siddiq.
Ketetapan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh delapan orang hakim konstitusi lainnya, pada Senin (15/2) lalu di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pertimbangan Perkara Nomor 07/PHP.BUP-XIX/2021 tersebut, Mahkamah telah melakukan klarifikasi kepada pemohon pada sidang pemeriksaan pendahuluan terkait dengan kebenaran surat permohonan pencabutan yang ditandatangani oleh pemohon akan tetapi, lanjut Anwar, pemohon menyangkal kebenaran surat permohonan pencabutan tersebut.
Selain itu, pemohon menegaskan tidak mengenal orang yang bernama Adnis Tria Yuda Nugroho sebagaimana tercantum di dalam tanda terima penyampaian surat permohonan pencabutan tersebut. Mahkamah pun menyakini tanda tangan yang tertera diragukan keasliannya.
Anwar melanjutkan Mahkamah tetap melanjutkan pemeriksaan permohonan. Namun setelah memeriksa secara seksama, menurut Mahkamah, objek permohonan yang diajukan oleh Pemohon adalah Berita Acara dan Sertifikasi Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di tingkat Kabupaten Konawe Kepulauan.
Padahal sebagaimana tercantum dalam Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020 (PMK 6/2020), objek perselisihan hasil pemilihan kepala daerah adalah Keputusan Termohon mengenai penetapan perolehan hasil pemilihan yang signifikan dan dapat memengaruhi penetapan calon terpilih. Dengan demikian, Mahkamah tidak berwenang mengadili permohonan pemohon tersebut.
Sebelumnya, pemohon menjelaskan proses tahapan penghitungan suara yang didapatkan oleh empat pasangan calon kepala daerah kabupaten Konawe Kepulauan tidak termuat dalam sistem daring.
Sistem daring tersebut digunakan untuk pencetakan dan penerbitan bentuk model D sebagai berita acara dan sertifikat rekapitulasi penghitungan hasil suara yang memuat dan mencantumkan data-data jumlah rekapitulasi hasil penghitungan suara dari 101 TPS yang ada di Kabupaten Konawe Kepulauan.
Selain itu, Oheo mendalilkan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh KPU dan pasangan calon lainnya pada saat melakukan sosialisasi pasangan calon dalam bentuk pertemuan dan kampanye dengan melibatkan banyak orang lebih dari 50 orang.
Sehingga, hal tersebut melanggar protokol kesehatan tentang bahaya penangan penyebaran COVID-19. Lebih lanjut ia mengatakan, KPU dan Bawaslu Kabupaten Konawe Kepulauan termasuk aparat penegak hukum dan pihak terkait Kabupaten Konawe tidak melarang atau menyuruh membubarkan kerumunan orang di lapangan.
Kabupaten Muna
Selain PHP Kabupaten Konawe Kepulauan, Mahkamah Konstitusi juga tidak melanjutkan sidang perselisihan hasil pemilihan (PHP) bupati dan wakil Bupati Kabupaten Muna dengan sidang perkara Nomor 53/PHP.BUP-XIX/2021 yang diajukan oleh pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Muna nomor urut 2 LM Rajiun Tumada-La Pili.
Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan pada sidang pengucapan putusan yang dikutip dari akun youtube MK di Kendari, Selasa, membacakan bahwa Amar Putusan menyatakan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. Dalam pokok permohonan, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima.
Sebelumnya, pemohon pada pokoknya mendalilkan telah terjadi pelanggaran administrasi yang dilakukan termohon karena tidak melakukan verifikasi yang akurat terhadap dokumen-dokumen persyaratan bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Muna Tahun 2020, khususnya terkait dengan perbedaan nama lengkap calon Bupati atas nama La Ode Muhammad Rusman Emba.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Mahkamah menegaskan persoalan mengenai perbedaan nama calon Bupati atas nama La Ode Muhammad Rusman Emba yang tercantum dalam Formulir Model BB.1-KWK, BB.2-KWK, KTP elektronik dengan yang tercantum dalam Ijasah/Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) SMA Negeri 1 Raha dan Ijasah yang dikeluarkan oleh Universitas Hasanuddin (dokumen persyaratan pencalonan Bupati dan Wakil Bupati), sesungguhnya merupakan persoalan yang telah selesai.
KPU Kabupaten Muna (termohon) telah melakukan proses verifikasi dokumen persyaratan pencalonan Bupati dan Wakil Bupati sesuai dengan yang diatur dalam BAB III Penelitian Administrasi Tabel 3.1 Indikator Keabsahan Dokumen Persyaratan Calon dan Ketentuan Penulisan Nama Bakal Calon Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 394/PL.02.2-Kpt/06/KPU/VIII/2020 tentang Pedoman Teknis Pendaftaran.
Selanjutnya, Penelitian dan Perbaikan Dokumen Persyaratan, Penetapan, serta Pengundian Nomor Urut Pasangan Calon Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
Terhadap ketentuan tersebut termohon telah melakukan pencocokan nama bakal calon Bupati yang tercantum dalam Formulir Model BB.1- KWK dan Formulir Model BB.2-KWK dengan KTP elektonik dan seluruh dokumen tersebut tertulis atas nama yang sama, yaitu La Ode Muhammad Rusman Emba.
Kata dia, terhadap nama yang tertulis dalam Ijasah/STTB SMA 1 Raha dan Ijasah Sarjana Teknik Universitas Hasanuddin yaitu tertulis atas nama La Ode Muhammad Rusman Untung, Termohon telah melakukan klarifikasi ke SMA Negeri 1 Raha dan Universitas Hasanuddin.
Hasil klarifikasi tersebut menyatakan bahwa adalah benar orang yang bernama La Ode Muhammad Rusman Untung adalah sama dengan orang yang bernama La Ode Muhammad Rusman Emba yang mencalonkan diri sebagai bakal calon Bupati dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Muna Tahun 2020.
Saldi mengungkapkan Bawaslu Kabupaten Muna telah menerima laporan terkait permasalahan dimaksud pada 28 September 2020. Akan tetapi, lanjutnya, setelah dilakukan kajian terhadap laporan tersebut ternyata tidak ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Disampaikannya, berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat terhadap permohonan a quo tidak terdapat alasan untuk menyimpangi ketentuan Pasal 158 UU 10/2016 yang berkaitan dengan kedudukan hukum Pemohon sebagai syarat formil dalam mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota di Mahkamah.
Oleh karena itu tidak ada relevansinya untuk meneruskan permohonan a quo pada persidangan dengan agenda pemeriksaan lanjutan. Mahkamah menilai pemohon tidak memiliki kedudukan hukum karena tidak memenuhi Pasal 158 ayat (1) huruf a UU 10/2016.
Saldi menyampaikan sesuai dengan Pasal 158 ayat (1) huruf a UU 10/2016 untuk dapat mengajukan permohonan, perbedaan perolehan suara antara pemohon dan peraih perolehan paling banyak untuk dapat mengajukan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati Muna Tahun 2020 yakni paling banyak 2 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Bupati Muna.
Dipaparkannya, jumlah perbedaan perolehan suara antara Pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak adalah paling banyak 2 persen dikalikan 120.102 suara (total suara sah) sama dengan 2.402 suara.
Ia menyampaikan perolehan suara pemohon adalah 55.980 suara, sedangkan perolehan suara Pihak Terkait (pasangan calon peraih suara terbanyak) adalah 64.122 suara, sehingga perbedaan perolehan suara antara Pemohon dan Pihak Terkait adalah 8.142 suara (6,78 persen) atau lebih dari 2.402 suara.
Sebelumnya, pemohon mempersoalkan perbedaan nama di dalam Ijazah dan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) SMA dengan e-KTP calon Bupati La Ode Muhammad Rusman Emba sebagai peraih suara terbanyak pada Pemilihan Calon Bupati dan Wakil Bupati Muna Tahun 2020.
Pemohon dalam permohonannya meminta Mahkamah untuk membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Muna Nomor 788/PL.02.06-Kpt/7403/KPU-Kab/XII/2020 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Hasil Pemilihan Bupati Dan Wakil Bupati Muna Tahun 2020 yang disahkan tanggal 16 Desember 2020.
PHP Wakatobi
Selain Konkep dan Muna, Mahkamah Konstitusi (MK) juga memutuskan tidak menerima permohonan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Wakatobi Tahun 2020 yang diajukan oleh pasangan calon bupati dan wakil bupati nomor urut 1 Ahrawi dan Hardin Laomo.
Dikutip dari akun youtube MK di Kendari, Rabu, Putusan Nomor 54/PHP.BUP-XIX/2021 tersebut dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya dalam sidang yang digelar pada Rabu (17/2) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Mahkamah menanggapi dalil pemohon tentang ketidaksesuaian antara jumlah pengguna hak pilih, jumlah suara sah dan tidak sah, dengan jumlah pemilih dalam DPT yang membubuhkan tanda tangannya dalam daftar hadir pemilih di TPS, tidak terbukti dan berdasarkan hasil pengawasan Bawaslu Wakatobi tidak ditemukan adanya laporan pelanggaran sampai dengan proses rekapitulasi tingkat kabupaten.
Selain itu, mengenai dalil adanya praktik politik uang dan barang yang dibagi-bagikan kepada masyarakat, Bawaslu Kabupaten Wakatobi tidak menemukan adanya pelanggaran politik uang dan barang berdasarkan pembahasan pertama dan pembahasan kedua pada Sentra Gakkumdu Kabupaten Wakatobi.
Disampaikan Wahiduddin, berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat terhadap permohonan a quo tidak terdapat alasan untuk menyimpangi ketentuan Pasal 158 UU 10/2016 yang berkaitan dengan kedudukan hukum Pemohon sebagai syarat formil dalam mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota di Mahkamah.
Oleh karena itu, lanjut Wahidudin, tidak ada relevansinya untuk meneruskan permohonan a quo pada pemeriksaan persidangan lanjutan dengan agenda pembuktian.
Sementara terkait kedudukan hukum Wahiduddin menyebut pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. Hal tersebut karena seharusnya perbedaan selisih suara antara pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak sebesar adalah 2 persen dari 61.838 suara (total suara sah) yakni 1.237 suara.
Perolehan suara pasangan calon nomor urut 1 (pemohon) sebesar 29.901 suara, sedangkan perolehan suara pihak terkait sebesar 31.937 suara, sehingga selisih perolehan suara antara pemohon dengan pihak terkait sebesar 2.036 suara (3,3 persen) atau lebih dari 1.237 suara.
Berdasarkan pertimbangan hukum, Mahkamah berpendapat, meskipun pemohon adalah Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Wakatobi dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Wakatobi Tahun 2020, namun pemohon tidak memenuhi ketentuan pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (2) huruf a UU 10/2016.
Oleh karena itu, lanjut dia, menurut Mahkamah, pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Dengan demikian, eksepsi termohon dan pihak terkait bahwa pemohon tidak memiliki kedudukan hukum adalah beralasan menurut hukum.
Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan sebelumnya, pemohon mendalilkan beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara dalam Pemilihan Calon Bupati dan Wakil Bupati Wakatobi Tahun 2020 antara lain pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif yang dilakukan secara berjenjang oleh KPPS, PPS, PPK dan KPU Kabupaten Wakatobi.
Kemudian diduga ada pembiaran oleh Bawaslu Kabupaten Wakatobi beserta jajaran di bawahnya, semata-mata demi sebesar-besarnya memperbanyak perolehan suara salah satu paslon.
Pemohon juga mempersoalkan tindakan termohon yang tidak dapat mempertanggungjawabkan surat suara pemilih DPPh dan DPTb yang terbukti tidak memenuhi syarat serta intimidasi dan ancaman kekerasan kepada pendukung pemohon yang dilakukan oleh tim dan/atau pendukung pihak terkait.
Dalam Petitumnya, pemohon menyampaikan agar Mahkamah mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya dan membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Wakatobi Nomor 326/PL.02.6-Kpt/7407/KPU-Kab/XII/2020 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Wakatobi Tahun 2020 tanggal 16 Desember 2020 serta memerintahkan Termohon untuk melakukan pemungutan suara ulang (PSU) di 240 TPS yang tersebar di 95 desa/kelurahan dan di delapan kecamatan.