Yerevan/Baku (ANTARA) - Armenia dan Azerbaijan pada Minggu saling tuduh melanggar gencatan senjata kemanusiaan yang baru dalam pertempuran konflik wilayah Nagorno-Karabakh, beberapa jam setelah penghentian penggunaan senjata itu disepakati.
Penghentian senjata disepakati pada Sabtu (17/10) dan mulai berlaku tengah malam waktu setempat setelah gencatan, yang ditengahi oleh Rusia, itu gagal menghentikan pertempuran tersebut --paling parah di Kaukus Selatan sejak 1990an.
Kementerian Pertahanan Armenia mengatakan militer Azerbaijan meluncurkan tembakan dua kali pada malam hari dan menggunakan artileri.
Sementara, Kementerian Pertahanan Azerbaijan mengatakan, "Musuh melepaskan tembakan di sekitar Kota Jabrail, serta desa-desa di kawasan ini ... menggunakan mortir dan artileri."
Kemenhan Azerbaijan menambahkan, militer Azerbaijan "melakukan aksi balasan yang memadai."
Pejabat di Nagorno-Karabakh mengatakan pasukan Azerbaijan meluncurkan serangan terhadap posisi militer di kantong tersebut dan menjatuhkan korban tewas maupun luka di kedua belah pihak.
Nagorno-Karabakh merupakan wilayah pegunungan yang secara internasional diakui sebagai bagian dari Azerbaijan, namun dihuni dan pemerintahannya dijalankan oleh etnis Armenia.
Gencatan senjata awal Oktober ini bertujuan memungkinkan kedua pihak menukar tahanan dan jasad mereka yang tewas dalam pertempuran. Namun, perjanjian itu berdampak kecil terhadap pertempuran di sekitar kantong Nagorno-Karabakh.
Gencatan senjata baru diumumkan pada Sabtu setelah Menteri Luar Negeri Rusia Segei Lavrov berbicara dengan mitranya dari Armenia dan Azerbaijan melalui telepon dan meminta mereka agar mengawasi gencatan senjata yang pekan lalu dimediasi olehnya itu.
Pemerintah Azerbaijan di Ibu Kota Baku pada Sabtu menyebutkan bahwa 60 warga sipil Azerbaijan tewas dan 270 orang lainnya terluka sejak pertempuran meletus pada 27 September. Pihaknya tidak mengungkapkan korban di kalangan militer.
Sementara, Nagorno-Karabakh mengatakan 633 personel militer mereka tewas beserta 36 warga sipil.
Sumber: Reuters