Kecelakaan pesawat AirAsia QZ 8501 dan pemberitaan adalah dua objek yang kini menjadi sorotan publik dalam sepekan terakhir, karena selalu menempati halaman utama di sejumlah media cetak maupun elektronik sejak 28 Desember 2014 hingga kini.
Bahkan di televisi, "update" berita kecelakaan pesawat AirAsia QZ 8501 yang dihimpun dalam "breaking news" hadir dalam hitungan detik atau menit dan hal itu tidak hanya terjadi di skala nasional, tapi juga menyita perhatian dunia internasional.
Puluhan televisi asing juga turut melakukan pembaruan berkelanjutan ("update") dengan menempatkan sejumlah wartawannya di lokasi identifikasi jenazah AirAsia, yakni di RS Bhayangkara, Polda Jatim, Surabaya.
Diakui, pemberitaan kecelakaan dalam dunia penerbangan sangatlah menarik bagi sebagian besar media nasional maupun internasional, karena standar sistem penerbangan yang digunakan sudah merujuk pada standar internasional, bukan lagi lokal antar-kota dalam provinsi.
Oleh sebab itu, setiap kali terjadi kecelakaan udara akan menjadi sorotan publik dunia internasional, ditambah lagi banyaknya nyawa manusia yang melayang dalam setiap kecelakaan udara, sehingga berita eksklusif menjadi satu tuntutan dan kewajiban agar bisa diperoleh media/jurnalis dalam meliput peristiwa kecelakaan penerbangan.
Akibatnya, berbagai cara pun dilakukan untuk mengejar berita yang bernilai eksklusif, karena tampilan atau tayangan eksklusif akan menjadi sorotan banyak publik, serta menjadi referensi khalayak.
Begitu pula bila mendapatkan sisi lain dari sebuah peristiwa kecelakaan, yang bisa menjadi kebanggaan serta nilai tersendiri bagi media atau si wartawan.
Tentunya, nilai eksklusifitas ini akan berdampak pada jumlah pembaca atau pemirsa, yang dalam istilah media disebut dengan "rating" (penilaian/kelas/peringkat). "Rating" inilah yang akan berdampak pula pemasukan iklan, sehingga mendapatkan keuntungan dalam bentuk finansial.
Wajar, dengan adanya peristiwa AirAsia QZ 8501, maka sejumlah media menggebu-gebu, bahkan terkesan gegabah (kurang hati-hati) dalam melakukan reportase atau peliputan.
Salah satu contoh sikap gegabah media adalah saat salah satu wartawan stasiun televisi nasional melakukan reportase dengan mewawancarai kerabat penumpang AirAsia QZ 8501. Atau, saat televisi menyorot tajam jenazah korban AirAsia QZ 8501 tanpa sensor dan menunjukkan bentuk fisik jenazah yang baru saja ditemukan.
Akibat sikap gegabah itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat langsung memberikan peringatan keras kepada televisi bersangkutan, karena mendapat pengaduan dari keluarga korban serta pihak AirAsia. Ada tiga stasiun televisi nasional yang disoroti yakni Metro TV, TV One, dan TVRI.
KPI pun kemudian mengeluarkan imbauan agar media turut berempati terhadap keluarga korban dalam peliputan kecelakaan pesawat AirAsia QZ 8501, dan meminta agar tidak memaksa serta menekan keluarga korban untuk menjawab pertanyaan yang akan menambah rasa duka dan trauma, apalagi memaksa mengambil gambar kondisi keluarga yang sedang "terpukul".
Bahkan, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengingatkan kembali stasiun televisi di Tanah Air untuk mematuhi teguran keras KPI terkait pemberitaan mengenai jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 terutama terkait penayangan gambar jenazah korban secara vulgar.
"Bunuh Diri" Media
Sementara itu, Pakar Komunikasi dan Media Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Suko Widodo, mengatakan apa yang dilakukan media di Indonesia saat meliput kecelakaan AirAsia QZ 8501 sama halnya dengan "bunuh diri" sendiri.
Bagi Suko yang juga dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unair Surabaya itu, media seharusnya bisa bersikap profesional dan menghormati kode etik jurnalistik dengan selalu berpikir apa yang disiarkan atau dipublikasi bisa menimbulkan dampak secara luas.
"Namun yang terjadi, media malah mengekploitasi kesedihan demi mengejar ekslusifitas. Ini sudah masuk dalam kategori tidak etis, artinya ada yang hilang dalam konsep media itu sesungguhnya," katanya.
Ia mencontohkan media di Amerika tidak diperkenankan menayangkan proses evakuasi kecelakaan atau apa pun, karena masih bersifat dengan azas praduga tak bersalah, sebab proses evakuasi itu bukanlah hasil dan tidak boleh disimpulkan.
"Artinya, media tidak boleh menghukum atau menyimpulkan berdasarkan hasil analisnya, dan yang harus dilakukan hanyalah verifikasi data, sehingga tidak muncul pembohongan publik," katanya.
Selain Amerika, Korea Selatan adalah satu negara yang memiliki kebijakan ketat terhadap pemberitaan bencana, karena adanya protes publik terhadap pemberitaan media yang dianggap berlebihan atau gegabah dalam mengeksploitasi berita tragedi.
Apalagi, ketika terjadi tragedi tenggelamnya Ferry Jindo, media-media Korea banyak melakukan "blunder" serius, salah satunya adalah mengatakan bahwa seluruh korban selamat, padahal yang terjadi sebaliknya.
Oleh karena itu, salah satu wartawan Korean Times, Kim Tong-hyung, menulis ada beberapa hal yang mesti dipegang teguh jurnalis ketika melakukan peliputan tragedi.
Pedoman itu antara lain, jangan sampai reportase "mengganggu" usaha penyelamatan, dan jangan menuliskan/mengabarkan sesuatu yang dapat membuat ketakutan yang tidak perlu.
Berikutnya, selalu melakukan verifikasi dan evaluasi terhadap klaim yang ada agar tidak misinformasi, serta jangan memaksa korban/keluarga korban untuk melakukan wawancara.
Bagi jurnalis televisi, kurangi pengambilan gambar dari jarak dekat, jangan menggunakan gambar atau video yang berisi gambar brutal atau provokatif dan menahan diri untuk tidak mengumbar data pribadi dari korban serta keluarga mereka.
Secara etika, sikap gegabah yang dilakukan media dalam meliput peristiwa kecelakaan AirAsia adalah perilaku tabu, karena Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sudah memiliki "kode etik" tentang itu.
Dalam aturannya, PWI menyebut khusus bahwa wajib menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara, lalu AJI mengatur secara umum bahwa reportase jurnalis harus menggunakan cara etis dan profesional untuk memperoleh berita, gambar, dan dokumen.