Wangiwangi (Antara News) - Pakar Bahasa dari Universitas Indonesia Dr Pudentia mengatakan setiap dua minggu, ada satu bahasa tutur di seluruh dunia yang hilang karena penutur telah meninggal dunia.
"Hilangnya bahasa tutur ini, akibat generasi penerus yang mulai melupakan atau meninggalkan akar budaya dari leluhurnya," katanya saat berbicara pada Seminar Budaya Nasional di Wangiwangi, Senin malam.
Sebagain besar dari komunitas masyarakkat katanya, hanya memahami budaya sebagai seni kreasi, tarian atau tradisi budaya yang ditampilkan di atas panggung.
Padahal, kata dia, akar budaya masyarakat yang sesungguhnya terdapat pada bahasa tutur dari komunitas penutur bahasa tutur atau bahasa lisan itu sendiri.
"Kearifan budaya lokal setiap etnis masyarakat dunia, lahir dari bahasa tutur atau bahasa lisan masyarakat adat," kata Pudentia yang juga pengurus Asoasiali Tradisi Lisan itu.
Di sana (bahasa tutur atau bahasa lisan-red), ujarnya, terdapat ungkapan-ungkapan halus atau bahasa kiasan bagaimana manusia berperilaku dan berinteraski dengan alam sekitarnya.
"Melalui bahasa tutur, mayarakat adat sangat piawai dalam mengelola dan memanfaatkan alam sebagai sebagai sumber kehidupannya," katanya.
Ia memberi contoh bahasa tutur Tanah Toraja yang dipakai salah satu komunitas masyarakat di Sulawe Selatan.
Kata tanah menurut bahasa tutur masyarakat setempat, jelasnya, berarti kawasan atau wilayah, sedangkan Toraja mengandung makna pemilik kekuasaan yang memberi kehidupan manusia di muka bumi.
"Dengan pemahaman bahasa tutur seperti itu, makan masyarakat adat setempat, tidak sembarangan menebang atau mengambil sesuatu dari kawasan hutan. Kalau ada yang diambil, maka harus ada pula yang dikembalikkan ke dalam kawasan hutan," katanya.
Kearifan budaya lokal yang berakar dari bahasa tutur inilah ujarnya yang mesti digali dan dikembangkan di masa kini, sehingga bahasa tutur yang sarat dengan nilai-nilai kearifan itu tetap lestasi dan dipertahankan keberadaanya.
Menurut dia keragaman bahasa tutur di Idonesia sesungguhnya memperkaya kosa kata dari bahasa Indonesia yang dijadikan sebagai bahasa persatuan atau perekat dari bangsa besar ini.
Ia memeri contoh kata nyeri yang berarti sakit, sesungguhnya bukan bahasa Indonesia asli melainkan diadopsi dari bahasa Sunda.
"Jadi, bahasa-bahasa halus dari bahasa tutur itu yang mesti digali dan dikembangkan untuk menjadi kekuatan dalam membangun peradaban masyarakat bangsa ini," katanya.