Secara historis, Sulawesi Tenggara (Sultra) awalnya merupakan nama salah satu kabupaten dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara (Sulselra). Sebelumnya, bahkan masuk dalam Provinsi Sulawesi sebagai satu dari delapan provinsi yang dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tahun 1959.
Ibu kota Sultra saat itu berada di Baubau, dan Sultra kemudian terpisah dari Sulawesi Selatan sesuai Perpu Nomor 2 Tahun 1964 juncto UU Nomor 13 Tahun 1964. Proses berpisahnya Sultra dari Provinsi Sulselra membutuhkan perjuangan keras dan lobi tingkat tinggi oleh para tokoh di daerah ini. Hal itu sangat wajar mengingat Sulselra yang beribu kota di Makassar cukup jauh, sehingga tidak efektif dalam berbagai hal.
Sultra terletak di jazirah tenggara Pulau Sulawesi, dan secara geografis terletak di bagian selatan garis khatulistiwa di antara 02°45'- 06°15' lintang selatan dan 120°45'- 124°30' bujur timur serta mempunyai wilayah daratan seluas 38.140 km² (3.814.000 ha) dan perairan (laut) seluas 110.000 km² (11.000.000 ha).
Awalnya, Provinsi Sultra hanya terdiri atas empat kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Kendari, Kolaka, Muna, dan Buton, serta Kota Baubau sebagai ibu kota provinsi. Namun, karena sesuatu hal ibu kota provinsi dipindahkan ke Kendari. Setelah dilakukan pemekaran dari waktu ke waktu, di Sultra kini terdapat 10 kabupaten dan 2 kota, yaitu Kota Kendari, Kota Baubau, Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, Kolaka, Kolaka Utara, Bombana, Muna, Buton, Buton Utara, dan Wakatobi.
Saat pertama kali berdiri sebagai daerah otonom, Sultra dipimpin Gubernur J. Wayong. Tepat 27 April 1964 dilakukan serah terima secara resmi terbentuknya Sultra kepada J. Wayong dari Gubernur Sulselra, Kolonel A Rifai. J. Wayong hanya menjabat gubernur lebih setahun (27 April 1964-18 Juli 1965).
Demikian pula penggantinya, La Ode Hadi yang hanya bertahan lebih kurang setahun (1965-1966) karena ditengarai rezim Orde Baru sebagai pengikut Soekarno, sehingga dipaksa turun dari jabatannya. Hal itu merupakan imbas dari meletusnya Gerakan 30 S/PKI.
Brigjen Edy Sabara ditunjuk sebagai caretaker dan selanjutnya menjadi gubernur definitif. Cukup lama Edy Sabara memimpin Sultra, 1966-1978. Kepemimpinan dan kebijakan pembangunan Edy Sabara yang sejalan dengan Orde Baru membuat dia dipercaya memimpin lebih dari satu dasawarsa.
Setelah itu, Drs Abdullah Silondae tampil memimpin Sultra antara 1978-1982, kemudian berturut empat gubernur berikutnya masing-masing Ir H Alala (1982-1992), Drs H La Ode Kaimoeddin (1992-2003), Ali Mazi SH (2003-2008), dan Nur Alam SE (2008-sekarang).
Setiap gubernur tentu punya gaya kepemimpinan dan program pembangunan yang berbeda.
Gubernur Sultra, Alala misalnya dikenal dengan pendekatan pembangunan yang disebut Gersamata (Gerakan Desa Makmur Merata). Titik berat Gersamata adalah pertama, peningkatan produksi sektor perikanan dalam arti luas. Kedua, penyediaan dan peningkatan prasarana, sarana fisik, dan sosial ekonomi. Ketiga, pengembangan dan penerapan teknologi perdesaan. Keempat, peningkatan kualitas lingkungan hidup. Keenam, peningkatan kualitas hidup manusia dan masyarakat perdesaan.
Pendekatan ini menitikberatkan pembangunan pada masyarakat perdesaan dan hasilnya sangat terasa beberapa tahun kemudian. Ketika krisis ekonomi global termasuk di Indonesia pada 1997, petani Sultra justru mengalami keuntungan berlipat karena nilai jual hasil panen kakao mengikuti kenaikan kurs dolar AS.
Lalu, Gubernur Sultra, La Ode Kaimoeddin dengan strategi Pembangunan Lima Sehat Empat Penyempurna. Sasarannya, pertama, penghapusan kemiskinan struktural. Kedua, peningkatan daya serap wilayah. Ketiga, peningkatan dan perluasan lapangan kerja. Keempat, peningkatan SDM. Kelima, penghayatan dan pengamalan gerakan disiplin nasional melalui ketaatan terhadap norma agama, adat, dan tradisi suku yang berlaku.
Lima sasaran strategi pembangunan itu memerlukan satu sistem kerangka tindakan yang disebut empat penyempurna. Pertama, setiap aktivitas pemerintah dan rakyat harus menghasilkan nilai tambah. Kedua, upaya untuk menghasilkan nilai tambah itu diperlukan terobosan. Ketiga, terobosan diperlukan keberanian. Keempat, keberanian memerlukan tanggung jawab.
Setelah itu, Gubernur Sultra Ali Mazi yang terpilih sebagai gubernur periode 2003-2008 mempunyai program "Stelsel Masyarakat Sejahtera Menuju Sultra 2020". Ada lima poin terhadap pendekatan program ini, pertama, wawasan sejarah dan budaya. Kedua, wawasan pembangunan. Ketiga, hukum dan Wibawa Hukum. Keempat, manajemen desentralisasi. Kelima, pembiayaan pembangunan. Keenam, developmentalism ekonomi kerakyatan.
Pembangunan berwawasan 2020 itu pun kemudian dilakukan dengan pembangunan sarana dan prasarana dasar seperti bandara berskala internasional. Ali Mazi sempat membangun Bandara Wolter Monginsidi (kini Haluoleo). Namun, cita-cita menjadikannya sebagai bandara internasional tidak terwujud setelah hanya memimpin satu periode.
Usai Ali Mazi, Sultra di bawah kepemimpinan Nur Alam, gubernur yang untuk kali pertama dipilih rakyat secara langsung untuk periode 2008-2013. Nur Alam mempunyai program bernama Bahteramas atau Membangun Kesejahteraan Masyarakat".
Program ini memiliki lima agenda utama. Pertama, meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Kedua, revitalisasi pemerintah daerah. Ketiga, pembangunan ekonomi. Keempat, pemantapan pembangunan budaya daerah. Kelima, mempercepat pembangunan infrastruktur kewilayahan.
Apa pun program yang diusung setiap pemimpin tertinggi di Sultra, terpenting masyarakat dapat menikmati kesejahteraan seperti janji di saat ingin menjadi gubernur. Usia 48 tahun bukanlah waktu singkat menunggu perubahan hidup lebih baik dari generasi ke generasi. Sebab, faktanya sampai saat ini (sesuai data Badan Pusat Statistik/BPS Sultra) masih banyak penduduk Sultra yang berada di bawah garis kemiskinan. Per September 2011 tercatat 334,28 ribu orang ( 14,61 persen) dari total warga Sultra yang mencapai lebih dari 2 juta jiwa.
Sultra punya kekayaan alam melimpah dengan berbagai komoditas unggulan. Di sektor pertanian meliputi kakao, kacang mete, kelapa, cengkeh, kopi, pinang lada, vanili, dan nilam. Sektor kehutanan, ada hasil kayu gelondongan dan kayu gergajian. Sektor perikanan, yakni perikanan darat dan perikanan laut. Peternakan meliputi sapi, kerbau, dan kambing. Tak kalah potensialnya adalah sektor pertambangan yang saat ini menjadi perhatian utama di tingkat nasional dan internasional.
Pertambangan di Sultra ada nikel, emas, marmer, batu setengah permata, onix, batu gamping, dan tanah liat. Belum lagi di sektor pariwisata, salah satunya Wakatobi yang sudah semakin mendunia. Kekayaan alam inilah yang seharusnya dimanfaatkan dengan baik demi kemakmuran masyarakat. (Setda Provinsi Sultra).