Jakarta, 8/6 (ANTARA) - Bulan Mei yang seharusnya menjadi bulan yang menyenangkan untuk mendaki di Everest, tidak berlaku lagi karena cuaca sudah tidak bisa lagi di prediksi.
Dua pendaki tim 7 Summits Expedition 2010-2012 yang berangkat dari arah Nepal, dihadapkan dengan badai dan angin yang bertiup 180 km per jam, sangat jauh dari apa yang diprediksi sebelumnya yaitu 36 km perjam. Menurut kesaksian para pendaki, longsoran batu dan es yang jarang terjadi, kini juga sering melanda jalur selatan.
"Kalau di jalur selatan tingkat bahayanya berada pada Khumbu Icefall. Sebenarnya tidak sulit, kalau ada celah, dipasang tangga. Hal yang membahayakan adalah, Khumbu Icefall tidak stabil. Tidak sedikit korban yang jatuh masuk ke celah tersebut," kata pendaki tim 7 Summits Expedition Iwan Irawan.
Pada 1997, Iwan bersama Kopassus mendaki Everest melewati jalur selatan, namun gagal pada ketinggian 6.800 mdpl karena masalah cuaca dan hilangnya peralatan karena badai.
Iwan pun merasakan perbedaan yang signifikan dalam pendakiannya tahun ini. "Paling jelas terlihat dari perubahan suhu, yang ketika panas bisa menjadi sangat panas sekali dan perubahan cuaca di sana sangat drastis," kata pendaki yang telah menjejakkan kakinya di tujuh puncak tertinggi di dunia tersebut.
Iwan merupakan salah salah satu pendaki tim 7 Summits Expedition 2010-2012 yang berhasil mengibarkan Sang Saka Merah Putih di puncak tertinggi dunia.
Tergabung dalam Tim Utara bersama Nur Huda dan didampingi Camp Manager Galih Donikara, Iwan kali ini mendaki dari melewati jalur utara melawti Tibet-China. Sedangkan Tim Selatan, beranggotakan Ardhesir Yaftebi dan Fajri Al Luthfi, didampingi Camp Manager Hendricus Mutter, mendaki dari arah Nepal, namun gagal mencapai puncak Everest.
Pesan dari Puncak Dunia
Mengibarkan Merah Putih di puncak tujuh benua mungkin hanya merupakan sepenggal kisah petualangan di antara sekian banyak dimensi kehidupan. Amanat itu diemban para pemberani dari Wanadri untuk membuka mata bangsa Indonesia dan menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia bisa.
Namun, tidak hanya itu saja. Salah satu misi kemanusiaan yang diemban oleh tim 7 Summits Expedition adalah menyampaikan pesan tentang akibat dari pemanasan global yang mempengaruhi perubahan iklim di muka bumi.
Salah satu gejala yang tampak adalah menurunnya jumlah gletser di berbagai puncak bersalju dunia, seperti halnya yang terjadi di Everest, yang menjadi bagian terakhir dari rangkaian pegunungan Himalaya di Asia Selatan.
Pegunungan Himalaya bisa juga disebut kutub ketiga bumi karena mempunyai tutupan es terbesar di dunia, di luar kutub utara dan selatan, yang menjadi sumber kehidupan bagi sungai-sungai besar dunia seperti Sungai Gangga, Brahmaputra, Yangtze, dan Mekong.
Kandungan air yang sangat banyak tersimpan di gletser mempunyai peran penting dalam menjaga aliran sungai, pembangkit tenaga, dan juga produksi pertanian di daerah sekitarnya, yang menjadi sumber kehidupan untuk ratusan juta penduduk sekitar.
Karena berada di tempat terpencil dan minim akses, tidak jarang ilmuwan mempunyai prediksi yang berbeda-beda tentang proses pencairan lapisan es di pegunungan seperti Himalaya karena mereka kurang mengetahui keadaan sebenarnya.
"Pengetahuan kita mungkin masih kurang tentang volume gletser daripada jumlah es yang ada di lapisan es Greenland dan Antartika karena banyak gletser yang tersebar di sejumlah area yang kecil dan juga tidak dapat diakses," kata ketua Divisi Antartika Australia dari program penelitian es, laut, atmosfer dan iklim, Allison, seperti dikutip Reuters beberapa waktu lalu.
Namun, laporan Copenhagen Diagnosis dari Pusat Penelitian Perubahan Iklim Universitas New South Wales menemukan bukti-bukti dari cepatnya proses pencairan gletser dan tutupan es yang terjadi sejak pertengahan tahun 1990-an.
Temuan tersebut menggambarkan bahwa lelehan dari gletser dan tutupan es menaikkan level permukaan air laut 1,2 milimeter per tahun, dan jika pemanasan global terjadi semakin cepat, permukaan laut bisa naik hingga 55 mm pada tahun 2100.
Penelitian lain yang dilakukan oleh International Centre for Integrated Mountain Development di Nepal mendapati temuan yang sama. Dalam studi tersebut ditemukan bahwa sebagian besar gletser yang ada di Himalaya mengalami penyusutan. Oleh sebab itu, diperlukan perhitungan "keseimbangan massa" untuk menghitung secara tepat dan cepat tentang penyusutan atau peningkatan volume gletser.
Salah satu gambaran yang cukup mengganggu adalah kemungkinan gletser-gletser kecil yang berada di bawah 5.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) akan hilang pada akhir abad ini sedangkan gletser besar yang berada di atas tetap ada namun dengan volume yang lebih kecil.
Membahayakan Pendaki
Selain mengancam kelestarian alam di salah satu tempat paling rentan terhadap pemanasan global, cepatnya laju pencairan gletser bisa berdampak kepada salah satu sumber mata pencaharian penduduk lokal sekitar gletser yaitu sebagai pemandu pendakian.
Alasannya adalah bahwa pemanasan global bisa membahayakan para pendaki karena menyebabkan tidak stabilnya tutupan es di puncak-puncak tinggi dunia.
Pencairan es yang terjadi di Himalaya memang dikeluhkan oleh para pendaki dan Sherpa karena sebagian jalur yang mereka gunakan untuk mendaki tidak lagi tertutup es. Hal tersebut bisa membahayakan karena crampon (alas sepatu untuk memanjat es) dan kapak es tidak bisa digunakan di medan yang berupa batuan yang tidak tertutup es.
"Ketika tidak ada es dan hanya ada batu, benda-benda yang terbuat dari besi tidak bisa mencengkeram batu, sehingga pendaki bisa terpeleset karenanya," kata seorang pemimpin ekspedisi Dawa Stephen Sherpa seperti dikutip BBC.
Sherpa yang biasa memimpin pendakian ke Everest juga mengatakan jika es terus mencair maka mendaki gunung bisa menjadi lebih mahal karena tingkat bahaya yang tinggi.
Komitmen terhadap Konservasi
Laju perubahan iklim yang nyata memang tidak bisa seketika dihentikan mengingat tidak terbatasnya dimensi ruang dan sosial yang turut memiliki andil di dalamnya.
"Kita sebagai manusia tidak bisa sekaligus mengubahnya, yang bisa kita lakukan adalah memperlambat perubahan itu. Salah satunya adalah dengan melakukan penanaman kembali pohon," kata Ketua Harian Tim 7 Summits Expedition 2010-2012 Yoppi Rikson Saragih.
Sebagai salah satu komitmennya di bidang konservasi, Wanadri melahirkan sebuah program reforestasi lahan kritis dengan mengemasnya dalam program Wali Pohon.
Bekerja sama dengan Kementerian Kehutanan, Program Wali Pohon merupakan sebuah rancangan kegiatan yang dapat membuka kesempatan dan peluang kepada masyarakat atau publik yang peduli terhadap kelestarian alam untuk membantu menghutankan kembali sebagian kawasan yang telah rusak.
Di areal seluas 12.000 hektar di Kawasan Konservasi Masigit Kareumbi, Cicalengka, Jawa Barat, masyarakat diberi kesempatan untuk ikut berperan serta melakukan penanaman kembali pohon di sejumlah lahan kritis di hutan konservasi tersebut.
"Setiap orang bisa membeli bibit untuk ditanam. Kemudian bibit itu akan dipelihara oleh tim Wanadri sampai umur lima tahun," kata Yoppie.
Konsepnya sederhana. Publik memberikan biaya asuh untuk setiap pohon kemudian uang asuh tersebut digunakan oleh pihak pengelola bersama masyarakat untuk menanam serta merawat pohon selama lima tahun.
Sejak diperkenalkan pada akhir 2008 sampai Maret 2009, program Wali Pohon telah menanam sejumlah 10.500 batang pohon dengan model adopsi bergaransi selama 5 tahun. Program tersebut telah membibitkan beberapa jenis tanaman pohon lokal dan kayu rimba diantaranya adalah Manglid, Sobsi, Rasamala, Puspa, Salam dan tanaman rimba lainnya.
Penghijauan kembali merupakan kegiatan yang membutuhkan dana tidak sedikit. Salah satu hal yang perlu diperhatikan juga adalah komitmen untuk tidak sekedar menanam, namun memastikan pohon harus mampu untuk bertahan hidup dan tumbuh.
Program tersebut diharapkan mampu menginspirasi masyarakat dan memberikan kontribusi terhadap kelestarian hutan, sebagai paru-paru dunia, untuk bisa menekan kadar CO2 sebagai tokoh utama penyebab pemanasan global.
Dukungan dan peran serta secara aktif dan terus-menerus akan sangat diperlukan untuk menjaga warisan bagi generasi penerus karena jika laju perubahan iklim terus terjadi, bukan tidak mungkin manusia akan tinggal di suatu planet yang tidak nyaman untuk didiami, sementara dalam 50 tahun ke depan, manusia belum tentu bisa menemukan dan pindah ke planet lain untuk ditinggali.
"Kegiatan ini kami dedikasikan untuk kepedulian kami terhadap konservasi alam. Dan apa yang kami lakukan, walaupun sedikit, kami coba baktikan untuk bangsa ini," tutup Yoppie.