Jakarta (ANTARA) - Memasuki 2022 konstelasi kekuatan militer global telah memaksa strategi pertahanan nasional untuk terus berpacu. Memindahkan ibu kota negara berdampak positif pada nilai strategis pertahanan militer. Namun, juga menyisakan sejumlah tantangan serius pada masa mendatang.
Berawal dari 2013, saat Tiongkok mulai memperluas pengaruh ekonominya dengan membentuk One Belt One Road (OBOR), prakarsa pemerataan infrastruktur yang melibatkan 70 negara dan organisasi seantero Asia Pasifik, Afrika, Eropa Tengah, dan Eropa Timur.
Selanjutnya merambah pada perluasan pengaruh militer di Laut Cina Selatan sejak 2016 mengiringi kemenangan Filipina atas klaim nine dash-line Republik Rakyat Tiongkok (RRT) oleh pengadilan arbitrase internasional. Tiongkok telah berubah menjadi negara yang pertumbuhan militernya sangat agresif dengan anggaran terbesar kedua setelah Amerika Serikat (GFP: 2021).
Operasi militer Tiongkok di Laut Cina Selatan meresahkan negara-negara kawasan Asia Tenggara, terutama Filipina, Vietnam, Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Perebutan wilayah laut antara negara-negara itu. Ketegangan berulang kali terjadi, baik ketegangan politik maupun militer. Hal ini memicu Amerika untuk “turun gunung.”
Pada tahun 2021 Amerika berkoalisi dengan Inggris dan Australia membangun pakta pertahanan AUKUS. Secara jelas, pakta ini diumumkan untuk pengamanan Indo-Pasifik. Salah satu poinnya berupa bantuan kapal selam bertenaga nuklir dari Amerika Serikat dan Inggris kepada Australia.
Eksistensi Five Power Defense Arrangement (FPDA) tampak menguat di tengah situasi ini. FPDA adalah koalisi negara-negara persemakmuran Inggris di kawasan Asia Pasifik, yaitu Australia, Malaysia, Singapura, Selandia Baru, dan Inggris. Pada peringatan ke-50 FPDA akhir 2021 diwarnai dengan unjuk kekuatan militer. Seolah ingin menyampaikan pesan: "Si Vis Pacem, Para Bellum, kami siap berperang."
Dalam konstelasi yang demikian, pertahanan nasional Indonesia berada dalam kerawanan. Faktor geografis Indonesia yang luas dan berada tepat di tengah konfigurasi aliansi negara-negara yang terlibat dalam ketegangan Laut Cina Selatan berkonsekuensi ganda bagi pertahanan Indonesia. Meski tak dipungkiri Indonesia juga berkepentingan di kawasan Laut Cina Selatan.
Indonesia harus waspada terhadap lawan maupun kawan. Itu konsekuensinya. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa kapal selam bertenaga nuklir AUKUS tidak akan berlalu lalang di perairan Indonesia.
Tidak ada yang tahu pula apakah dalam kapal selam tersebut terdapat hulu ledak nuklir. Perairan dan udara Indonesia telah menjadi perlintasan militer yang terbuka, memosisikan negara ini sangat mudah diintai dan dimata-matai. Sementara operasi militer RRT di Laut Cina Selatan sering kali memprovokasi terjadinya insiden dengan Indonesia.
Satu hal yang perlu diingat, Amerika Serikat dan Inggris merupakan negara anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO). NATO berprinsip bahwa serangan terhadap salah satu atau sebagian negara anggota adalah serangan terhadap seluruh negara anggota NATO. Konsekuensinya, operasi militer Indonesia di kawasan Laut Natuna harus dengan penuh ketelitian dan kehati-hatian. Konsekuensinya akan menyulitkan Indonesia.
Dalam konteks tersebut, pertahanan Indonesia perlu menerapkan strategic depth, salah satunya dengan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Nusantara, dari Pulau Jawa ke Pulau Kalimantan. Dalam literatur militer, strategic depth mengacu pada meletakkan sejauh mungkin jantung pertahanan dari lini depan garis pertempuran.
Jantung pertahanan itu berupa ibu kota negara, industri militer, pusat-pusat utama populasi, dan industri lainnya. Strategic depth digunakan oleh sejumlah negara dan efektif untuk mencegah musuh memasuki jantung gravitasi sebuah negara secara lebih dalam.
Dalam sejarah militer, Rusia dianggap sebagai contoh klasik dari sebuah negara yang dikaruniai wilayah yang sangat luas. Jantung Rusia terletak sangat dalam dari Eropa: Moscow dan Stalingrad. Hal ini menghambat kemajuan invasi Napoleon dan Jerman pada tahun 1812 dan 1942. Ekor logistik yang panjang dari sangat merugikan pasukan mereka. Faktor ini dianggap sebagai penyebab utama kegagalan mereka. Kedalaman strategis Rusia memainkan peran penting dalam mengalahkan kemajuan penjajah ini. (Khalid M Khan: 2015)
Ibu Kota Negara Nusantara secara geografis terletak di tengah Pulau Kalimantan yang luasnya enam kali pulau Jawa. Pusat gravitasi Indonesia secara alamiah akan terlindungi di tengah “kedalaman” kepulauan Nusantara. Hal ini memberikan keuntungan tersendiri padaa masa mendatang dengan dinamika lingkungan strategis yang makin kompleks. Misalnya, terjadi peperangan militer, jantung negara ini telah dalam posisi yang tidak mudah dilumpuhkan.
Meski demikian, strategic depth tak bisa hanya memindah keberadaan ibu kota saja. Termasuk pula industri pertahanan, institusi, dan personel inti militer adalah inti pertahanan yang dikembangkan. Meneruskan apa yang sudah dirintis: indigenous defense production di Ibu Kota Nusantara. Pasca-UU Ibu Kota Negara disahkan, indigenous defense production inilah hakikat pekerjaan besar pertahanan nasional.
Prinsip politik bebas aktif yang dianut Indonesia dalam pergaulan global dalam hal ini memberikan keuntungan bagi Indonesia agar tetap disegani lawan dan dihormati kawan. Indonesia perlu meningkatkan kerja sama dengan negara-negara sahabat untuk memperkecil konsekuensi ganda yang harus ditanggung. Indonesia secara perlahan perlu menata diri sesuai dengan prinsip yang telah dianut puluhan tahun itu.
*) Ngasiman Djoyonegoro, pengamat militer dan intelijen