Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengingatkan pers soal dampak negatif dari perubahan ekologi media.
"Perubahan ekologi media, perubahan atas kecepatan bukan akurasi, 'clickbait' gambar, isi dan beritanya tidak sesuai, berikutnya 'news aggregator', media sosial, persoalan pandemi, dan 'pseudo journalism'," katanya di Jakarta, Minggu.
Moeldoko mengatakan hal itu dalam webinar "Jurnalisme Berkualitas: Menguatkan Keberlanjutan Profesi Wartawan dan Penerbitan Pers Guna Menyehatkan Demokrasi di Tengah Gempuran Disrupsi Digital" HPN 2021.
Pada pandemi ini, kata dia, terasa sekali bagaimana pengalaman KSP menghadapi situasi ini. Pertama, media "online" saat ini dikejar dengan kecepatan bukan dengan keakuratan.
"Yang paling cepat naik di situ dinilai sebagai keunggulannya ini yang sering terjadi," katanya.
Kedua, lanjut dia, fenomena "clickbait", judul dan isi berita tidak sesuai yang bisa menyebabkan misinformasi. Ketiga, hadirnya "news aggregator yang" membawa portal berita yang tidak menjaga kualitas dan kode etik jurnalistik.
"Ketika naik dan terbaca oleh orang dan dijadikan referensi, nah bisa disinformasi, berita lama bisa muncul lagi dan terbesar di media sosial sehingga terjadi disinformasi di masyarakat," kata dia.
Disinformasi menjadi biang suburnya hoaks, dari Maret hingga Januari 2021 saja, kata dia, ada 1.400 hoaks soal pandemi dan vaksin yang tersebar di media sosial.
"Peran media ikut terlibat berpartisipasi untuk menanggulangi COVID-19 ini diharapkan tapi yang lebih jauh lagi, pemerintah pasti tak bisa jalan sendiri," ucapnya.
Kelima, keadaan pandemi dan jaga jarak fisik atau "physical distancing" membuat wartawan sulit untuk hadir dan bertemu narasumber.
"Ini menurut saya juga berpengaruh pada peliputan, biasanya kalau kita sering ketemu mungkin ada info lebih jelas lagi, tapi dengan ada pembatasan seperti ini memang ada pengaruhnya juga," ujarnya.
Dan yang terakhir, menurut Moeldoko, hal paling penting sekali dicermati yaitu "pseudo journalism" atau sering disebut dengan jurnalis semu.
"Para 'content creator' membuat konten di media sosial seolah-olah produk jurnalistik, ada juga yang menamakan dirinya independen jurnalis sehingga masyarakat berpikir ini benar-benar produk jurnalistik padahal tidak menerapkan kode etik jurnalistik dan hal ini berbahaya dapat membuat masyarakat disinformasi," ujarnya.
"Para 'content creator' membuat konten di media sosial seolah-olah produk jurnalistik, ada juga yang menamakan dirinya independen jurnalis sehingga masyarakat berpikir ini benar-benar produk jurnalistik padahal tidak menerapkan kode etik jurnalistik dan hal ini berbahaya dapat membuat masyarakat disinformasi," ujarnya.