Jakarta (ANTARA) - Dewan Pers menegaskan tidak boleh ada lagi pemidanaan wartawan atas karya jurnalistik yang dihasilkan, sebagaimana menimpa Diananta Putra Sumedi, mantan Pemimpin Redaksi Banjarhits.id.
"Pemidanaan seorang wartawan atas karya jurnalistik yang dihasilkannya tentu merupakan preseden buruk bagi sistem kemerdekaan pers di negara demokrasi seperti Indonesia," kata Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh, dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Kamis.
Hal tersebut merupakan catatan akhir tahun 2020 Dewan Pers yang menyoroti kemerdekaan dan keberlanjutan media.
Pengadilan Negeri (PN) Kotabaru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan (Kalsel) telah menjatuhkan vonis penjara selama 3 bulan 15 hari kepada Diananta atas berita yang ditulisnya dan dipublikasikan di media siber kumparan.com pada tanggal 4 Mei 2020.
Dewan Pers telah mengingatkan bahwa kasus Diananta adalah kasus pers yang semestinya diselesaikan berdasarkan mekanisme sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers .
"Dewan Pers berharap kasus serupa tidak terjadi lagi," kata mantan Menteri Pendidikan Nasional itu.
Faktor penentunya, dalam hal ini koordinasi yang baik antara Kepolisian dan Dewan Pers, serta penghormatan terhadap apa yang telah ditetapkan dalam nota kesepahaman (MoU) Dewan Pers dan Polri.
Dewan Pers juga berharap kasus kekerasan terhadap wartawan sebagaimana terjadi dalam peliputan aksi demonstrasi UU Cipta Kerja tidak terjadi lagi.
Nuh mengingatkan aparat keamanan perlu meningkatkan penghargaannya terhadap fungsi dan kerja jurnalistik sebagaimana dilindungi oleh undang-undang.
Dalam catatan akhir tahunnya, Dewan Pers juga mencatat tingginya angka pengaduan kasus pers ke Dewan Pers pada tahun 2020.
Tingginya pengaduan ke Dewan Pers menunjukkan dua hal sekaligus, yakni perkembangan positif, makin meningkatkannya kepercayaan publik terhadap mekanisme penyelesaian kasus pers berdasarkan UU Pers.
"Di sisi lain, tingginya angka pengaduan kasus pers itu juga mencerminkan ada yang perlu diperbaiki dalam jurnalisme, yakni ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ)," ujarnya.
Nuh menjelaskan bahwa mayoritas kasus pemberitaan pers yang ditangani Dewan Pers berakhir dengan kesimpulan bahwa telah terjadi pelanggaran Kode Etik Jurnalistik oleh
media massa yang diadukan, baik pelanggaran KEJ yang serius maupun yang ringan.
Kasus menonjol yang dihadapi Dewan Pers dalam hal ini adalah ketika 33 media massa siber terbukti telah menggunakan informasi yang tidak akurat, tanpa proses konfirmasi yang memadai terhadap sumber kunci sehingga melahirkan pemberitaan yang cenderung menghakimi terkait dengan keputusan PTUN tertanggal 3 Juni 2020 tentang keputusan Presiden dan Menkominfo memperlambat dan memutus akses internet di Papua pada tahun 2019.
Bertolak dari kasus semacam itu, Dewan Pers kembali mengingatkan kepada segenap pers Indonesia tentang pentingnya komitmen dan konsistensi untuk menaati KEJ.
"KEJ bagaimanapun adalah tolok ukur utama profesionalisme dan kualitas pers. Ketaatan terhadap KEJ adalah faktor yang menentukan tingkat kepercayaan publik terhadap media massa," tegasnya.