Jakarta (Antara News) - Presiden Filipina yang baru dilantik pada 30 Juni 2016, Rodrigo Duterte, terkenal karena kebijakan memberlakukan tindakan "berdarah" demi menegakkan keamanan di daerahnya.
Ketika menjadi wali kota di Kota Davao, Pulau Mindanao, sejak 1988 dan berulang kali terpilih kembali, Duterte tidak segan mengeksekusi mati para gembong penjahat, mulai dari pencuri, pemerkosa, sampai bandar narkoba. Beberapa media arus utama lokal dan luar negeri bahkan mengungkapkan selama berkuasa di Davao, pria kelahiran 28 Maret 1945 itu sudah membunuh sekitar 1.000 orang diduga pelaku kriminal.
Hasilnya? Davao yang sebelumnya masuk dalam daftar kota paling berbahaya di Filipina, berubah menjadi salah satu kota yang paling aman di negara tersebut. Bahkan, ada pihak yang menyebut Davao adalah salah satu kota teraman di Asia Tenggara.
Kebiasaan yang sudah berlangsung bertahun-tahun ini terbawa hingga dirinya menjadi Presiden Filipina. Tidak seperti presiden di negara lain yang pada umumnya menawarkan perubahan, kesejahteraan, dan perdamaian, Duterte malah menawarkan satu hal penting: akan melancarkan perang tidak kenal ampun kepada para bandit.
Duterte bergerak cepat dengan mengincar para bandar narkoba. Berdasarkan laporan Reuters, sejak disumpah, Duterte sudah mewujudkan janjinya dengan membunuh 770--800 orang bandar.
Ia menyebut tindakannya itu tidak melanggar hak asasi manusia (HAM) karena menurut dia HAM seharusnya melindungi martabat bangsa dan tidak membiarkan para pelaku kejahatan menghancurkan Filipina.
Filipina memang sedang berperang dengan narkoba. Badan Obat-obatan Berbahaya (Dangerous Drug Board/DDB) Filipina menyebut 1,7 juta warga negara Filipina (sekitar 1,6 persen dari populasi) merupakan pecandu narkoba ilegal.
Data dari Badan Penegak Hukum Narkotika Filipina (Philippine Drug Enforcement Agency/PDEA) pada tahun 2015 ada 8.629 desa (sekitar 20 persen dari total desa di Filipina) dilaporkan berhubungan dengan tindakan kriminal obat-obatan terlarang.
Bahkan, dikutip dari laman resmi Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, hanya pada 7 bulan pertama 2015, PDEA melakukan 13.596 operasi kontranarkotika, termasuk membongkar dua laboratorium metamfetamin rahasia, gudang penyimpanan obat, dan beberapa fasilitas penumbuhan ganja. Selama waktu itu, PDEA melakukan 10.868 penangkapan.
Keterlibatan pejabat pemerintah Filipina dalam perdagangan narkoba, termasuk menerima suap, terkuak pada bulan Desember 2014 ketika skandal di Penjara Bilibid terbongkar. Sejumlah bandar narkoba di penjara tersebut disebut hidup bagai raja. Namun, para petinggi Filipina tidak ada mengakui keterlibatan dalam kasus tersebut.
Semua terkesan diam sampai akhirnya Presiden Filipina Rodrigo Duterte pada hari Minggu (7/8) mengumumkan 160 nama pejabat dan mantan pejabat, mulai dari wali kota, hakim, hingga polisi yang diduga terlibat dalam perdagangan obat-obatan ilegal.
Dari daftar yang diungkap itu, juga terdapat dua jenderal polisi yang diduga menjadi pelindung para sindikat narkoba. Ini membuka babak baru pemberantasan bandit narkoba di Filipina.
Haris Azhar
Terkait dengan obat-obatan terlarang, Indonesia sendiri "sebelas-dua belas" dengan Filipina. Presiden RI Joko Widodo menyatakan bahwa Indonesia sedang mengalami darurat narkoba. Oleh karena itu, harus diberantas.
Jokowi, sapaan akrab Presiden RI, mengatakan bahwa narkoba dikonsumsi 5,1 juta warga Indonesia dan merugikan negara hingga Rp63 triliun. Salah satu bentuk keseriusan, pemerintah pun melaksanakan hukuman mati bagi WNI atau WNA kasus narkoba. Pada pemerintahan Jokowi, tindakan tembak mati ini sudah dilaksanakan sebanyak tiga kali.
Terakhir, pada Jumat (29/7) dini hari ada empat orang terpidana narkoba yang nyawanya melayang akibat terjangan peluru eksekutor, yaitu Michael Titus Igweh (warga Nigeria), Seck Osmani (Senegal), Humprey Eijeke (Nigeria), dan Freddy Budiman (WNI).
Akan tetapi, kisah ini ternyata masih menyisakan cerita lanjutan. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar memublikasikan tulisan hasil wawancaranya dengan Freddy Budiman (WNI) di Nusakambangan pada tahun 2014 melalui laman resmi Facebook Kontras.
Artikel yang berjudul "Cerita Busuk dari Seorang Bandit: Kesaksian Bertemu Freddy Budiman di Lapas Nusa Kambangan (2014)" kemudian menyebar di jagat maya dan menggemparkan Tanah Air.
Betapa tidak, Freddy dalam pengakuannya kepada Haris, menuturkan bahwa dirinya mendapat perlindungan oleh oknum pejabat di Badan Narkotika Nasional (BNN), Polri, dan TNI dalam melaksanakan bisnis haramnya.
"Dalam hitungan saya selama beberapa tahun kerja menyelundupkan narkoba, saya sudah memberi uang Rp450 miliar ke BNN. Saya sudah kasih Rp90 miliar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. Bahkan, saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang dua," kata Freddy seperti dikutip dari laman Facebook Kontras.
Keterangan ini terang membuat panas ketiga institusi negara yang disebut. Sebagai tindak lanjut, BNN, TNI, dan Polri melaporkan Haris Azhar ke Bareskrim Mabes Polri dengan sangkaan melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Setelah tindakan tersebut, Haris mendapat dukungan dari berbagai pihak, mulai akademisi sampai organisasi agraria.
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia Gandjar Laksmana mengatakan bahwa pelaporan Haris ke Bareskrim adalah tindakan yang salah. Menurut Gandjar, seharusnya tulisan Haris mengenai keterlibatan pejabat dalam bisnis gelap narkoba yang berdasarkan wawancara dengan terpidana mati Freddy Budiman dijadikan langkah awal untuk pendalaman fakta-fakta.
Sementara itu, organisasi seperti Serikat Petani Majalengka (SPM), Serikat Petani Karawang (Sepetak), Serikat Tani Indramayu (STI), Aliansi Petani Indonesia (API), dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pun memberikan tudung kepala petani (caping) kepada Haris sebagai simbolisasi dukungan.
"Caping merupakan bagian dari identitas dan harga diri petani, pelindung kepala dari terik matahari. Kami memberikan ini kepada Kontras dan Haris Azhar karena harga diri mereka tidak bisa dirampas dengan semena-mena," kata Sekjen KPA Iwan Nurdin.
Awal dari Pengungkapan?
Pengacara senior sekaligus pegiat HAM Todung Mulya Lubis menyatakan dukungan jika nantinya Presiden Joko Widodo meniru Duterte dengan mengumumkan nama-nama pejabat negara terlibat dalam bisnis narkoba, yang tentunya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum di Indonesia.
Sebagai langkah awal, pemerintah diminta Todung mendalami keterangan Freddy Budiman karena itu merupakan pintu masuk untuk menyelidiki gelapnya tindak tanduk mafia narkoba di Tanah Air.
Aparat penegak hukum, kata dia, bisa memanggil seluruh pihak yang diduga terlibat dalam penyelundupan narkoba, seperti disampaikan Freddy melalui Haris Azhar, bisa saja petugas bea cukai, kepala lapas, penyidik, jaksa, demi mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya.
BNN, TNI, dan Polri pun tidak diam saja usai melaporkan Haris. BNN yang dipimpin Komjen Pol. Budi Waseso sudah meminta keterangan dari mantan Kepala LP Nusakambangan Liberty Sitinjak terkait dengan perkataan Freddy.
Sementara itu, TNI dan Polri, termasuk juga BNN, dari pengakuan Haris Azhar, juga sudah mengadakan pembicaraan tidak resmi dengan dirinya agar saling bertukar informasi. "Pelaporan saya di polisi hanya akan menghabiskan energi pemerintah. Akan lebih baik energinya dialihkan untuk mengentaskan masalah narkoba," ujar Haris.
Apakah ini awal dari pengungkapan kasus mafia narkoba di Indonesia? Kita lihat saja.