Ketika tanah Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara diketahui mengandung mineral bernama nikel dan dieksploitasi sejumlah perusahaan, terbersit segenggam asa masyarakat setempat akan kehidupan yang sejahtera dan mandiri.
Bayangan dari asa masyarakat tersebut mulai tampak, setelah tahun 2009, sejumlah perusahaan tambang mulai merekrut tenaga kerja lokal sebagai buruh.
Harapan banyak orang tampak semakin nyata, saat alat berat milik perusahaan beraktivitas mengeruk tanah nikel (ore) lalu dikapalkan ke luar negeri, ke negara-negara tujuan ekspor seperti China dan Hongkong.
"Saat sejumlah perusahaan tambang nikel beroperasi di Pulau Kabaena, kita penduduk lokal tidak ada lagi yang menganggur," kata salah seorang warga Batuawu, Kecamatan Kabaena Selatan, Astaman (44) di Batuawu pekan lalu.
Rata-rata ujar dia, anak-anak muda Pulau Kabaena lulusan sekolah berbagai tingkatan, terserap menjadi tenaga kerja di perusahaan tambang, mulai dari tenaga operator alat berat, sopir mobil truk pengangkut tanah hingga menjadi buruh di lokasi tambang.
Sementara masyarakat yang hidup sebagai petani, nelayan atau pedagang, menjadi pemasok berbagai kebutuhan konsumsi bagi karyawan perusahaan tambang.
"Pokoknya, kita masyarakat yang sebelumnya hidup susah, sudah berangsur-angsur keluar dari kesulitan ketika perusahaan tambang nikel beroperasi di Kabaena," kata Astaman yang sudah di-PHK oleh PT Bili Indonesia setelah pemerintah menerapkan UU nomor 4 tahun 2009 tentang larangan ekspor mineral dalam bentuk bahan mentah.
Pendapat serupa juga disampaikan Kartapati, karyawan PT Trias Jaya Agung --perusahaan tambang nikel di Kabaena yang juga sudah berhenti beroperasi.
Menurut dia, saat sejumlah perusahaan tambang nikel di Pulau Kabaena beroperasi mengekspor ore ke luar negeri, kesejahteraan masyarakat Kabaena berangsung-angsur membaik.
Selain penduduk produktif tak lagi yang menganggur, juga setiap tahun masyarakat memperoleh dana Corporate social responsibility (CSR) dan dana Community Development (Comdev) dari perusahaan.
Dana dari perusahaan tersebut selain digunakan membantu memberdayakan ekonomi masyarakat, juga dipakai membangun sejumlah instrastruktur yang menjadi kebutuhan utama bagi masyarakat setempat.
"Di beberapa desa yang sebelumnya tak memiliki sarana kesehatan seperti Pusemas, saat ini rata-rata setiap desa sudah memiliki Puskemas yang pembangunannya dibiayai dengan dana CSR dan Comdev dari perusahaan," kata Karta Pati.
Kesulitan bertani
Lahan-lahan pertanian atau perkebunan di Pulau Kabaena menurut Astaman memiliki tingkat kesuburan yang cukup tinggi.
Ditanami jenis tanaman apa saja, dipastikan bisa tumbuh subur dan menghasilkan jika terbebas dari serangan hama, terutama hama babi.
Namun masyarakat setempat kesulitan untuk bertani mengolah lahan-lahan subur tersebut karena seorang petani membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
"Untuk membuka kebun dengan tanaman produktif seperti kakao, kelapa atau tanaman jambu mente seluas dua hektare saja, paling sedikit petani membutuhkan modal Rp5 jutaan," kata Astaman.
Dana sebanyak itu, katanya, hanya khusus untuk membiayai pembuatan pagar kebun, agar tanaman di dalam kebun terhindar dari serangan hama babi.
Tentu jika petani harus membeli bibit tanaman, pupuk dan obat-obatan tanaman, biaya yang dibutuhkan jauh lebih besar lagi.
"Dari mana masyarakat bisa mendapatkan modal untuk berkebun. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, saat ini sangat susah karena sebagian masyarakat tidak lagi memiliki sumber penghasilan tetap," katanya.
Keterangan serupa juga disampaikan Ny Hamsiah (52) yang juga warga Batuawu yang sudah tinggal menetap di Rumbia, ibukota Kabupaten Bombana.
Menurut dia, pascapenerapan kebijakan pemerintah tentang larangan ekspor mineral dalam bentuk bahan mentah, masyarakat Kabaena, terutama di Batuawu dalam kesulitan besar.
Warga yang sebelumnya bekerja di perusahaan tambang, saat ini tak lagi memiliki sumber pendapatan tetap setelah terkena PHK dari perusahaan tambang.
"Kita berharap ada kebijakan dari pemerintah yang bisa mengatasi kesulitan masyarakat Kabaena, terutama di Batuawu yang saat ini sebagian besar warganya menjadi pengangguran," kata Ny Hamsiah.
Masih terisolasi
Beberapa wilayah pedesaan di Pulau Kabaena masih terisolasi karena transportasi yang menghubungkan setiap desa dengan Sikeli, ibukota salah satu kecamatan yang memiliki dermaga di Pulau Kabaena, masih sangat sulit.
Selain sarana jalan masih sulit dilewati kenderaan roda empat, juga sarana transportasi umum belum tersedia.
"Kondisi wilayah yang masih terisolasi ini, menjadi salah satu pemicu bagi para petani malas mengolah lahan pertanian atau perkebunannya," kata Astaman.
Itu karena kata dia, setelah tanaman pertanian atau perkebunan berproduksi, hasil panennya susah diangkut keluar wilayah pemukiman penduduk akibat tidak adanya sarana transportasi.
Makanya, sebagian warga Kabaena, masih mengolah kebun hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, belum berpikir sebagai sumber kesejahteraan keluarga.
Menurut Astaman, akibat keterisolasian wilayah tersebut, sebagian besar anak-anak muda Kabaena, terutama anak muda Batuawu memilih merantau ke berbagai daerah di Indonesia seperti Papua, Maluku dan Batam, bahkan ke luar negeri, Malaysia.
"Di berbagai daerah di Indonesia, mereka menjadi pedagang dan nelayan tangkap ikan, sedangkan di luar negeri Malaysia menjadi buruh kasar di sejumlah proyek pembangunan gedung-gedung pencangkar langit," katanya.
Sama seperti Hamsiah, Astaman juga berharap pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan baru atau mendorong perusahaan tambang agar bisa membangun smalter di Pulau Kabaena.
Dengan begitu, anak-anak muda yang saat ini menganggur dan merantau ke daerah lain, bisa kembali menjadi tenaga kerja di perusahaan dan membangun kampung sendiri.