Kendari, (Antara News) - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Tenggara (Sultra) meminta pemerintah provinsi menyikapi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal perusahaan tambang sebagai imbas pemberlakuan larangan ekspor ore nikel.
Anggota DPRD Sultra, Ryha Madi, di Kendari, Rabu, mengatakan, pihaknya prihatin terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan perusahaan tambang di daerah itu sebagai imbas penghentian ekspor ore nikel ke luar negeri.
"Sejak diberlakukan larangan ekspor ore nikel ke luar negeri 12 Januari 2014, sudah banyak perusahaan yang melakukan PHK kepada karyawannya. Berdasarkan laporan dari masing-masing kabupaten dan kota, jumlahnya berkisar 1.000 - 2.000 orang karyawan," katanya.
Meskipun ada beberapa perusahaan yang hanya merumahkan karyawannya dan tetap membayar gajinya, tetapi hanya sekitar dua sampai tiga perusahaan tambang yang melakukan hal itu.
"Bisa dibayangkan, jumlah pemegang izin usaha pertambangan (IUP) di Sultra mencapai 500 lebih, kalau mereka melakukan hal yang sama maka akan banyak sekali pengangguran baru di daerah ini," ujarnya.
Menurut Ryha, pihaknya sudah melakukan konsultasi terkait hal itu di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, mengantisipasi PHK massal tersebut, tetapi pihak Kementerian tidak bisa berbuat banyak karena undang-undang minerba tersebut sudah diberlakukan.
"Pemprov harus mencari langkah-langkah yang dikoordinasikan dengan DPRD dan pihak perusahaan asal untuk mencari solusi bagi karyawan yang di PHK tersebut," ujarnya.
Ketua Komisi IV DPRD Sultra, Abubakar Lagu mengatakan, pengangguran akibat PHK tersebut tidak akan berlangsung lama, asalkan perusahaan mau membangun pabrik pemurnian nikel meskipun kapasitasnya tidak terlalu besar.
"Kita mengharapkan perusahaan sudah bisa berpikir untuk secepatnya membangun pabrik pemurnian nikel jika ingin tetap melakukan aktivitas pertambangan sehingga bisa mempekerjakan kembali karyawannya," ucapnya. sikapi-phkmmN