Jakarta (Antara News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang saat ini dibahas di DPR, melemahkan pemberantasan korupsi.
"Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan KPK, kami mendapat kesimpulan sementara, pembaruan dalam RUU KUHP dan KUHAP justru cenderung melemahkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang sedang agresif dilakukan aparat penegak hukum khususnya KPK," kata Ketua KPK Abraham Samad dalam seminar "Quo Vadis Pembaharuan Hukum Pidana melalui RUU KUHP dan RUU KUHAP" di Jakarta, Selasa.
Menurut Abraham, KPK sebagai institusi penegak hukum sangat berkepentingan dalam penyusunan RUU KUHP dan KUHAP karena ada banyak perubahan penting yang diusulkan dan menimbulkan konsekuensi bagi KPK bersama dengan institusi penegakan hukum lain.
"Dimasukkannya delik korupsi ke dalam delik pidana umum telah menghilangkan sifat khusus koruspi sebagai kejahatan luar biasa dan berdampak pada kewenangan pengak hukum khususnya KPK, roh dan semangat pemberantasan korupsi misalnya hilangnya mekanisme penyelidikan, penambahan birokorasi permintaan izin terhadap upaya paksa termasuk izin penyadapan melalui hakim di dalam KUHAP sehingga berpotensi membatasi ruang gerak penegak hukum," jelas Abraham.
KPK juga menilai bahwa pelimpahan kewenangan penuntutan jaksa KPK sehingga melimpahkan ke kejaksaan, menghilangkan mekanisme beban pembuktian yang sebelumnya, dan sejumlah perubahan terkait isu strategis lain dapat berarti menegasikan peran KPK.
"Model RUU KUHP dan KUHAP telah bergeser dari 'crime control model' menjadi 'due process model' sehingga lebih mengedapanken perlindungan hak azasi pelaku tindak pidana dan sebaliknya pembatasan wewenang aparat penegak hukum," tambah Abraham.
Pergeseran tersebut, menurut Abraham, disebabkan karena kondisi pengakkan hukum yang carut-marut seperti banyaknya seperti salah tangkap, kekerasan fisik, kasus-kasus sepele yang tidak layak dipidana sehingga menjadi argumentasi untuk melindung HAM pelaku pidana tapi membatasi kewenangan aparat penegak hukum.
"Logika ini tidak tepat kalau diaplikasikan ke kasus korupsi yang notabene-nya adalah 'white collar crime', aparat berhadapan dengan pelaku yang berkedudukan tinggi dan status sosial yang kuat, kemampuan akses ke kekuasaan dan finansial yang luar biasa, korupsi itu butuh dukungan instrumen UU yang memadai dengan mengedepankan rakyat Indonesia untuk mengembalikan uang negara ketimbang melindungi HAM pelaku korupsi," ungkap Abraham.
Abraham beranggapan bahwa "crime control model" lebih tepat untuk pemberantasan korupsi namun tidak tepat memasukkan korupsi ke tindak pidana umum seperti dalam RUU KUHP karena memang kejahatan yang berbeda.
"Tindak pidana korupsi harus tetap menjadi tindak pidana khusus sehingga harus diatur dalam pengecualian di KUHP dan KUHAP, dengan dimasukkan delik korupsi ke KUHP menunjukkan tidak jelasnya komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi," jelas Abraham.
Selanjutnya penyusunan RUU KUHP dan KUHAP pun harus juga menyesuaikan dengan UU lain yang terkait antara lain UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Narkotika, UU Pemberantansan Tindak Pidana Pencucian Uang sehingga tidak mengurangi eksistensi lembaga penegakan hukum itu sendiri yaitu pengadilan, KPK, Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Sedangkan Ketua Komisi III DPR RI, Pieter C Zulkifli dalam acara yang sama mengaku bahwa DPR masih jauh dari selesai untuk dibahas. "Dari ratusan pasal yang harus dibahas, baru tiga tim yang menyelesaikannya," kata Pieter.
Ia mengaku tidak akan menoleransi pembahasan substansi RUU KUHP dan KUHAP yang dapat melemahkan KPK. "Kalau (pelemahan) itu dilakukan, saya akan mundur dari anggota DPR," kata Pieter mantab.
DPR punya waktu hingga Oktober 2014 untuk mengesahkan RUU KUHP dan KUHAP menjadi UU KUHP dan KUHAP.