Abdul Manan (46), warga Kelurahan Bone-Bone, Kecamatan Batupoaro, Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara, bukanlah orang kaya atau pengusaha yang bergelimang harta.

Ia hanya seorang guru SMP Negeri di kotanya, dengan standar gaji pegawai negeri sipil (PNS) di levelnya, sekitar Rp2 juta per bulan.

Dengan status PNS dan gaji sebesar itu, ia mampu menciptakan lapangan kerja bagi para keluarga nelayan miskin di sekitarnya. Ia menyediakan satu unit kapal penangkap ikan, lengkap dengan segala peralatan penangkapan ikan cakalang.

Alhasil, dengan kapal penangkap ikan tersebut tingkat kesejahteraan nelayan miskin meningkat tajam. Pada saat yang sama, jumlah pengangguran di Kelurahan Bone-bone, Kota Baubau menurun drastis.

"Bagi kami warga Kelurahan Bone-bone, Pak Manan bukan sekedar guru yang mendidik anak-anak di sekolah tempatnya mengajar, tapi dia adalah pahlawan. Dia telah mengangkat harkat dan martabat kami nelayan Bone-bone dari kemiskinan," kata Imran (43), nelayan yang mengelola kapal penangkap ikan pertama milik Manan di Baubau, Selasa.

Menurut Imran, sebelum Manan menyediakan kapal penangkap ikan (akhir tahun 2006), para nelayan Bone-bone paling banyak hanya bisa memperoleh hasil sekitar Rp750 ribu sampai Rp1,5 juta sekali melaut. Saat ini pendapatan nelayan sudah berkembang menjadi Rp3 juta sampai Rp4 juta, bahkan kadang-kadang sampai Rp5 juta sekali melaut.

Pada saat yang sama, tutur Imran, anak-anak nelayan yang sudah tamat sekolah menengah atas tidak lagi ikut memperpanjang antrean penggangguran yang ada, melainkan sudah bisa melanjutkan kuliah sambil menjadi nelayan tangkap ikan.

Kenyataan itu terjadi karena kapal penangkap ikan milik Manan yang sebelumnya hanya satu unit, kini sudah bertambah menjadi tiga unit. Praktis, tenaga kerja nelayan yang dibutuhkan juga bertambah banyak.

"Satu unit kapal ikan mempekerjakan 30 orang nelayan, sudah termasuk ABK (anak buah kapal-red). Makanya, kapal Pak Manan saat ini sudah menghidupi keluarga nelayan sebanyak 90 kepala keluarga (KK) atau sekitar 300 jiwa," kata Imran.

Keterangan serupa juga diungkapkan Udin (41) dan Sahariadin (47), pengelola kapal kedua dan ketiga milik Abdul Manan.

Keduanya mengaku sejak mengelola kapal ikan milik Manan tahun 2008, tingkat kesejahteraan keluarga mereka mulai berangsur-angsur membaik.

"Dulu kita tinggal di rumah gubuk reot, tiang kayu, dinding jelajah dan atap daun nipah. Sekarang kita para nelayan sudah bisa membangun rumah permanen, dinding tembok, lantai keramik dan atap seng," tutur Irwan.



Sosok pahlawan

Bagi masyarakat nelayan tangkap ikan di Bone-bone, Manan adalah sosok pahlawan. Pahlawan, karena ia rela menyediakan kapal tangkap ikan bagi satu kelompok nelayan (30 orang), di saat para nelayan tengah kesulitan memperoleh bantuan alat tangkap ikan dari Pemerintah Kota Baubau, maupun Pemerintah Provinsi Sultra.

"Sebelum Pak Manan menyediakan kapal penangkap ikan, kami para nelayan sudah berkali-kali mengajukan permohonan bantuan berupa alat tangkap ikan kepada Pemerintah Kota Baubau, namun, permohonan kami tidak pernah mendapat respons," tutur Sahariadin.

Di saat kesulitan itulah, katanya, Manan datang membawakan kapal lengkap dengan fasilitas penangkap ikan cakalang kepada kelompok nelayan dengan pola pengelolaan sistem bagi hasil.

Seluruh biaya opersional kapal ditanggung oleh pemilik kapal, sedangkan hasil tangkapan ikan dibagi dua dengan nelayan dan pemilik kapal.

Artinya, kata Sahariadin, jika dalam melaut satu kelompok nelayan memperoleh pendapatan Rp40 juta, maka Rp20 juta menjadi bagian pemilik kapal dan Rp20 juga menjadi bagian para nelayan.

"Kadang-kadang pendapatan pemilik kapal menurun hingga 30 persen, karena harus menanggung biaya pemeliharaan kapal dan ongkos melaut. Selain itu, juga berbagi dengan para nelayan," katanya.



Keprihatinan

Sebagai seorang guru dengan gaji sebesar sekitar Rp2 juta per bulan, membeli kapal penangkap ikan lengkap dengan peralatannya senilai Rp65 juta, bukan perkara mudah. Namun dengan rasa keprihatinan yang mendalam melihat kehidupan nelayan di sekitarnya, Kelurahan Bone-bone, tetap hidup miskin.

Abdul Manan nekat menggadaikan Surat Keputusan (SK) pengangkatan menjadi PNS di Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Baubau, untuk mendapatkan fasilitas kredit.

Alhasil, BRI Cabang Baubau segera menyetujui permohonan kredit yang diajukan Manan senilai Rp50 juta dari Rp75 juta yang dimohonkan. Uang kredit dari BRI senilai Rp50 juta tersebut kemudian ia belikan satu unit kapal penangkap ikan berkapasitas sembilan Gros Ton (GT) senilai Rp65 juta.

"Tambahan dana sebesar Rp15 juga untuk membeli kapal penangkap itu, saya kuras uang dari rekening tabungan saya. Kapalnya lalu saya serahkan kepada Iwan bersama rekan-rekannya, digunakan menangkap ikan cakalang," kata La Maani, sapaan akrab dari Abdul Manan.

Alhamdulillah, ujar lelaki kelahiran Bone-Bone 44 tahun silam itu, hanya dalam waktu dua tahun (akhir tahun 2008), uang pinjaman dari BRI sudah bisa dikembalikan.

Pada saat yang sama, pendapatan dari kapal yang dibeli dengan uang kredit tersebut sudah bisa membeli kapal satu unit dan tahun berikutnya menambah satu unit lagi.

"Sekarang saya tidak lagi berpikir bagaimana kapal ikan itu untuk terus menghasilkan uang. Yang saya pikirkan, bagaimana kapal itu tetap terpelihara dan dapat terus menghidupi sebanyak 90 kepala keluarga nelayan di Bone-bone," tutur Manan.

Dengan tiga unit kapal ikan yang bisa terus menghidupi keluarga nelayan, lelaki bertubuh pendek, berambut lurus dan berkulit sawo matang itu, merasa dirinya sudah berguna bagi orang lain dan menjadi orang kaya.

"Kalau orang lain merasa kaya bila sudah memiliki mobil dan rumah mewah, saya merasa paling kaya sudah berguna bagi orang lain dan bisa memberikan sumber kehidupan," katanya.

Abdul Manan yang alumnus S1 Program Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Haluoleo Kendari, diangkat menjadi guru oleh Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan Sultra tahun 1993. Sebelum membeli kapal penangkapan ikan dengan menggunakan fasilitas kredit BRI, ia kerap kali ikut melaut bersama nelayan Bone-bone.

"Pada setiap musim libur, saya manfaatkan ikut melaut bersama para nelayan. Hasil tangkapan ikan, kadangkala hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari," katanya.

Dengan dikaruniai empat orang anak, dua putra dan dua putri ini, Manan yang berprofesi sebagai guru ini, sudah merasa menjadi orang paling bahagia di dunia.

Di sekolah, dia berbagi ilmu kepada anak-anak didik, di rumah berbagi kasih sayang anak-anak dan keluarga, sementara di luar dia pun mempekerjakan 99 kepala keluarga.(Ant).

Pewarta : Azis Senong
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024