Surabaya (ANTARA) - Penjabat Gubernur Jawa Timur Adhy Karyono memastikan Jatim tetap menjadi lumbung pangan nasional dan mendukung penuh program swasembada pangan nasional.
"Posisi Jatim sebagai lumbung pangan nasional dan dukungan untuk terwujudnya swasembada pangan nasional adalah hal rasional," kata Adhy Karyono dalam keterangan di Surabaya, Rabu.
Hal tersebut karena berbagai capaian Jatim di sektor pangan menjadi bukti bahwa Jawa Timur memiliki kapasitas untuk mewujudkan hal tersebut.
Faktor-faktor tersebut antara lain luas lahan baku sawah (LBS) Jawa Timur tahun 2024 seluas 1,2 juta ha meliputi sawah beririgasi 719.598,29 ha dan sawah non-irigasi (sawah tadah hujan, pasang surut dll) seluas 488.379,09 ha.
Tahun 2024, Kementerian Pertanian melaksanakan program pompanisasi untuk mendukung pertambahan areal tanam (PAT).
"Potensi luas sawah tadah hujan yang menjadi target seluas 170.654,37 ha dan telah terealisasi 175.279,83 ha atau setara 102,71 persen," ujarnya.
Adhy juga menjelaskan capaian luas tambah tanam (LTT) padi dan jagung periode Januari - Desember 2024 di mana realisasi tanam komoditas padi seluas 2,35 juta ha, naik 522.439 ha dibandingkan periode sama tahun 2023 1,82 juta ha. Begitu juga dengan realisasi tanam komoditas jagung seluas 1,25 juta ha.
"Realisasi tanam jagung naik sebesar 510.608 ha dibandingkan periode yang sama pada tahun 2023 yaitu 1,19 juta ha," ujarnya.
Pj Gubernur Jatim juga menyebut bahwa pupuk bersubsidi di Jatim telah teralokasi sebesar 1,94 juta ton. Di antaranya pupuk Urea, NPK, NPK formula khusus dan pupuk organik. Sampai 31 Desember 2024, pupuk tersebut telah tersalurkan sebanyak 1,67 juta ton.
"Pupuk bersubsidi yang telah disalurkan ke masyarakat mencapai 85,69 persen dari total alokasi," katanya.
Di sisi sumber daya manusia, Adhy mengungkapkan total penyuluh pertanian di Jatim sebanyak 3.673 orang yang terdiri dari 1.705 PNS, 1.953 PPPK dan 15 orang THL-TBPP atau tenaga harian lepas – tenaga bantu penyuluh pertanian.
Sedangkan jumlah petani di Jatim tahun 2024 sebanyak 5,5 juta orang tersebar di 8.493 desa/kelurahan.
"Ini banyaknya jumlah penyuluh pertanian tidak sebanding dengan banyaknya atau jumlah petani di Jawa Timur, artinya jumlah penyuluh pertanian di Jawa Timur ini masih kurang, dan ini jauh dari kata ideal," tuturnya.
Tak berhenti di situ, orang nomor satu di Jatim ini juga menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan sertifikasi benih tanaman pangan dan hortikultura. Pada tahun 2024 untuk tanaman pangan yaitu padi jumlahnya 37,5 ribu, dan jagung 2.081.
Sementara terkait ketersediaan pangan di Jawa Timur sampai Desember 2024 semua komoditas utama mencukupi prakiraan kebutuhan. Bahkan beberapa komoditas surplus dan mampu mensuplai provinsi lain di Indonesia.
"Harga rata- rata pangan pokok dan strategis di tingkat konsumen di Jawa Timur relatif stabil, kecuali cabai rawit keriting" sebutnya.
Berdasarkan angka sementara Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi di Jatim tahun 2024 sebesar 9,23 juta ton, dan menjadi capaian tertinggi nasional. Produksi jagung di Jatim pada tahun 2024 mencapai 4,49 juta ton.
"Ini adalah faktor yang mengukuhkan posisi Jatim sebagai lumbung pangan nasional," ujarnya.
Di sisi lain, populasi hewan ternak di Jatim juga berkontribusi besar pada nasional. Antara lain sapi perah sebesar 266 ribu, sapi potong 3,07 juta dan kambing 4,95 juta.
"Hasil produksi ternak seperti susu mencapai 456,3 ribu ton, telur 1,7 juta ton, dan daging sebesar 102,7 ribu ton," ucapnya.
Begitu juga dengan produksi perikanan tangkap Jawa Timur yang meningkat dari tahun 2016 hingga tahun 2024 dan menduduki posisi tertinggi nasional.
Angka sementara untuk tahun 2024 di Jatim, produksi perikanan tangkap sebanyak 621.437,28 ton, perikanan budidaya 1,36 juta ton dan produksi garam 1,009 juta ton.
Kemudian prospek cuaca 2025 di Jatim diperkirakan la nina lemah hingga netral, kurangnya akses permodalan untuk petani, kurangnya regenerasi petani, perubahan iklim yang mempengaruhi cuaca dan penurunan kualitas tanah.
Juga stok sumberdaya ikan yang terbatas, sarana dan prasarana pelabuhan perikanan yang belum optimal, biaya pupuk dan pakan yang tinggi.
"Ditambah dengan kondisi perairan dan saluran irigasi tambak, kolam yang semakin tercemar dan sedimentasi tinggi, dan produktivitas garam yang belum optimal," ujarnya.