Jakarta (ANTARA) - Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Mohammad Syahril mengemukakan pembengkakan pada kelenjar getah bening menjadi gejala spesifik yang membedakan penderita cacar monyet atau monkeypox dengan cacar pada umumnya.
"Yang menjadi pembeda ada pembengkakan kelenjar getah bening (Limfadenopati) pada leher dan selangkangan," kata Mohammad Syahril saat menyampaikan keterangan pers secara virtual yang diikuti dari YouTube di Jakarta, Selasa.
Syahril mengatakan gejala lain pada cacar monyet ditandai dengan sakit kepala, sakit kepala hebat, demam tinggi, nyeri punggung, nyeri otot dan lemas.
Pada umumnya virus membutuhkan masa inkubasi selama 6 hingga 16 hari, tetapi pada kasus lainnya ada yang dapat mencapai 5 hingga 21 hari. "Untuk fase prodromal atau invasi selama 1-3 hari," katanya.
Jika sudah mencapai tahap erupsi atau fase paling infeksius, kata Syahril, ditandai dengan ruam atau lesi pada kulit, biasanya dimulai dari wajah kemudian menyebar ke bagian tubuh lainnya secara bertahap mulai dari bintik merah seperti cacar (makulopapula), lepuh berisi cairan bening (blister), lepuh berisi nanah (pustule), kemudian mengeras (krusta) atau keropeng lalu rontok.
"Biasanya diperlukan waktu hingga 3 pekan sampai periode lesi tersebut menghilang dan rontok dengan sendirinya," katanya.
Syahril mengatakan cacar monyet adalah penyakit yang disebabkan oleh virus human monkeypox (MPXV) orthopoxvirus dari famili Poxviridae yang bersifat highly pathogenic. "Cacar monyet termasuk dalam kriteria zoonosis (penyakit hewan)," katanya.
Virus pertama kali ditemukan pada monyet di tahun 1958. Sedangkan kasus pertama pada manusia (anak-anak) terjadi pada tahun 1970 di Kongo.
Ia mengatakan penularannya melalui kontak erat dengan hewan atau manusia yang terinfeksi, atau benda yang terkontaminasi virus seperti darah, air liur, cairan tubuh, lesi kulit, droplet pernapasan.
"Sejauh ini di Indonesia belum ada laporan kasus cacar monyet dan secara global tidak ada kematian akibat kematian cacar monyet," katanya.