Kendari (ANTARANews Sultra) - Peristiwa menyangkut ikan berbadan besar, seperti paus, hiu, atau lumba-lumba, sering muncul dalam berbagai pemberitaan di media elektronik, cetak, maupun daring di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Di Provinsi Sulawesi Tenggara saja selama 2018 sudah ada dua peristiwa ikan paus yang terdampar, yaitu pada Februari seekor ikan paus terdampar di perairan Kabupaten Bombana dan pada November ini seekor ikan paus terdampar di perairan Pulau Kapota Kabupaten Wakatobi.
Berdasarkan catatan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Sulawesi Tenggara, ikan paus yang terdampar di perairan Bombana tersebut berukuran panjang 13 meter dan lebar tiga meter.
"Semuanya dalam kondisi sudah mati," kata Kepala Seksi Konservasi BKSDA Sulawesi Tenggara, Darman.
Akhirnya ikan-ikan paus yang terdampar itu dimusnahkan dengan cara yang berbeda. Yang terdampar di perairan Bombana dimusnahkan dengan cara dibakar, sedangkan di Wakatobi dikubur dengan melibatkan banyak pihak mengingat tulang ikan ini bermanfaat untuk penelitian oleh dosen dari Akademi Komunitas Perikanan dan Kelautan (AKKP) Wakatobi.
Sebelumnya, pada 2015, sebanyak enam ekor lumba-lumba terdampar di Teluk Kendari. Dari jumlah tersebut lima ekor berhasil dievakuasi dan kembali dilepaskan ke lautan bebas, sedangkan satu ekor mati.
Yang mengejutkan adalah terdamparnya seekor ikan paus jenis Sperma (Physeter macrocephalus) yang terdampar di Perairan Pulau Kapota Resort Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi pada Senin (19/11).
Temuan tersebut sangat mengejutkan berbagai pihak dan mengundang perhatian dari berbagai kalangan, seperti pemerintah pusat dan aktivis lingkungan.
Yang mencengangkan ternyata setelah diteliti ikan paus yang memiliki panjang 9,5 meter dengan lebar 437 centimeter tersebut perutnya berisi sampah dengan berat totalnya mencapai 5,9 kilogram.
Sampah yang ada dalam perut ikan paus nahas tersebut terdiri atas sampah gelas plastik 750 gram (115 buah), plastik keras 140 gram (19 buah), botol plastik 150 gram (4 buah), kantong plastik 260 gram (25 buah), serpihan kayu 740 gram (6 potong), sandal jepit 270 gram (2 buah), karung nilon 200 gram (1 potong), tali rafia 3.260 gram (lebih dari 1.000 potong).
Padahal, dalam berbagai buku pelajaran sekolah disebutkan bahwa ikan paus yang masuk binatang mamalia ini makananya adalah planton, tetapi kenapa di dalam perut ikan paus yang terdampar di perairan Pulau Kapota Kabupaten Waktobi tersebut bisa ditemukan sampah plastik dalam jumlah yang mencengangkan.
Lantas siapa yang salah dalam musibah terdamparnya ikan paus di Kabupaten Wakatobi yang bisa ditempuh sekitar 40 menit penerbangan dari Kota Kendari, Ibu Kota provinsi Sulawesi Tenggara tersebut?
Seseorang menyatakan bahwa yang salah itu manusia, kenapa membuang sampah plastik ke laut.
"Coba kalau ikan paus tersebut mempunyai tangan tentu tidak akan mengambil sampah-sampah tersebut untuk di makan, atau kalau ikan itu dengan tangannya membawa garpu tentu tidak akan mengambil sampah sebagai makanannya," kata dia.
Perhatian
Ditemukannya sampah plastik dalam perut ikan paus mengundang perhatian berbagai pihak, seperti lembaga swadaya Greenpeace yang menyatakan bahwa sampah plastik menjadi ancaman nyata bagi satwa.
Penemuan sampah plastik sebanyak 5,9 kg dalam perut bangkai paus sperma yang terdampar di Pulau Kapota, Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada beberapa waktu lalu, disebutnya telah mempertegas ancaman tersebut.
"Penemuan sampah plastik di dalam perut paus sperma menambah deretan panjang peristiwa hadirnya sampah plastik di tempat yang tidak seharusnya. Diperkirakan 94 persen plastik yang masuk ke lautan akan berakhir di dasar laut," kata juru kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi, melalui siaran pers yang diterima Antara, di Jakarta.
Dia menyatakan solusi utama untuk mengurangi invasi sampah plastik di lingkungan, termasuk lautan, dengan mengurangi produksi dan penggunaan plastik sekali pakai secara signifikan.
Semua sektor perlu menanggapi permasalahan ini dengan serius dan mengambil peran dalam penyelesaiannya.
Inisiatif pihak swasta seperti perusahaan produsen barang kebutuhan sehari-hari (fast moving consumer goods) harus lebih dari sekadar melakukan daur ulang.
"Perlu diingat bahwa tingkat daur ulang pun masih rendah sekali, hanya sembilan persen secara global," ujar Muharram.
Koordinator Nasional PKS Muda Yoandro Edwar menyatakan bahwa kasus kematian paus di Wakatobi yang di dalam perut satwa itu ditemukan banyak sampah plastik, mengindikasikan bahwa Indonesia darurat sampah plastik.
Pihaknya mendesak pemerintah segera menegakkan aturan peredaran plastik di masyarakat dan memberikan sanksi bagi yang tidak mengindahkan aturan tersebut.
"Tidak ada kata lain, aturan tentang peredaran plastik yang beredar harus bisa berdaur ulang. `Stakeholder` harus membuat skema pengolahan plastik hingga ancaman yang tegas bagi pihak yang mengindahkan aturan tersebut," katanya.
Sebanyak lima negara di Asia, yaitu China, Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Thailand, menghasilkan 60 persen limbah plastik di lautan, menurut laporan tahun 2015 yang disusun lembaga Ocean Conservancy and the McKinsey Center for Business and Environment.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengingatkan bahwa sampah plastik di lautan Nusantara merupakan persoalan besar bagi umat manusia, sehingga berbagai pihak harus berkontribusi mengatasinya.
"Sampah di laut adalah persoalan besar umat manusia," kata dia dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (22/11).
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah melakukan berbagai hal seoptimal mungkin, antara lain dengan terus-menerus kampanye terkait hal itu.
Ia mencontohkan Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) KKP telah melakukan sejumlah aksi, seperti membagikan jaring di sejumlah muara sungai agar sampah tidak keluar dari aliran sungai menuju lautan lepas.
Meski regulasi untuk melarang penggunaan plastik bukan menjadi wewenang KKP, pihaknya tetap mendukung dan mendorong berbagai pemda agar mengeluarkan aturan yang terkait hal tersebut.
Diharapkan semakin banyak masyarakat yang menyadari dan tidak lagi menggunakan beragam jenis plastik dalam kehidupan sehari-hari.