Kendari (Antara News) - Masyarakat Kulati di Pulau Tomia, Kabupaten Wakatobi akan menggelar Festival Budaya `Potapaki` pada 10 Juni sampai 19 Juli 2015.
Ketua Panitia penyelenggara Festival, H. Muhammad Djunaidi melalui telepon dari Pulau Tomia, Selasa, mengatakan, Festival Budaya `Potapaki` yang digelar tiga tahun sekali itu akan berlangsung selama sebulan lebih.
"Puncak Festival yang menjadi pesta rakyat Kulati ini akan ditutup pada 19 Juli 2015, sehari setelah perayaan hari raya Idul Fitri," katanya.
Menurut dia, `Potapaki` dalam bahasa masyarakat Kulati mengandung makna berembuk atau bermusyarawah untuk mencapai kata mufakat.
Dalam `Potapaki` tersebut, kata dia, yang dimusyarawahkan menyangkut berbagai hal, terutama terkait pembangunan daerah, baik pembangunan secara fisik maupun pembangunan mental spritual.
"Budaya `Potapaki` digelar pada setiap bulan Puasa, karena di bulan tersebut masyarakat Kulati yang sebagian besar hidup mencari nafkah di perantauan, pada mudik di desa," katanya.
Jadi, ujar dia, selain berembuk untuk membangun negeri, Festival Budaya `Potaki` juga menjadi ajang bersuka ria dan saling melepas rindu antara warga kampung dengan para perantau yang mudik kampung.
Ia mengatakan, selama sebulan pelaksanaan festival budaya tertajuk "Kearifan Budaya Maritim Lokal untuk Membangun Negeri` itu, akan digelar berbagai lomba antara lain lomba menghafal ayat-ayat pendek Al-Quran bagi anak-anak dan remaja, lomba azan, takbiran, dan lomba dakwah bagi kalangan remaja.
Selain itu, juga akan ada lomba tari-tari tradisional, lagu-lagu tradisional, kasidah modern dan sebagainya.
"Pokoknya, selama sebulan lebih pelaksanaan festival akan diisi dengan berbagai kegiatan kerohanian dan perawatan beberapa situs budaya di desa Kulati," katanya.
Sedangkan pada puncak festival, kata dia, akan digelar budaya `Pajuju`, yakni arak-arakan kue Karasi (kue tradisional Wakatobi) yang dibentuk menyerupai kubah bertingkat dan diisi makanan lokal termasuk hasil laut seperti ikan, lobster dan kerang.
"Tingkatan kubah `Pajuju` erat hubungannya dengan ajaran Islam. Bertingkat tiga menggambarkan Baitullah (Rumah Tuhan) sekaligus mengingatkan untuk beribadah haji, sedangkan bertingkat lima mengingatkan untuk sholat lima waktu," katanya.
Pajuju terbesar, kata dia, dibuat bertingkat tujuh, yang menggambarkan jumlah hari dalam seminggu dan tingkatan langit di alam semesta.