Jakarta (Antara News) - Boleh percaya atau tidak, hanya karena singkong rebus,maka seorang siswa asal Papua yang sudah seminggu terbaring di sebuah rumah sakit di Jakarta dengan jarum infus tertanam di lengannya, dalam waktu singkat berangsur-angsur pulih.
Sikap "mogok" makan siswa itu ternyata karena tidak cocok dengan makanan ala Jawa yang selama beberapa waktu dikonsumsinya sejak kedatangannya ke Jakarta.
Siswa yang mengalami sakit itu adalah salah satu siswa dari sebanyak 500 siswa sekolah menengah pertama (SMP) dari Papua dan Papua Barat yang sedang mengikuti Program Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan unit Percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) sebuah unit kerja yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden no 66 Tahun 2011.
"Karena anak itu "mogok makan", akhirnya salah satu panitia mencoba memberikan makanan olahan dari singkong, dengan cepat anak itu sembuh dan seperti menemukan dunianya kembali," kisah Kasubdit Program dan Evaluasi Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PKLK) Pendidikan Menengah Ditjen Pendidikan Menengah Lilik Sulistyowati yang akrab dijuluki sebagai Bunda Papua oleh siswa siswi peserta Program Adem.
Ini hanya salah satu kasus saja, soal ketidakcocokan makanan. Sementara ini kasus yang muncul dari kebanyakan anak-anak Papua adalah perbedaan budaya dan bahasa sehingga siswa menjadi pemurung dan tidak betah dan ingin pulang ke kampung halamannya.
Namun menurut Lilik, kebanyakan siswa sebelum tinggal secara mandiri dengan menyewa kamar kos, biasanya tinggal bersama guru atau kepala sekolah yang kelak akan menjadi tempat melanjutkan pendidikannya di SMA/SMK.
Penempatan siswa di sejumlah sekolah tersebut diakui Lilik sebenarnya sudah melalui serangkaian proses.
"Anak-anak datang paling tidak satu bulan sebelum tahun ajaran baru 2013/2014 dimulai. Sebagian besar ada yang tinggal di rumah para kepala sekolah, ada yang kos di sekitar tempat tinggal kepala sekolah atau guru dengan tujuan untuk memudahkan pengawasan dan adaptasi siswa dengan lingkungan barunya", katanya.
Dilatih kemandirian
Siswa-siswi memang disarankan mencari tempat tinggal di sekitar sekolah agar bisa cepat beradaptasi sekaligus melatih kemandirian. Siswa memang tidak dianjurkan untuk tinggal dengan kerabat untuk melatih kemandirian. Namun umumnya di setiap sekolah paling sedikit ditempatkan dua siswa agar tidak merasa kesepian, ujarnya.
Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Sukawati Gianyar Bali I Gusti Ngurah Puja Armaya mengatakan sekolahnya menerima dua siswa putri untuk Program ADEM.
"Satu bulan sebelum tahun ajaran baru mereka sudah tinggal di rumah kami. keduanya cukup cepat beradaptasi dan rasa ingin tahu keduanya cukup tinggi sehingga selama menunggu dimulainya kegiatan belajar mengajar, mereka sudah mendatangi sekolah dan berberkeliling wilayah sekitar untuk mengenal lingkungan sekitar".
Saat ini, Sangquana uchi AA Waromi (Uchi) alumni SMP Kanisius Kabupaten Serui Papua dan Wiruri Helena Aprilean Rarawi (Dede) alumni SMP negeri I Jayapura sudah menyewa sendiri kamar kos yang berdekatan dengan sekolah, ujar Armaya.
"Uchi dan Dede keduanya siswa yang aktif dan rata-rata setiap hari menghabiskan waktu di sekolah karena setelah selesai jam pelajaran langsung dilanjutkan dengan berlatih menari, atau kegiatan ekstrakulikuler lainnya sehingga bisa dikatakannya tidak ada waktu terbuang hanya untuk melamun atau memikirkan kampung halamannya.
Jumlah 500 siswa memang sejak awal sudah tidak genap, sebab dua hingga tiga pekan semenjak kedatangan para siswa Papua dan Papua Barat, peserta Program ADEM mulai berguguran karena beberapa siswa mengalami sakit dan sejumlah siswa lainnya pulang karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Dari 500 siswa SMP peserta program sebanyak empat orang batal berangkat serta sebanyak 18 anak diantaranya kembali Papua setelah sempat berada di kota tujuan melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA/SMK.
"Saat ini sebanyak 478 siswa yang sedang mengikuti pendidikan jenjang SMA dan SMK di enam propinsi dan hasil evaluasi dan monitoring dalam beberapa bulan terakhir rata-rata siswa sudah mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan lingkungan sekolah sehingga persoalan kerinduan ke kampung halaman dapat ditekan, ujar Lilik si Bunda Papua.
Enam Provinsi
Siswa siswi asal Papua dan Papua Barat tersebut tersebar di 179 SMA/SMK unggulan baik negeri maupun swasta di sejumlah kota di Pulau Jawa, yakni Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat di Bogor dan Bandung, DI Yogyakarta, Jawa Tengah di Semarang, Demak, Magelang, Wonogiri, Klaten, Provinsi Jawa Timur di Malang, Jember, Lamongan, dan Tuban serta Provinsi Bali di Kuta, Buleleng dan Karang Asem.
Program Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) Papua dan Papua Barat merupakan program pemerintah untuk mempercepat pembangunan di wilayah Indonesia bagian Timur khususnya Papua dan Papua Barat.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan, jalur afirmasi bukanlah bentuk diskriminasi atas Papua. Namun, lebih kepada transformasi kultur akademis kepada masyarakat Papua melalui status otonomi khusus yang dimilikinya.
Program afirmasi ini bertujuan untuk mengurangi kesenjangan antara Jawa dan Papua. Program ini juga bertujuan untuk mencegah para mahasiswa afirmasi pendidikan mengalami gegar budaya ketika kuliah di perguruan tinggi negeri di Jawa, kata Mendikbud.
"Banyak yang syok ketika mereka kuliah di perguruan tinggi negeri sehingga kurang maksimal bersaing dengan teman-temannya. Program afirmasi juga ditujukan untuk menjahit rasa persaudaraan sebagai bangsa yang besar," tambah Nuh.
Program ADEM bidang pendidikan dilaksanakan oleh Direktorat Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PKLK) Ditjen Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, UP4B serta dinas pendidikan provinsi dalam bentuk pemberian kuota dan bantuan pendidikan (biaya hidup dan sekolah) bagi siswa-siswi lulusan SMP/MTs guna melanjutkan pendidikan pada jenjang SMA/SMK di luar Papua.
Direktur Jenderal pendidikan Menengah Kemdikbud Achmad Jazidie mengatakan Program ADEM dilaksanakan untuk pertama kali pada tahun 2013 dengan harapan pada tahun 2016 tersedia siswa-siswi lulusan SMA/SMK asal Papua yang memiliki bekal cukup untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi.
"Ada program lanjutan setelah ADEM bila memenuhi syarat berlanjut ke Program Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK)".
"Pelaksanaan program ADEM bagi siswa asli Papua ini memberi kesempatan yang lebih besar bagi para siswa untuk menyesuaikan diri dan sekaligus menempatkan diri pada derajat akademik yang sama dengan teman-teman lain di luar Papua.Oleh sebab itu dilakukan langkah antisipasi dini dengan mempersiapkan putra-putri Asli Papua pada jenjang pendidikan menengah untuk melanjutkan pendidikan tingkat SMA/SMK di luar Papua," ujarnya.
Berdasarkan definisi yang dimiliki oleh Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B), Affirmative Action adalah kebijakan yang diambil dengan tujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Hal ini bertujuan sebagai keberpihakan terhadap terhadap Orang Asli Papua.
Secara nasional, Tahun 2012 ini Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua Barat berada di peringkat 29 dan IPM Provinsi Papua menempati urutan 33 dari 33 provinsi di Indonesia.
Program keberpihakan bidang pendidikan merupakan amanat pasal 56 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua, yang menyatakan bahwa "Setiap penduduk berhak memperoleh pendidikan yang bermutu dengan beban masyarakat serendah-rendahnya".
Permasalahan di Papua yang sangat kompleks dan mendasar mendorong pembuatan Peraturan Presiden yang dapat melakukan percepatan pembangunan di Papua. Sesuai dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (P4B) dan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) menyatakan antara lain tugas pokoknya adalah: "Memberikan dukungan kepada Presiden Republik Indonesia dalam koordinasi, sinkronisasi, fasilitasi serta pengendalian dan evaluasi pelaksanaan program percepatan pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat".
Pembentukan UP4B didasari pada kondisi objektif yang terjadi saat ini di Provinsi Papua dan Papua Barat.