Kendari (ANTARA News) - Mantan pejabat fungsional Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) LYA (42) diadili atas tuduhan tindak pidana pemerasan dan penipuan di PN Kendari, Jumat.
Terdakwa LYA menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan bersama istrinya, TH (40) yang juga terdakwa dalam kasus dugaan pemerasan yang dipimpin hakim Efendi Pasaribu bersama Wiyono dan Nendi Rusnendi selaku hakim anggota.
Terdakwa LYA ditugaskan sebagai pejabat fungsional pada Biro SDM bagian Diklat KPK terhitung sejak 18 Juli 2008 dan berakhir 13 Juli 2012.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Baharuddin dan Herlina Rauf dalam amar dakwaan menguraikan bahwa pada 21 Agustus 2012 terdakwa LYA dan terdakwa TH melakukan silaturahmi di rumah jabatan Gubernur Sultra serangkaian Hari Raya Idul Fitri 2012.
Terdakwa TH yang juga pegawai negeri sipil pada Dinas Kesehatan Sultra melobi DR Henny agar terdakwa LYA yang juga suaminya dapat dipertemukan dengan Gubernur Sultra Nur Alam.
Keesokan harinya digelar pertemuan di Cafe Exelco Jalan Ahmad Yani Kendari antara terdakwa LYA, terdakwa TH dengan saksi Dr Henny, Amran Yunus dan Gubernur Nur Alam.
Pada kesempatan tersebut terdakwa TH memperkenalkan suaminya, terdakwa LYA kepada saksi DR Henny, Amran Yunus dan Nur Alam sebagai pegawai di KPK.
Terdakwa LYA menyatakan kesediaan untuk meredam aksi unjuk rasa sekelompok orang di Jakarta berkaitan dengan laporan keterlibatan Nur Alam dalam kegiatan investasi tambang di Kabupaten Bombana.
Terdakwa yang didampingi istrinya kemudian menyampaikan kepada para saksi bahwa dalam waktu dekat akan diturunkan tim investigasi dari KPK.
Setelah merasa cukup dikenal oleh para saksi, khususnya Gubernur Nur Alam, kemudian terdakwa menyusun sejumlah jurus untuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Terdakwa TH yang juga istri terdakwa LYA menghubungi DR Henny dengan menyampaikan permintaan bantuan tunjangan hari raya (THR) dari Gubernur Sultra.
Saksi DR Henny menghubungi saksi Amran Yunus perihal batuan THR. Saksi Amran Yunus dalam kapasitas sebagai orang dekat Nur Alam memenuhi permintaan THR sebesar Rp100 juta.
Pada tanggal 29 September istri terdakwa kembali menghubungi DR Henny perihal dana operasional tim investigasi dari KPK sebanyak tiga orang.
Amran Yunus enggan menyampaikan permintaan terdakwa kepada Nur Alam karena sedang konsentrasi menghadapi pemilihan gubernur 2012.
Maka dari permintaan terdakwa sebesar Rp400 juta baru dapat dipenuhi saksi Amran Yunus sebesar Rp150 juta.
Sisanya sebesar Rp250 juta diserahkan saksi Amran Yunus setelah diberitahu oleh terdakwa bahwa tim investigasi KPK telah menyelesaikan tugas di Kabupaten Bombana.
Beberapa hari kemudian terdakwa kembali menyampaikan kepada saksi Amran Yunus bahwa dana Rp400 juta tidak cukup sehingga ditambahkan 10.000 dollar Amerika.
Lagi-lagi terdakwa LYA tidak kehabisan akal untuk memperdaya saksi Amran Yunus. Terdakwa kembali menghubungi Amran Yunus dan menyampaikan bahwa investigasi tiga orang utusan KPK di Bombana dinyatakan gagal.
Sehingga, KPK akan menurunkan satuan tugas khusus ke Bombana dan terdakwa meminta tambahan dana sebesar Rp1,4 miliar atau Rp2 miliar dari saksi Amran Y,4 unus.
Amran Yunus hanya menyanggupi Rp200 juta dari permintaan sebesar Rp1,4 milliar. Terdakwa tidak mempermasalahkan atau dapat menerima walaupun hanya Rp200 juta tersebut.
Pada 20 September 2012 sekitar pukul 21.00 Wita di Kompleks Perumahan Palm Mas Kendari kedua terdakwa dengan menumpang mobil bernomor polisi DT 111 TI menemui saksi Amran Yunus untuk menerima uang tunai Rp200 juta serta cek senilai Rp500 juta.
Dalam perjalanan pulang kendaraan terdakwa dicegat polisi dan tidak dapat mengelak karena ditemukan barang bukti uang tunai Rp200 juta serta cek.
Jaksa penuntut dalam dakwaannya primair menjerat terdakwa melanggar pasal 368 ayat (1) KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo pasal 64 ayat (1).
Dalam dakwaan subsidair terdakwa dijerat melanggar pasal 378 KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo pasal 64 ayat (1). (Ant).