Jumlah penduduk Indonesia pada saat ini sekitar 240 juta orang, dimana 49,9 persen adalah perempuan dan 30 persen anak.
Di satu sisi, tentu saja, kondisi itu berakibat pada luasnya akses bagi semua pihak untuk dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi tersebut dengan mudah, murah, dan cepat.
Di sisi lain, tidak semua pengguna internet mempunyai niat yang baik dan hal itu terbukti dari data yang ada yang menggambarkan internet dipakai untuk menipu, mengiming-imingi dan akhirnya digunakan sebagai media perdagangan anak maupun remaja putri untuk tujuan eksploitasi seksual dan prostitusi.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar menmberikan contoh adanya pelaku perdagangan orang yang menawarkan perempuan muda secara "online" atau dalam jaringan.
Bahkan korbannya berjumlah di atas dua ribu orang dari beragam latar pendidikan dan profesi.
Kejahatan itu, kata dia, baru terungkap setelah dua tahun beroperasi.
"Hal ini menyiratkan bahwa 'trafficking' atau perdagangan manusia termasuk terhadap perempuan dan anak, baik secara online maupun tidak merupakan kejahatan sindikat terorganisir," katanya.
Sindikat tersebut, kata dia, melibatkan berbagai elemen kelompok yang dibangun secara rapih, profesional, tersistem.
Bahkan, biasanya, antara satu kelompok dan kelompok lain tidak saling mengenal, sehingga sulit untuk dapat mendeteksi otak dari sindikat ini.
Jaringan sindikat terbangun sejak dari "akar rumput" hingga mancanegara.
"Maka tidaklah mengherankan jika sulit menangkap otak atau pelaku utama serta sindikatnya," katanya.
Untuk itu, perlu adanya sinergitas dan kerjasama dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat, penegak hukum, pemerintah, swasta dan lembaga legislatif dan organisasi internasional serta pemerintah di kawasan regional maupun mancanegara.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat bahwa 66 persen dari 1.625 siswa SD kelas empat hingga enak di wilayah Jabodetabek telah menyaksikan konten pornografi melalui jaringan online.
Para siswa SD ini telah menyaksikan materi pornografi online, dengan rincian 24 persen melalui komik, 18 persen melalui permainan atau "games" online, 16 persen melalui situs porno dan 14 persen melalui film serta telepon selular.
Ironisnya anak-anak dapat bebas mengakses materi pornografi online karena rendahnya pengawasaan orang tua dan masyarakat. Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Jangan Bugil Depan Kamera (GJBDK) yang melakukan wawancara pada ribuan orang tua di 28 provinsi menunjukan, hanya 10 persenorang tua yang paham pemakaian internet dan peralatan games online yang mereka berikan kepada anaknya.
Survey yang dilakukan pada 2007 ini menunjukkan juga bahwa rata-rata pengakses materi pornografi di internet berusia 11 tahun dan 90 persen akses internet pornografi dilakukan pada saat anak sedang mengerjakan tugas sekolah atau belajar bersama.
"Walaupun data ini sudah lima tahun yang lalu, namun saya yakin keadaannya dewasa ini tidak banyak berubah mengingat secara kasat mata saja, anak-anak sekolah dasar sudah diberikan telepon selular atau sejenisnya oleh keluarga mereka dan setiap saat mereka dapat tersambung dengan dunia maya," kata menteri.
Dia mengatakan, orang tua perlu mengawasi tingkah laku anak-anak, terutama di dalam rumah.
"Berikan pemahaman dan pendampingan kepada anak apalagi remaja putri yang gemar menggunakan "facebook" dan "twitter" untuk tidak mengobral data pribadi dengan mudahnya dan jangan gampang terkena bujuk rayu kenalan baru".
Peran Keluarga
Sementara
itu, Deputi Kesejahteraan Keluarga dan Pemberdayaan Keluarga (KSPK)
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sudibyo
Alimoeso mengatakan keluarga harus menjadi tempat yang nyaman bagi
remaja untuk mencurahkan berbagai permasalahannya.
"Karenanya, diharapkan peran orang tua untuk mencurahkan perhatian kepada anak saat mereka menginjak masa remaja khususnya terkait dengan jejaring sosial dan internet," katanya.
Menurut Sudibyo, masa remaja merupakan masa transisi mencari jati diri, sehingga penting peran orang tua mengarahkan remaja agar memiliki karakter yang baik.
"Harus ada komunikasi yang baik antara orang tua dan remaja," ungkapnya.
Lebih jauh Sudibyo menguraikan, dengan terjadi banyak komunikasi antarkeluarga, maka karakter anak akan kuat dan tidak mudah terpengaruh dengan pengaruh lingkungan yang buruk.
Selain keluarga, lingkungan dimana mereka tinggal dan berada termasuk lingkungan sekolah juga bisa menjadi tempat untuk pembentukan karakter seorang anak.