Baubau (ANTARA) - Kanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Tenggara, mencatat ada sebanyak 104 kasus pertanahan yang ditangani sepanjang tahun 2020. 

Kepala Bidang Pengendalian dan Penanganan Sengketa Kantor Wilayah BPN Sultra, Irwan Idrus, di Baubau, Jumat, mengatakan, 104 kasus pertanahan yang masuk itu ada yang telah tuntas ditangani dan ada yang sedang berjalan. 

"Jadi sengketa pertanahan itu sudah ditangani semua, kemudian 41 perkara yang disidangkan juga yang digugat BPN, namun ada yang berlanjut, ada yang sudah selesai," ujar Irwan yang juga menjabat Plt Kepala Kantor Pertanahan Kota Baubau ini. 

Sebanyak 104 kasus yang tersebar di kabupaten dan kota di Sultra itu, menurutnya, terbanyak di Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan beberapa daerah lainnya. Kasus-kasus itu ada persoalan tambang, hingga masalah pemilikan tanah antar-masyarakat (perorangan) dengan swasta berbadan hukum. 

Dia juga mengatakan, dalam penanganan kasus-kasus pihaknya mempunyai kuasa hukum yang merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) di kantor-kantor pertanahan dan Kanwil BPN Sultra.

"Jadi kita tidak mengambil (kuasa hukum) dari luar karena mereka ini sudah diberi atau dibekali pendidikan dan pelatihan (Diklat) sebagai kuasa hukum dan sebagai mediator," ujarnya. 

Terkait persoalan tanah yang terus ada, menurutnya, itu tidak akan berakhir 100 persen dan akan timbul masalah-masalah baru, karena masih banyaknya orang yang membutuhkan tanah, sedangkan ketersediaan tanah yang semakin menipis. 

Kemudian, tambahnya, akibat dari volume investasi dan pembangunan yang meningkat sehingga badan hukum swasta dan badan hukum pemerintah membutuhkan tanah yang besar. 

"Ketiga, tanah itu mempunyai nilai ekonomis, sehingga tentunya banyak orang yang berspekulasi disitu. Banyak mafia-mafia tanah yang memanfaatkan situasi kondisi tertentu membuat alas hak palsu, akte palsu, bahkan kemungkinan dia membuat sertipikat palsu untuk kepentingannya itu," ujarnya. 

Kemudian juga, menurutnya lagi, karena adanya disharmonisasi ketikasesuaian antara peraturan-peraturan yang satu dengan yang lain khususnya yang menyangkut mengenai peraturan sumber daya alam, yang semisal undang-undang kehutanan ada bersinggungan atau bertentangan dengan undang-undang pokok agraria. 

"Sebagai salah satu contoh, undang-undang pokok agraria itu jelas menyatakan bahwa setiap bidang tanah di Indonesia harus diukur, didaftarkan, itu artinya termasuk hutan harus didaftarkan sebagai aset pemerintah supaya mempunyai alas hak dan mempunyai jaminan kepastian hukum mengenai luasnya sehingga bisa tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan," katanya. 

"Kalau sekarang kan gak, bisa berganti-ganti kawasan hutan itu, bisa diturunkan (statusnya) tahun ini, besok ditingkatkan lagi, jadi gak ada kepastian terhadap itu. Jadi itu yang membuat masalah-masalah pertanahan selalu timbul," demikian tambah Irwan. 

Pewarta : Yusran
Editor : Hernawan Wahyudono
Copyright © ANTARA 2024