Jakarta (Antara News) - "Satu, Pancasila. Dua, Ketuhanan Yang Maha Esa. Tiga, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Empat, Persatuan Indonesia. Lima, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan," kata pengucap Pancasila dalam upacara bendera suatu sekolah.

        Dari kejadian itu tampak bahwa sebagai hafalan pun, Pancasila gagal terpatri di benak. Bagaimana sebagai terapan?

        Secara keseluruhan, Pancasila menghadapi tantangan dan upaya penggantiannya dengan asas lain, tapi berhasil melewatinya.

        Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, mencatat peristiwa mulai dari pembatasan hingga kekerasan atas nama agama, hingga menelan korban. Persoalan itu terjadi tidak hanya antar-umat beragama, juga di antara umat seagama.

        Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menyaksikan betapa ringan orang menyakiti sesama, mulai dari pelecehan hingga pembantaian, bahkan dilakukan oleh anak-anak dan remaja.

        Persatuan Indonesia kian menjadi hal mewah dengan perseteruan antarsuku, bahkan pengusiran suku tertentu dari suatu daerah.

        Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan tidak lagi menjadi acuan dalam bernegara. Keputusan diambil untuk menghasilkan pemenang, yang dapat mendaku kemutlakan dan menihilkan pecundang.

        Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia kian ditinggalkan, karena tidak sesuai dengan perkembangan, yang menuntut keuntungan, setidak-tidaknya tidak merugikan. Swasta menjadi keniscayaan, termasuk atas kekayaan alam menyangkut hajat hidup orang banyak, dan perbantuan, yang seharusnya menjadi kewajiban, diharamkan.

    
                                    Bukan pungutan

        Hakikat dasar negara Indonesia merdeka, yang dirumuskan pendiri bangsa, tidak dipungut dari udara, melainkan digali dari bumi sejarah keindonesiaan, kata Yudi Latif dalam bukunya, "Negara paripurna. Historisitas, rasionalistas, dan aktualitas Pancasila".

        Dasar Negara itu mulai dibicarakan sesudah Radjiman Wediodiningrat selaku ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) meminta sidang mengusulkan dasar Indonesia Merdeka.

        Menurut Yudi, permintaan itu menimbulkan rangsangan 'anamnesis', yang memutar kembali ingatan pendiri bangsa dan mendorong mereka menggali kekayaan kerohanian, kepribadian dan wawasan kebangsaan, yang terpendam dalam lumpur sejarah.

        "Dalam penggalian itu, pendiri bangsa juga memikirkan pengalaman bangsanya selama penjajahan dan mengingat apa saja yang pernah mereka perjuangkan dan impikan sebagai sumber pembebasan, kebahagiaan dan jatidiri bersama," kata Yudi.

        Dalam pembahasannya, rancangan undang-undang dasar, yang berisi dasar negara, mengalami pergulatan sengit, terutama antara golongan Islam dan kebangsaan.

        Rancangan pembukaan undang-undang dasar itu, menurut Yudi, mencerminkan kompromi antara golongan Islam dan kebangsaan, dengan titik temu pada alinea ketiga, "Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas". Alinea itu mencerminkan pandangan golongan Islam, yang melandaskan perjuangannya atas Rahmat Allah, dan golongan kabangsaan, yang menitikberatkan kehidupan kebangsaan yang bebas.

        Dalam membuat rancangannya, panitia kecil bentukan BPUPK mendasarkan atas yang disebut Soepomo "sistematik negara keluargaan", yang mencerminkan semangat dalam persidangan BPUPK.

        Rancangan negara kekeluargaan itu, menurut Yudi, tidak bercorak tunggal, tapi perpaduan dari banyak unsur, yakni kesatuan "kawula" dan "gusti" dalam konsepsi tradisi (khususnya Jawa), kekeluargaan "hakkoo itjiu" Jepang, sosialisme Islam tentang ketakterpisahan pribadi dari masyarakat, pelayanan kasih Kristiani, populisme gaya Soekarno, demokrasi sosial Hatta dan paham integralisme Soepomo.

        Kekuatan saham keagamaan dalam pembentukan kebangsaan Indonesia membuat arus besar pendiri bangsa tidak bisa membayangkan ruang publik hampa Tuhan, kata Yudi, dengan menambahkan bahwa sejak dasawarsa 1920-an, ketika Indonesia mulai dibayangkan sebagai masyarakat politik bersama, mengatasi masyarakat budaya dari ragam suku dan agama, pemikiran kebangsaan tidak terlepas dari ketuhanan.

        Agoes Salim dalam tulisannya di "Fajar Asia" mengecam gagasan nasionalisme Eropa, yang meminggirkan Tuhan, dengan mengatakan, atas nama tanah air masing-masing, bangsa Eropa merendahkan derajat bangsa luar Eropa. "Kita mesti menunjukkan ciat-cita lebih tinggi daripada segala benda dan rupa dunia, yaitu kepada hak, keadilan dan keutamaan, yang batas dan ukurannya telah ditentukan Allah SWT," katanya.

        Soekarno di "Suluh Indonesia" menulis bahwa nasionalisme Indonesia ialah nasionalisme ketimuran, bukan kebaratan. "Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi perkakasnya Tuhan dan membuat kita hidup dalam roh," katanya.

        Soepomo menyatakan negara kebangsaan itu tidak berarti bersifat "a religious", tapi memelihara budi pekerti luhur, memegang cita-cita moral luhur rakyat, seperti yang dianjurkan agama.

        Ketuhanan dalam kerangka Pancasila mencerminkan tekad bangsa Indonesia menyelenggarakan kehidupan politik berdasarkan atas nilai moral dan budi pekerti luhur.

        Tentang sila kedua, Muhammad Yamin menyebut salah satu dasar tujuan kemerdekaan ialah kemanusiaan, dengan bayangan Indonesia menjadi anggota berdaulat permusyawaratan bangsa Asia Timur Raya dan persaudaraan bangsa sedunia.

        Pengalaman terjajah dan perjuangan memberi pelajaran dan kepekaan akan pembebasan umat manusia.

        Dalam hal persatuan Indonesia, anggota BPUPK Woerjaningrat mengingatkan bahwa kehilangan persatuan dapat mengakibatkan kelenyapan kemerdekaan, seperti pada masa majapahit dan mataram. "Kita sadar akan kesalahan kita. Sumber kesalahan tidak lain ialah kurang rukun sebab mementingkan badan atau golongan sendiri," katanya.

        Anggota lain, Soesanto Tirtoprodjo, mengatakan, Indonesia harus merupakan negara unitaris, bukan federalis, bukan negara serikat.

        Sementara itu, Ki Bagoes Hadikoesoemo menekankan arti penting permusyawratan dalam mengambil keputusan sebagai cara merawat persatuan.

        "Kita hendak mendirikan negara semua untuk semua. Kita mendirikan negara kebangsaan Indonesia," kata Soekarno.

        Dalam kesempatan lain, Soekarno mengatakan, "Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan menyendiri, bukan 'chauvinisme', sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa."

        Mengenai sila keempat, Soekarno mengatakan, "Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup."

        Hatta merumuskan gagasan demokrasi sosial dalam kaitan Indonesia dari hasil pergulatannya dengan demokrasi di Eropa dan penghayatannya atas permusyawaratan serta gotong-royong masyarakat desa di Indonesia.

        Seperti Soekarno, Hatta menolak mentah-mentah upaya mengekor pada model demokrasi Barat. Menurut dia, demokrasi sebagaimana diperkenalkan revolusi Prancis hanya membawa rakyatnya pada demokrasi politik, yang pada tingkat tertentu hanya menguntungkan kaum borjuasi dan meminggirkan rakyat jelata.

        Ia menyatakan watak masyarakat Indonesia, yang cenderung pada semangat kebersamaan, memberi landasan budaya politik bagi demokrasi permusyawaratan.

        Soekarno menegaskan, "Saya yakin bahwa syarat mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawratan, perwakilan."

        Dalam hal keadilan sosial, Soekarno menandaskan bahwa jika betul-betul mengerti, mengingat dan mencintai rakyat, asas keadilan sosial harus diterima, bukan cuma di bidang politik, tapi juga ekonomi.

        Para pendiri bangsa dalam upaya mewujudkan keadilan itu menyatakan bahwa negara adalah lembaga masyarakat untuk menyelenggarakan keadilan.

        Indonesia tidak dikehendaki menjadi negara liberal, tapi negara kesejahteraan, yang mengandung paham demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, kata Yudi.

    
                                Ditinggalkan
 
        Pergulatan pendiri bangsa dalam mengupayakan panduan bagi perjalanan bangsa tampak diabaikan dan insan Indonesia saat ini berusaha membuat sejarah sendiri tanpa mengetahui bahwa yang diwacanakan kini sudah terjadi pada masa lalu. Warga Indonesia tampak terkena "kutukan" Santayana bahwa orang akan mengulangi sejarah karena mengabaikannya.

        Kajian Pancasila Universitas Airlanggar pada 2011 mendapati keterbukaan bergaya liberalisme membuat perkembangan moral bangsa Indonesia dipakai ¿bancakan¿ oleh paham bersaing, yaitu liberalisme, sektarianisme dan primordialisme.

        Perlahan tapi pasti, Pancasila tampak ditinggalkan, baik dalam kehidupan sehari-hari di lapisan bawah maupun di tingkat pembuat keputusan, sehingga peringatan Pancasila Sakti terasa hanya pemenuhan kewajiban berkala.

        Pancasila dipertahankan dan ditempatkan di sangkar emas, sementara untuk perjalanan hidup dipakai asas lain. Kemubaziran dan sikap mendua menjadi keniscayaan.

        "Enam, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia," begitu sekelompok peserta upacara setiap Senin itu meneruskan kekeliruan pengucap sebelumnya. Guru kemudian menghukum mereka.

Pewarta : Oleh Boyke Soekapdjo
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024