Brasilia (Antara News) - Di bawah terik matahari, puluhan orang tampak berunjuk rasa di depan istana Presiden Dilma Rousseff di Brasilia, Jumat (27/6).

Mereka adalah pegawai negeri yang berasal dari Sindicato dos Servidores Publicos Federals, semacam Korpri di Indonesia, yang menuntut kenaikan gaji.

Sambil membawa spanduk dengan logo organisasi berwarna serba merah, mereka berorasi di depan di Istana Palacio da Alvorda yang mempunyai pekarangan berumput dengan luas melebihi lapangan sepak bola.

Para pengawal kepresiden dengan berjas hitam, hanya mengawasi dari kejauhan, didampingi oleh patroli polisi.

Meski hanya diikuti puluhan orang, aksi tersebut ternyata cukup menarik perhatian media setempat, baik media cetak maupun cetak, dan jumlah mereka hampir sama dengan pengunjuk rasa.

Tidak berapa lama kemudian, terdengar sirene rombongan Presiden Rousseff yang keluar dari istana. Berbeda dengan rombongan presiden di Indonesia yang diiringi belasan mobil dan pernah mencelakakan pengendara lain, iring-iringan Dilma tidak lebih dari lima mobil.

Setelah iring-iringan Presiden Rousseff berlalu, aksi protes pun berakhir dan pengunjuk rasa pun mulai membentangkan meja dan mengeluarkan berbagai jenis makanan dan minuman.

Pemandangan di depan istana berubah tidak ubahnya seperti orang yang sedang menikmati pesta taman (barbeque) karena pengunjuk rasa mulai mengobrol santai, termasuk dengan pasukan pengawal presiden.

"Kami menyampaikan protes kepada Presiden Rousseff karena ia berjanji akan menaikkan gaji secara bertahap. Akan tetapi, sampai sekarang belum tuntas,"  kata Miguel dos Santos, pengunjuk rasa.

Selama berlangsung Piala Dunia yang dibuka secara resmi pada tanggal 12 Juni lalu di Stadion Corinthians Sao Paulo, aksi unjuk rasa memang masih tetap terjadi meski tidak sebesar tahun lalu saat berlangsung Piala Konfederasi.

Ketika itu jutaan warga Brazil secara serentak turun ke jalan di 12 kota yang menjadi penyelenggara Piala Dunia 2014. Mereka menentang besarnya biaya penyelenggaraan pesta sepak bola dunia yang mencapai 11 miliar dolar AS.

          
                             Dijadikan Tumbal

Pada awalnya, protes yang disampaikan warga adalah soal tingginya biaya pesta empat tahunan itu, bukan Piala Dunia itu sendiri.

Biaya yang dikeluarkan tersebut dianggap sebagai sebuah pemborosan dan seharusnya yang menjadi prioritas pemerintah adalah meningkatkan layanan kesehatan, pendidikan, dan meningkatkan lapangan kerja.

"Kami mendukung tim nasional Brazil, tetapi permainan pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi kami jauh lebih penting dari persoalan sepak bola. Piala Dunia hanya akan memperkaya FIFA dan segelintir kelompok elite, bukan rakyat Brazil," kata Fabio, pengunjuk rasa di Sao Paulo beberapa waktu lalu.

Akan tetapi, protes untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat luas dan kelas bawah, terutama yang terdampak penggusuran akibat pembangunan stadion, secara perlahan mulai meredup dan berganti unjuk rasa demi kepentingan kelompok.

Beberapa minggu menjelang Piala Dunia 2014, pegawai kereta api bawah tanah (Metro) di Sao Paulo ikut-ikutan melancarkan pemogokan menuntut kenaikan gaji.

Akibatnya, tiga juta warga di kota terbesar di Brazil yang mengandalkan transportasi massal itu, telantar.

Kemudian, polisi, guru, dan pegawai negeri dan petugas pelayanan  masyarakat lainnya juga melancarkan pemogokan menuntut perbaikan kesejahteraan.

Event Piala Dunia 2014 benar-benar dimanfaatkan untuk menekan pemerintah agar mengabulkan permintaan mereka, semua demi untuk kepentingan sendiri-sendiri.

Bahkan, Piala Dunia mulai diseret-seret ke ranah politik karena pada bulan Oktober mendatang akan dilakukan pemilihan presiden (pilpres) dan Rousseff akan kembali mencalonkan diri untuk kedua kalinya.

Rousseff pun merasa perlu untuk mengingatkan lawan-lawan politiknya agar memisahkan antara masalah politik dan politik, serta mendukung Piala Dunia.

"Kemarin, hari ini dan seterusnya, rakyat Brazil mencintai tim nasional yang mewakili negara. Tim nasional berdiri di atas kepentingan pemerintah, politik, dan kepentingan setiap kelompok," katanya.

Sampai saat ini, tim nasional Brazil untuk sementara masih bertahan dan lolos ke perempat final setelah menang dramatis atas Chile melalui adu penalti dan warga pun tampaknya lebih antusias memberikan dukungan.

Akan tetapi, kegagalan Brazil untuk merebut gelar juara untuk keenam kalinya di tengah tingginya harapan masyarakat diyakini bisa makin menurunkan popularitas presiden wanita pertama di negara berpenduduk 200 juta itu.

Pewarta : Oleh Atman Ahdiat
Editor :
Copyright © ANTARA 2024