Jakarta (ANTARA) - Pemerintah akan mendengarkan masukan semua pihak dalam mengubah pasal mengenai syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa masukan perlu agar perumusan norma baru pengganti Pasal 222 UU Pemilu bisa sebaik-baiknya sesuai dengan perkembangan zaman ke depan dan lima rekayasa konstitusional dalam pertimbangan hukum putusan MK.
"Saya berkeyakinan tentu akan ada perubahan terhadap Pasal 222 UU Pemilu, dan ini bisa muncul sebagai inisiatif dari Pemerintah, bisa juga muncul dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)," kata Yusril dalam acara Dies Natalis Universitas Islam Sumatera Utara yang dipantau secara daring di Jakarta, Selasa.
Saat ini, kata dia, para menteri terkait masih melakukan konsolidasi dan membahas bagaimana perubahan terhadap pasal terkait dengan presidential threshold akan dilaksanakan.
Kendati demikian, dia menegaskan bahwa Pemerintah dan DPR tentu akan mendengar semua masukan dan pertimbangan yang disampaikan semua pihak dan pemangku kepentingan yang ada, termasuk dari partai politik peserta pemilu, partai politik nonpeserta pemilu, akademikus, hingga berbagai tokoh masyarakat.
Dalam pandangan Menko, setiap keinginan untuk kembali menghidupkan presidential threshold setelah adanya putusan MK bisa saja disahkan oleh DPR. Namun, Yusril meyakini jika pembatasan itu kembali muncul, MK akan membatalkannya.
"Kalau ada pihak yang kembali mengajukan pengujian kepada MK, saya dapat membayangkan atau meramalkan bahwa kemungkinan besar MK akan membatalkan kembali norma UU yang mengandung presidential threshold itu," tuturnya.
Dari sudut pandang akademik, menurut dia, apabila menggunakan tafsir tematik dan sistematik dengan cara menghubungkan pasal-pasal pemilu dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar (UUD) NRI Tahun 1945 dan pasal pengaturan tentang pemilihan presiden dan wakil presiden dalam Pasal 6A, presidential threshold sejatinya memang tidak ada dan tidak mungkin akan ada.
Dalam Pasal 6A UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum dilaksanakannya pemilu (anggota DPR dan DPRD), sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945.
Ia menilai di situ terdapat rekayasa konstitusional yang dilakukan pembentuk undang-undang untuk membatasi calon presiden dan calon wakil presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu.
Rekayasa sebelumnya tersebut, kata dia, dibenarkan MK dengan alasan untuk memperkuat sistem presidensial. Namun, Yusril menuturkan bahwa Putusan MK Nomor 62/PUU-XII/2024 tanggal 2 Januari 2025 yang lalu justru mengubah pendirian MK selama ini.
"Setelah 32 kali diuji, baru pada pengujian yang ke-33 MK mengabulkannya. Jadi, ada qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat) baru di MK," ucap Yusril.
Meski begitu, Menko menegaskan bahwa Pemerintah menghormati putusan MK yang menyatakan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
"Apa pun putusan yang diambil Mahkamah, Pemerintah akan patuh pada MK. Kita tahu putusan MK bersifat final dan binding serta tidak ada upaya hukum apa pun yang dapat dilakukan," ungkap dia menekankan.