Jakarta (ANTARA) - Ahli Ilmu Ekonomi Lingkungan dari Universitas Bina Bangsa Profesor Suparmoko menegaskan, seluruh pihak yang terlibat pertambangan ilegal dalam kasus dugaan korupsi timah harus bertanggung jawab terhadap kerugian negara yang timbul.
Suparmoko menjelaskan hal tersebut merupakan salah satu asas terkait pengelolaan lingkungan, yakni asas pencemar membayar, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Jadi, pihak yang menciptakan atau menimbulkan kerusakan dan pencemaran itu harus bertanggung jawab ya untuk memulihkan, untuk mengganti rugi bahkan," kata Suparmoko dalam sidang pemeriksaan ahli di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis.
Dia mengatakan ganti rugi dimaksud tidak hanya untuk pemulihan, tetapi termasuk eksternalitas. Pasalnya apabila suatu lingkungan rusak, maka tidak hanya lingkungan yang diperbaiki tetapi ada efek yang besar.
Ia pun mencontohkan seperti kerusakan lingkungan akibat kebakaran hutan di Pulau Sumatra, di mana Singapura, Malaysia, dan Thailand turut merasakan gangguannya.
"Itu dampaknya berat sekali sampai penerbangan tidak bisa berlangsung, kerugiannya besar. Nah itu harus diperhitungkan juga," tuturnya.
Dengan demikian, sambung Suparmoko, hal itu turut berlaku apabila adanya pertambangan ilegal lantaran perbuatan itu tidak dapat dibenarkan sejak awal.
Tak hanya pihak yang melakukan pertambangan ilegal yang harus bertanggung jawab, dirinya menekankan bahwa penampung hasil produksi pun harus bertanggung jawab atas kerugian negara yang ditimbulkan akibat kerusakan yang terjadi di lapangan.
"Masalahnya apakah kita punya catatan atau tidak, itu. Kalau kondisi awalnya kita mengetahui lalu terjadi kerusakan seberapa itu, mudah menghitung-nya," kata Suparmoko menambahkan.
Suparmoko diperiksa sebagai ahli untuk kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015-2022.
Kasus dugaan korupsi timah antara lain menyeret Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT), Suparta selaku Direktur Utama PT RBT, dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT sebagai terdakwa.
Akibat perbuatan para terdakwa dalam kasus dugaan korupsi timah, keuangan negara tercatat mengalami kerugian sebesar Rp300 triliun. Kerugian tersebut meliputi sebanyak Rp2,28 triliun berupa kerugian atas aktivitas kerja sama sewa-menyewa alat peralatan processing (pengolahan) penglogaman dengan smelter swasta, Rp26,65 triliun berupa kerugian atas pembayaran biji timah kepada mitra tambang PT Timah, serta Rp271,07 triliun berupa kerugian lingkungan.
Dalam kasus tersebut, Harvey didakwa menerima uang Rp420 miliar bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim, sementara Suparta didakwa menerima aliran dana sebesar Rp4,57 triliun dari kasus yang merugikan keuangan negara Rp300 triliun itu.
Keduanya juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari dana yang diterima. Dengan demikian, Harvey dan Suparta terancam pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sementara itu, Reza tidak menerima aliran dana dari kasus dugaan korupsi tersebut. Namun karena terlibat serta mengetahui dan menyetujui semua perbuatan korupsi itu, Reza didakwakan pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.