Jakarta (ANTARA) - Dalam jangka waktu sembilan hari, dunia kehilangan dua tokoh yang sangat berpengaruh terhadap sejarah kontemporer internasional.
Pertama, pemimpin terakhir Uni Soviet Mikhail Sergeyevich Gorbachev yang wafat pada 30 Agustus 2022. Kedua, Ratu Elizabeth II yang mangkat pada 8 September 2022.
Gorbachev sudah diistirahatkan untuk selamanya di tempat rehat terakhirnya di Astana Novodevichy di Moskow, tepat di samping mendiang istrinya, Raisa.
Upacara pemakamannya tak semegah yang bakal didapatkan mendiang Ratu Elizabeth II.
Itu lebih karena tokoh bercitra positif di luar Rusia itu tidak terlalu diterima di dalam negerinya, termasuk di mata Presiden Vladimir Putin yang pernah menyebut runtuhnya Uni Soviet sebagai bencana geopolitik terbesar abad ini.
Sedangkan Ratu Elizabeth II akan dikebumikan di Windsor, Senin 19 September 2022.
Sri ratu akan dikebumikan lewat upacara pemakaman yang akan diadakan di Westminster Abbey yang bakal dihadiri para pemimpin dunia, termasuk Presiden Amerika Serikat Joe Biden.
Baik Gorbachev maupun Ratu Elizabeth II meninggalkan warisan dan kenangan bercampur aduk antara baik dan buruk, tergantung dari sudut mana masyarakat dan dunia melihatnya.
Namun di antara yang menarik yang bisa ditarik dari kiprah kedua tokoh dalam kaitannya dengan hubungan internasional dan khususnya dalam kerangka situasi dunia kontemporer di mana invasi Rusia ke Ukraina menjadi isu terpanas saat ini, adalah bagaimana kedua tokoh dikaitkan dengan kolonisasi dan dekolonisasi.
Gorbachev boleh mendapatkan puja puji dari pemimpin dan masyarakat global karena prakarsa dan aksinya dalam mengakhiri era mencekam yang membagi dunia hanya dalam dua kutub, dalam apa yang disebut Perang Dingin, setelah didahului oleh dua program terkenal yang membuka jalan kepada proses demokratisasi di Eropa timur, yakni glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi).
Tapi di Rusia, Gorbachev lebih dilihat sebagai biang keladi dari runtuhnya imperium terbesar era modern, Uni Soviet, pada 26 Desember 1991.
Tentu saja itu pandangan rakyat Rusia, tetapi bagi negara-negara eks Blok Timur dan negara-negara eks Uni Soviet, kecuali Rusia, Gorbachev adalah pembaru yang memberi ruang untuk merdeka.
Negara-negara eks Blok Timur adalah Polandia, Cekoslovakia yang kini menjadi Ceko dan Slovakia, Hungaria, Rumania, Bulgaria, Albania, dan Jerman Timur yang kini sudah menyatu dengan Jerman Barat menjadi Republik Federal Jerman. Sebenarnya masih ada Kuba, Vietnam dan Mongolia termasuk dalam blok komunisme ini.
Sedangkan negara-negara eks Uni Soviet kecuali Rusia adalah Ukraina, Belarus, Moldova, Estonia, Latvia, Lithuania, Georgia, Azerbaijan, Armenia, Kazakhstan, Uzbekistan, Kyrgistan, dan Turkmenistan.
Bagi negara-negara itu Gorbachev adalah pemberi nafas kemerdekaan. Dia dikenang karena pendekatan pasifisnya yang menolak penggunaan senjata dan militer untuk meredam gerakan demokrasi yang mengharu biru sebagian besar negara-negara itu menjelang runtuhnya Uni Soviet pada 1991.
Bagi orang-orang seperti Vladimir Putin, tindakan Gorbachev adalah tak termaafkan.
Tetapi fakta menunjukkan pada era ini perang dan pendudukan wilayah atau mencengkeramkan pengaruh dengan kekuatan dan pemaksaan hanyalah menimbulkan perlawanan yang pada akhirnya meminta ongkos politik, sosial dan ekonomi yang sangat besar bagi kekuatan pemaksa itu sendiri, sampai kemudian membangkrutkan kekuatan itu sendiri.
Apa yang dilakukan Uni Soviet di Afghanistan dari 1979 sampai 1989 adalah contohnya.
Tak ada insentif ekonomi dan politik yang bisa dipetik Rusia dari invasi itu.
Sebaliknya petualangan gagal di Afghanistan menjadi prolog dari membusuknya sistem kekuasaan Uni Soviet sampai tak mampu mengimbangi Barat di matra-matra, selain politik dan militer yang tak pernah bisa dimenangkan Soviet, khususnya matra ekonomi.
Momen renung
Sebaliknya sumber daya ekonomi Soviet muntah tak terkendali ke mana-mana, sehingga menggerogoti fondasi negara.
Tak terbayangkan jika Gorbachev mengerahkan tentara untuk menggerus gerakan demokrasi di Eropa Timur pada akhir 1980-an sampai awal 1990-an.
Jika itu dilakukan, maka akan semakin memperburuk keadaan Soviet yang bukan hal mustahil menciptakan pertumpahan darah yang hebat, baik di negara-negara eks Blok Timur maupun eks republik-republik Soviet.
Fakta sejarah justru memperlihatkan Uni Soviet bubar tanpa ada satu pun negara yang hancur lebur. Mereka bubar dengan damai yang bahkan hampir semuanya kini memeluk demokrasi bebas, termasuk Rusia sendiri, seperti umum dipraktikkan banyak negara, termasuk Indonesia saat ini sejak berakhirnya era Orde Baru.
Akan halnya Ratu Elizabeth II. Ketika sang ratu naik takhta pada 1952, lebih dari seperempat total penduduk dunia berada di bawah imperium Britania.
Itu sama dengan sekitar 700 juta manusia, yang tersebar di Afrika, Asia, Timur Tengah dan Pasifik.
Selama 70 tahun menjadi kepala negara Kerajaan Inggris yang sejak awal abad 20 lalu sudah menurun pengaruh globalnya, luka kolonialisme masih tak terobati. Dia dikaitkan, baik dengan kolonialisme dan dekolonisasi.
Fakta bahwa selama menjadi kepala negara Inggris ada lebih dari 20 jajahan Inggris yang memerdekakan diri yang sebagian besar ditempuh dengan proses transisi kekuasaan secara damai, tidak memupus luka kolonialisme itu.
Itu khususnya menyangkut perbudakan, eksploitasi sumber daya, perampasan properti dan wilayah, dan penistaan-penistaan kemanusiaan lainnya.
Dan seperti kebanyakan negara eks kolonial, Inggris tak pernah meminta maaf atas masa lalunya yang hitam dalam kaitannya dengan kolonisasi.
Moses Ochonu, profesor studi Afrika pada Universitas Vanderbilt di Nashville, Tennessee, AS, menyebut kematian sang ratu menyisakan masalah kolonial yang tak terselesaikan. "Inggris tidak pernah sepenuhnya merasa bertanggung jawab atas kejahatannya (di masa lalu)," kata Ochonu kepada laman National Public Radio (NPR).
Di mata orang-orang seperti Ochonu, termasuk jutaan warga Afrika yang diangkut ke koloni-koloni Inggris di benua Amerika dan Karibia pada abad-abad lalu, mendiang Elizabeth II dianggap memiliki status ganda, yakni sebagai wajah kolonialisme dan sekaligus simbol dekolonisasi.
Elizabeth juga dianggap sebagai simbol penyangkalan Inggris terhadap kejahatan-kejahatan kolonialnya.
Kedua pemimpin mewariskan pesan bahwa pendudukan wilayah, apa pun alasannya, sudah tidak relevan lagi dengan zaman.
Pendudukan wilayah membuat negara hanya mengenal opsi perang, dan perang hanya menciptakan kehancuran dan kemunduran, selain menyemai dendam yang sulit terhapus sampai beberapa generasi yang ironisnya acap menjadi bibit untuk konflik di kemudian masa.
Dalam kaitan itu, kematian Gorbachev dan Ratu Elizabeth II semestinya menjadi momen untuk renungan global mengenai tata dunia baru di mana pendudukan wilayah asing dan perang haruslah dianggap sebagai produk masa silam yang tidak perlu didaur ulang.
Apalagi jika itu dilakukan hanya demi memenuhi ambisi dan versi geopolitik seorang pemimpin atau sebuah rezim yang memfantasikan romantisme masa silam.
Dalam dunia yang sudah semakin saling terkoneksi dan saling tergantung, perang atas nama revisi geopolitik sehingga pendudukan wilayah menjadi hal mutlak, harus dipahami sebagai laku yang hanya merugikan terhadap masyarakat global dalam skala yang jauh lebih luas dari sekadar negara-negara yang tengah berperang.
Buktinya, invasi Rusia di Ukraina telah memperburuk arus pasokan global, dari mulai energi sampai komoditas pertanian penting yang vital bagi kesejahteraan masyarakat di banyak negara berkembang dan miskin.
Beristirahatlah dengan tenang, Gorbachev. Selamat jalan Ratu Elizabeth.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Gorbachev, Ratu Elizabeth II, dan kolonisasi