Jakarta (Antara News) - Pemerintah Indonesia dan Papua Nugini (PNG) menandatangani perjanjian ekstradisi antara kedua negara di Istana Merdeka, Jakarta, Senin.
Penandatanganan kesepakatan tersebut dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Amir Syamsudin dan Menteri Hukum dan Jaksa Agung Papua Nugini Karenga Kua.
Penandatanganan tersebut disaksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Papua Nugini Peter Charles Paire O'Neill.
Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin seusai acara mengatakan, dengan adanya perjanjian ekstradisi tersebut akan semakin mengefektifkan 'mutual legal assistance' (MLA) antarkedua negara.
"Terutama sekali iktikad baik kedua negara, karena tanpa perjanjian pun kalau ada hubungan baik bilateral itu selalu bisa (melalui MLA, Red). Dengan adanya perjanjian itu lebih memudahkan kita melakukan ekstradisi, siapa pun," katanya pula.
Namun demikian, menurut dia, perjanjian ini tidak serta merta langsung bisa diterapkan, karena dibutuhkan waktu untuk efektivitas pelaksanaannya.
Saat ditanya terkait koruptor dari Indonesia yang kini menjadi warga negara PNG, Djoko Candra, Amir menjawab bahwa perjanjian itu tidak diberlakukan kasus per kasus.
"Ini 'kan perjanjian ekstradisi, tidak menyebut siapa, yang penting MoU perjanjian ekstradisi," katanya.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto mengatakan, dalam perjanjian ekatradisi diperlukan waktu untuk menyelaraskan sistem hukum kedua negara.
"Negara masing-masing 'kan punya sistem hukum. Itu 'kan tidak mudah merundingkan satu sistem hukum yang berbeda. Itulah yang dirundingkan," katanya.
Jaksa Agung Basrif Arief mengatakan, dengan perjanjian ini akan lebih mudah melakukan ekstradisi dengan PNG.
"Dengan adanya perjanjian itu lebih memudahkan kita melakukan ekstradisi, siapa pun," katanya lagi.
Saat ditanya wartawan terkait Djoko Chandra, Jaksa Agung itu mengungkapkan kini tengah ditangani tim khusus, untuk membawanya kembali ke Indonesia.
"Itu tim khusus nanti yang menangani," katanya.