Kendari (ANTARA News) - Aparat kepolisian membebaskan aktivis Kabupaten Buton Utara yang berdemonstrasi di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Tenggara (Sultra) karena tidak cukup bukti melakukan tindakan anarkis.
Kabid Humas Polda Sultra AKBP Fahrurrozi di Kendari, Kamis mengatakan bahwa status enam aktivis Buton Utara sebagai saksi yang dimintai keterangan atas tuduhan melakukan tindakan anarkis.
"Mereka hanya diamankan untuk dimintai keterangan karena dilaporkan melakukan perusakan saat berunjuk rasa di gedung DPRD Sultra. Status mereka sebagai saksi," katanya.
Keenam aktivis Buton Utara tersebut adalah Ashami Fatwa, Kadahfi, Kadir Badi, Ahmad Ereke, Suparjo dan Laode Ichsan Wiratama Mbai.
Setelah dilakukan penyelidikan dan berdasarkan bukti yang ada, ternyata tidak ditemukan bukti terjadinya tindak pidana sehingga mereka tidak dapat dijatuhi sanksi, katanya.
Aktivis Buton Utara lainnya, Salento Lagundi membatah adanya perusakan saat aksi unjuk rasa sehingga rekan-rekan mereka harus dibebaskan.
"Yang benar adalah antara pendemo dengan staf sekretariat DPRD saling dorong. Kalau aktivis ditangkap maka tangkap pula staf sekretariat DPRD Sultra yang menganiaya pendemo," kata Salento.
Pengunjuk rasa memprotes penyelenggaraan pemerintahan yang dilangsungkan di Ereke, Kecamatan Kulisusu, yang dinilai bertentangan dengan Undang Undang Nomor 14 tahun 2007 tentang pemekaran Buton Utara.
Pada pasal 7 UU Nomor 14 Tahun 2007 disebutkan bahwa Ibu Kota Kabupaten Buton Utara adalah Buranga di Kecamatan Bonegunu. Namun sejak daerah itu mekar dari induknya Kabupaten Muna tidak pernah menyelenggarakan pemerintah di Buranga sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang.
Ketua DPRD Sultra Rusman Emba yang menemui pengunjuk rasa mengatakan polemik masalah pemfungsian Buranga di Kecamatan Bonegunu sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Buton Utara sudah berlangsung sejak daerah itu mekar.
"Sudah banyak kerugian materi dan nonmateri yang berdampak pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Buton Utara sebagai implikasi dari pembangkangan terhadap UU nomor 14 tahun 2007," kata Rusman.
Secara terpisah tokoh masyarakat Buton Utara Hatimin Muhusara mengatakan penyelenggaraan pemerintahan yang bertentangan Undang Undang Nomor 14 Tahun 2007 tentang pemekaran Buton Utara akan memicu terjadinya konflik horisontal.
"Kalau pemerintah Kabupaten Buton Utara tidak menyikapi dengan bijak aspirasi masyarakat yang menuntut penyelenggaraan pemerintahan di Buranga, Kecamatan Bonegunu, sebagaimana diamanatkan oleh undang undang maka daerah ini semakin rugi," kata Hatimin.
Aspirasi masyarakat menyoroti pelaksanaan pemerintahan Buton Utara di Ereke, Kecamatan Kulisusu yang bertentangan dengan UU Nomor 14 tahun 2007 telah terjadi berulang-ulang atau sejak daerah tersebut memisahkan diri dari induknya Kabupaten Muna.
"Tidak terhitung lagi aksi unjuk rasa yang digelar di gedung DPRD Provinsi Sultra, kantor Gubernur Sultra, DPRD dan kantor Bupati Buton Utara, bahkan sampai di Kementerian Dalam Negeri namun tidak ada tanggapan serius dari pemerintah setempat," kata Hatimin.
"Kesampingkan ambisi dan keserakahan politik serta kekuasaan yang dipertahankan oleh Bupati Buton Utara sebagai pemimpin daerah ini. Junjung tinggi persaudaraan dengan berlandaskan kebenaraan demi keutuhan Buton Utara," tambah Hatimin. (Ant).