Jakarta (Antara News) - Koperasi sebagai soko guru perekonomian bangsa bukan melulu satire melainkan amanat para bapak pendiri bangsa yang dirumuskan dalam UUD 1945.

         Sayang hingga usianya tepat menginjak 68 tahun pada 12 Juli 2015, nasib koperasi tak kunjung membaik.

         Ia (koperasi-red) masih saja menjadi sekadar unsur pelengkap perekonomian, sementara di negara lain koperasi sudah menjadi raksasa bisnis yang menggurita demikian kuat.

         Jadi apa sebenarnya yang salah dalam upaya pemberdayaan koperasi di Indonesia?

         Sedangkan koperasi dinilai merupakan bangun usaha yang paling sesuai dengan masyarakat di Indonesia yang menganut sistem ekonomi berdemokrasi Pancasila, ketika di sisi lain koperasi justru tumbuh subur di banyak negara liberal.

         Menteri Koperasi dan UKM Anak Agung Gede Ngurah (AAGN) Puspayoga menegaskan lambannya perkembangan koperasi disebabkan karena paradigma pemberdayaan yang selama ini keliru. "Selama ini kita fokus pada kuantitas, pada jumlah, sehingga kita cenderung abai terhadap upaya peningkatan kualitas," ucapnya.

         Oleh karena itu ke depan, pihaknya akan fokus pada peningkatan kualitas dan kelembagaan koperasi dan membubarkan koperasi yang hanya tinggal papan namanya saja.

    
                                          Yakin Membaik
         Kementerian Koperasi dan UKM hingga kini tetap meyakini kualitas sumber daya manusia (SDM) yang bergerak di bidang koperasi semakin meningkat, bahkan pada hari ulang tahun koperasi yang ke-68 tahun yang jatuh pada 12 Juli 2015. "Ada berbagai indikator yang menunjukkan kualitas SDM koperasi kita semakin baik," ujar Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Kementerian Koperasi dan UKM Prakoso BS.

         Salah satunya, kata dia, jumlah koperasi sehat khususnya pada HUT koperasi ke-68 jumlahnya semakin banyak.

         Misalnya, untuk koperasi simpan pinjam sebagai mayoritas jenis koperasi di Indonesia pada 2015 jumlah KSP dan Unit Simpan Pinjam (USP) koperasi dengan kategori sehat dan cukup sehat jumlahnya terus meningkat.

         Tercatat berdasarkan penilaian yang dilakukan para pengawas koperasi dari kementerian itu hingga awal 2015, jumlah KSP/USP dengan predikat sehat dan cukup sehat mencapai 40.049 unit atau naik dibandingkan periode tahun sebelumnya sebanyak 38.142 unit.  "Ini menunjukkan bahwa SDM koperasi pengelolanya jelas semakin bagus," tukasnya.

         Selain itu, dalam pengukuran Indeks Sumber Daya Manusia tersebut berdasarkan 4 pilar indikator pengukuran antara lain pilar Kesehatan dan Kesejahteraan yang berisi indikator yang berhubungan dengan populasi kesehatan fisik dan mental, dari usia anak-anak hingga dewasa maka sudah semakin banyak masyarakat di Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada koperasi.

         "Jumlah koperasi kita lebih dari 209 ribu dan anggotanya sudah mencapai 36 juta orang," tambahnya.

         Sementara dari Pilar Pendidikan yang merujuk pada hubungan aspek-aspek pendidikan secara kuantitatif dan kualitatif dari pendidikan tingkat dasar, menengah hingga tinggi, dan berisi informasi baik ketersediaan tenaga kerja saat ini dan juga di masa depan menunjukkan semakin baiknya kualitas pendidikan para SDM koperasi di Indonesia.

         Sedangkan dari sisi pilar tenaga kerja, koperasi telah mampu membuka semakin banyak lapangan pekerjaan.

         Dari sisi daya dukung koperasi terhadap lingkungan, kata Prakoso, meskipun belum ada penelitian terhadap hal itu secara khusus namun saat ini sudah mulai banyak koperasi yang sadar untuk melibatkan lingkungan baik secara alam maupun sosial budaya.

         Ia mencontohkan banyak SDM koperasi mulai sadar untuk menerapkan "sosioecopreneurship" dalam diri pengelola dan anggotanya ketika menjalankan usahanya.

         Prakoso mengakui sampai saat ini koperasi belum dianggap sebagai pelaku usaha yang sejajar dengan BUMN dan perusahaan swasta, namun ia yakin jika SDM koperasi semakin mampu meningkatkan kualitas dirinya maka tidak lama lagi koperasi Indonesia akan mampu mengokohkan diri sebagai soko guru perekonomian bangsa.

         Pihaknya sendiri bertekad untuk terus mendorong pengembangan, pelatihan, dan pendampingan bagi SDM koperasi agar semakin berdaya saing tinggi melalui program-program yang dilaksanakannya secara terintegrasi.

    
                                  Jangan Seremoni
         Namun, Pengamat koperasi Suroto justru menilai koperasi saat ini hanya terjebak dalam pembangunan yang serba seremoni.

         Ia mencontohkan perayaan Hari Koperasi Nasional (Harkopnas) dari tahun ke tahun yang terlihat sebagai sekadar seremoni yang menghabiskan anggaran besar, namun tidak membawa banyak perubahan bagi koperasi Indonesia.

         "Kita selama ini hanya terjebak pada jargon, seremoni seperti peringatan hari koperasi nasional yang menghabiskan dana hingga miliaran rupiah. Koperasi yang seharusnya jadi bentuk partisipasi hilang dan kita tidak pernah menjadikan monentum peringatan hari koperasi nasional itu sebagai refleksi," tutur Suroto yang juga ketua Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (Akses) itu.

         Tahun ini, koperasi Indonesia genap berusia 68 tahun pada 12 Juli 2015 atau sejak ditetapkan pertama kali pada Konggres Koperasi Pertama di Tasikmalaya, Jawa Barat tahun 1947.

         Dan kini koperasi di Indonesia jumlahnya 209.633 unit dengan jumlah anggota sebanyak 36 juta orang.
"Jadi rata-rata setiap desa ada 3 koperasi. Namun, faktanya di lapangan yang aktif hanya 30-35 persen. Dengan anggota aktif hanya sebanyak 10 juta atau kurang lebih hanya 5 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Kontribusinya terhadap perekonomian nasional juga hanya 2 persen saja," paparnya.

         Menurut dia, hal itu menjadi bukti bahwa gerakan koperasi itu masih lemah dalam semangat. "Fakta ini juga bukti bahwa kita tidak bisa berkoperasi itu hanya dengan ditunjukkan dengan banyaknya kelembagaan dan seremoni saja," tandasnya.

         Menurut dia, ada beberapa hal yang perlu segera dilakukan oleh Pemerintah sebagai pemegang kebijakan perkoperasian di Indonesia untuk segera membenahi masalah koperasi ini.

         Pertama, pemerintah harus segera menertibkan koperasi yang tinggal papan nama dan juga rentenir yang "berbaju" koperasi.

         Kedua, segera membangkitkan kembali pendidikan perkoperasian di kalangan masyarakat dengan melibatkan banyak pihak, ormas dan juga perguruan tinggi. "Kampanyekan apa yang sebetulnya menjadi cita-cita koperasi.

         Ajaklah anak-anak muda untuk kembali membangkitkan semangat berkoperasi sebagai semangat kebangkitan bangsa," imbuhnya.

         Ketiga, mempromosikan keberhasilan gerakan koperasi yang benar dan manfaatnya bagi anggotanya secara gencar. "Jangan tutup-tutupi keunggulan koperasi dibandingkan dengan model korporat kapitalis. Seperti, misalnya, pembagian keuntungan dan keterlibatan anggota dalam koperasi, dan sebagainya," jelasnya.

         Sementara dalam hal regulasi, Pemerintah sebaiknya segera melakukan revisi berbagai produk regulasi terutama di bidang ekonomi yang mendiskriminasi, mendiskriditkan, dan mensubordinasi koperasi.

         "Peringatan hari koperasi tahun ini seharusnya jadi monentum kita bersama bahwa kita perlu mengembalikan konsep usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan kita saat ini. Komitmen pemerintah untuk wujudkan kemandirian ekonomi jangan hanya jadi jargon," tegasnya.

         Ia berpendapat, saat ini sudah saatnya untuk membangkitkan koperasi sebagai bangun perusahaan yang memang sesuai dengan demokrasi ekonomi, dan kemandirian ekonomi. "Ketidakadilan dalam pembagian kekayaan dan pendapatan telah terjadi di seluruh dunia, dan seperti yang juga telah menjadi tema gerakan koperasi dunia International Cooperative Alliance (ICA) yakni 'pilih persamaan, maka pilihlah koperasi!'," katanya.

Pewarta : Oleh Hanni Sofia Soepardi
Editor :
Copyright © ANTARA 2024