Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Provinsi Sulawesi Tenggara terus berinovasi pada bidang teknologi pertanian dengan mengembangkan teknologi hayati yang memanfaatkan jenis cendawan antagonis sebagai salah satu alternatif pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) di bidang pertanian.
Melalui uji laboratorium, lembaga proteksi tanaman pertanian ini mengembangkan teknologi isolat terhadap satu jenis cendawan yang bernama gliocladium sp atau diistilahkan "isolat gliocladium".
Dalam aplikasi teknologi pertanian, isolat giocladium ini dicampur dengan kompos yang berasal dari limbah seperti pupuk kandang atau cacahan tanaman yang telah dipanen atau hasil rompesan bagian tanaman seperti daun.
Pengembangan isolat gliocladium dengan kompos tersebut dinamakan "Kompos Gliocadium".
Kini teknologi kompos Gliocladium ini telah diterapkan pada kelompok tani di sejumlah kabupaten di Sultra antara lain di Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Buton, Kolaka, Kolaka Utara dan Bombana.
Di BPTH Provinsi Sultra berfokus pada pengembangan teknologi hayati tersebut karena berbagai faktor antara lain kompos gliocladium efektif mengendalikan penyakit tular tanah tanpa mencemari lingkungan.
Penyakit tular tanah khususnya penyakit layu fusarium pada tanaman sayuran, masih selalu menjadi kendala dalam bidang perlindungan tanaman. Pengendalian yang dilakukan saat ini masih didominasi penggunaan pestisida sintetis.
Padahal, penggunaan pestisida yang berlebihan dan tidak bijaksana memiliki dampak yang merugikan terhadap manusia atau lingkungan, baik dalam bentuk pencemaran produk pertanian maupun pencemaran lingkungan.
Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap kegiatan pengamatan dan pengembangan bahan pengendlian telah melakukan pengkajian terhadap beberapa teknik dan bahan pengendali yang berbasis lingkungan.
Pemanfaatan cendawan antagonis gliocladium yang diidentifikasi mampu menekan perkembangan pathogen penyakit layu fusarium (fusarium sp). Cendawan antagonis ini dapat diperoleh dari tanah tempat tumbuh tanaman yang sehat, di mana tanaman di sekitarnya terserang penyakit layu.
Cendawan gliocladium juga dapat digunakan untuk mengendalikan patogen rhyzoctonia solani pada tanaman hias, sayuran, dan buah-buahan, serta sclerotium pada tanaman kedelai.
Unggul
Balai Proteksi Tanaman pangan dan Hortikultura Sulawesi Tenggara terus berupaya menggalakkan sosialisasi penerapan teknologi hayati dengan memanfaatkan kompos gliocladium ini di kalangan petani karena memiliki banyak keunggulan antara lain tidak memiliki efek samping yang membahayakan lingkungan hidup.
Keunggulan lain bahwa sekali berhasil diintroduksi ke dalam tanah, agens antagonis dapat efektif sebagai bahan pengendalian dalam waktu yang cukup lama yaitu kbeberapa musim tanam.
Aplikasi Kompos Gliocladium dengan cara dicampurkan dengan media persemaian, dihambur merata pada bedengan atau langsung pada lubang tanam yang dilakukan sebelum penanaman.
Ditinjau dari efektifitas, dampak terhadap lingkungan, dan sumber isolat yang tersedia di alam, maka kompos gliocladium ini dapat dikembangkan dan diproduksi secara komersial.
Hal ini untuk membantu petani dalam mengendalikan penyakit tular tanah yang banyak ditemukan menyerang tanaman pangan dan hortikultura.
Oleh karean itu, BPTPH Sultra mengembangkan teknologi hayati ini dilakukan hingga ke tingkat petani, dengan harapan dapat diperbanyak sendiri oleh petani dan menjadi salah satu alternatif pengendali OPT.
Di masa yang akan datang diharapkan petani lebih mampu memanfaatkan potensi lokal seperti cendawan gliocladium untuk melakukan kegiatan pengendalian di lahan usaha taninya.
Pada saat ini Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura telah dapat mengeksplorasi dari lapang dalam bentuk isolat gliocladium, dan memproduksi Kompos Gliocladium dalam kemasan ukuran satu kilogram yang siap untuk diaplikasikan.
Selanjutnya diharapkan menjadi titik awal bagi terbentuknya kelompok-kelompok tani yang mampu memproduksi agens antagonis atau bahan pengendali lainnya.
Laboratorium BPTPH lebih memfokuskan pada media isolat maupun pemberi bimbingan teknis dalam pengembangan agens hayati. Dengan demikian akan lebih mendorong kemandirian petani untuk lebih memanfaatkan potensi lokal.
Selain itu juga dapat mengurangi penggunaan obat-obat sintetis yang cenderung semakin sulit dijangkau oleh petani. Petani pun secara langsung maupun tak langsung mejnaga kelestarian lingkungan menuju pertanian berkelanjutan yang kita cita-citakan bersama.
*)Penulis adalah Ir. Hj Adriani (Staf OPT Ahli Madya Kantor Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikutura (BPTPH) Sulawesi Tenggara.
Melalui uji laboratorium, lembaga proteksi tanaman pertanian ini mengembangkan teknologi isolat terhadap satu jenis cendawan yang bernama gliocladium sp atau diistilahkan "isolat gliocladium".
Dalam aplikasi teknologi pertanian, isolat giocladium ini dicampur dengan kompos yang berasal dari limbah seperti pupuk kandang atau cacahan tanaman yang telah dipanen atau hasil rompesan bagian tanaman seperti daun.
Pengembangan isolat gliocladium dengan kompos tersebut dinamakan "Kompos Gliocadium".
Kini teknologi kompos Gliocladium ini telah diterapkan pada kelompok tani di sejumlah kabupaten di Sultra antara lain di Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Buton, Kolaka, Kolaka Utara dan Bombana.
Di BPTH Provinsi Sultra berfokus pada pengembangan teknologi hayati tersebut karena berbagai faktor antara lain kompos gliocladium efektif mengendalikan penyakit tular tanah tanpa mencemari lingkungan.
Penyakit tular tanah khususnya penyakit layu fusarium pada tanaman sayuran, masih selalu menjadi kendala dalam bidang perlindungan tanaman. Pengendalian yang dilakukan saat ini masih didominasi penggunaan pestisida sintetis.
Padahal, penggunaan pestisida yang berlebihan dan tidak bijaksana memiliki dampak yang merugikan terhadap manusia atau lingkungan, baik dalam bentuk pencemaran produk pertanian maupun pencemaran lingkungan.
Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap kegiatan pengamatan dan pengembangan bahan pengendlian telah melakukan pengkajian terhadap beberapa teknik dan bahan pengendali yang berbasis lingkungan.
Pemanfaatan cendawan antagonis gliocladium yang diidentifikasi mampu menekan perkembangan pathogen penyakit layu fusarium (fusarium sp). Cendawan antagonis ini dapat diperoleh dari tanah tempat tumbuh tanaman yang sehat, di mana tanaman di sekitarnya terserang penyakit layu.
Cendawan gliocladium juga dapat digunakan untuk mengendalikan patogen rhyzoctonia solani pada tanaman hias, sayuran, dan buah-buahan, serta sclerotium pada tanaman kedelai.
Unggul
Balai Proteksi Tanaman pangan dan Hortikultura Sulawesi Tenggara terus berupaya menggalakkan sosialisasi penerapan teknologi hayati dengan memanfaatkan kompos gliocladium ini di kalangan petani karena memiliki banyak keunggulan antara lain tidak memiliki efek samping yang membahayakan lingkungan hidup.
Keunggulan lain bahwa sekali berhasil diintroduksi ke dalam tanah, agens antagonis dapat efektif sebagai bahan pengendalian dalam waktu yang cukup lama yaitu kbeberapa musim tanam.
Aplikasi Kompos Gliocladium dengan cara dicampurkan dengan media persemaian, dihambur merata pada bedengan atau langsung pada lubang tanam yang dilakukan sebelum penanaman.
Ditinjau dari efektifitas, dampak terhadap lingkungan, dan sumber isolat yang tersedia di alam, maka kompos gliocladium ini dapat dikembangkan dan diproduksi secara komersial.
Hal ini untuk membantu petani dalam mengendalikan penyakit tular tanah yang banyak ditemukan menyerang tanaman pangan dan hortikultura.
Oleh karean itu, BPTPH Sultra mengembangkan teknologi hayati ini dilakukan hingga ke tingkat petani, dengan harapan dapat diperbanyak sendiri oleh petani dan menjadi salah satu alternatif pengendali OPT.
Di masa yang akan datang diharapkan petani lebih mampu memanfaatkan potensi lokal seperti cendawan gliocladium untuk melakukan kegiatan pengendalian di lahan usaha taninya.
Pada saat ini Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura telah dapat mengeksplorasi dari lapang dalam bentuk isolat gliocladium, dan memproduksi Kompos Gliocladium dalam kemasan ukuran satu kilogram yang siap untuk diaplikasikan.
Selanjutnya diharapkan menjadi titik awal bagi terbentuknya kelompok-kelompok tani yang mampu memproduksi agens antagonis atau bahan pengendali lainnya.
Laboratorium BPTPH lebih memfokuskan pada media isolat maupun pemberi bimbingan teknis dalam pengembangan agens hayati. Dengan demikian akan lebih mendorong kemandirian petani untuk lebih memanfaatkan potensi lokal.
Selain itu juga dapat mengurangi penggunaan obat-obat sintetis yang cenderung semakin sulit dijangkau oleh petani. Petani pun secara langsung maupun tak langsung mejnaga kelestarian lingkungan menuju pertanian berkelanjutan yang kita cita-citakan bersama.
*)Penulis adalah Ir. Hj Adriani (Staf OPT Ahli Madya Kantor Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikutura (BPTPH) Sulawesi Tenggara.